taman kita

taman kita

Jumat, 02 Januari 2009

PERTUDUHAN YANG ADIL DAN BERADAB

Hari ini kang laso sedang liburan dan seperti biasanya dia bingung mau ngapain. Sebenarnya ia mau merefresh pikirannya, tapi malah otakknya mubeng dari insiden gaza sampai kondisi kos-kosannya yang ga nyaman lagi. "Heran, kenapa ya sekarang orang mudah saja terpancing emosinya; dikit-dikit gelut, dikit-dikit padu, ga ada habisnya."

Kalo kang Laso grundel begitu pasti ada sebabnya. Lha bagaimana tidak grundel, beberapa hari yang lalu kang Laso dipaksa mbesengut gara-gara motor mas Gembil yang parkirnya geser, lha rak lucu tho? Ceritanya mas Gembil pulang dari mondok, pas sampai di rumah ia melihat motornya bergeser sedikit kearah pintu. Teng... langsung saja ia muntab. "Sopo iki sing mindah montorku," katanya dengan wajah memerah. "Sopo sing mindah kang?" tanyannya pada kang Laso dengan mulut yang sengaja dimajukan. Kang Laso pun cuma cengar cengir dan menjawab singkat, "lha meneketehe."

Episode ngedumel itu pun tidak selesai begitu saja ketika mas Sekam datang. "Koe mesti," dakwa mas Gembil kepada mas Sekam. Lha dalah, kang Laso kaget mak jenggirat. Lha ini orang kok begitu mudah main tuduh. Tadi nuduh kang laso yang selalu hidup damai dan tenteram, sekarang giliran mas Sekam kena tuduh. "Ngopo mbil?" tanya mas Sekam mlotot. "Halah nganggo takok, koe mesti sing ngango motorku." Jjurus tuduh itu keluar lagi, padahal setahu kang Laso yang paling jago ilmu tuduh menuduh itu Amerika dan israel. Mereka berdua paling pinter nuduh orang baik sebagai penjahat dan penjahat sebagai pahlawan. "Lho emang apa salahnya nuduh orang jahat sebagai pahlawan, bukankah itu baik," tanya Glembus waktu mas Laso konfrensi pers tentang hal ini. "Wah yang namanya nuduh dimana saja tidak baik, buktinya ketika PKS menuduh Soeharto sebagai guru bangsa banyak orang yang berteriak," jawab kang laso. "Kalo menurut saya mereka berteriak bukan karena tidak setuju dengan tuduhan itu mas, tapi mereka takut kehilangan," potong Glembus. Kang Laso kaget melihat analisis Glembus. "Memang apa hubungannya pengangkatan guru bangsa dengan kehilangan?" tanya kang Laso. " Ya jelas ada mas. Orang yang berteriak itu bukan tidak setuju dengan tuduhan tapi lebih karena mereka takut suara sang guru dan sanak kerabatnya masuk ke kantong penuduh. Mereka takut kehilangan mata air kehidupan, istilahe kalah cepet, Lha nggeh ngoten tho mas?" Gelembus membela. Kang Laso cuma mantuk, bukan karena setuju, tapi lanjutan pernyataannya tadi sudah bergumpal di bibir. "Begitu juga saat Amerika menuduh serangan Israel sebagai aksi yang wajar memerangi teroris, semua orang turun ke jalan- meskipun kadang turun kejalannya juga ada embel-embel kampanye-tapi dasar Amerika budek ya tidak mendengar," lanjut kang Laso yang omongannya baru dipotong Glembus. "Tapi kang, bukankah tuduh menuduh itu juga sering kang Laso lakukan. Kemaren saya dengar kang laso menuduh presiden Mesir sebagai hamba Israel dan menuduh raja Saudi sebagi konconya setan, dengan begitu kang Laso sudah masuk dalam konspirasi pertuduhan yang adil dan beradab," sela Glembus. Wah ternyata sekarang Glembus sudah agak berani dengan kang Laso. "Lha kita perlu membedakan antara menuduh dengan jujur. Ini yang menjadi penyakit bangsa kita, kita sering tidak bisa membedakan jujur dengan menuduh, makna keduanya sudah mulai bias," terang kang Laso.

"Begini," kata kang Laso sambil memperbaiki posisi sarungnya,"Kita sudah terlatih berkata jujur sejak TK, tapi kita tidak tahu maknanya. Jujur itu bila apa yang kita katakan ada bukti dan itu jelas otentik seperti omongan saya itu. Kalo kita bicara berdasarkan asumsi barulah saat itu kita sedang menuduh, ya seperti ketika Amerika menuduh irak memiliki senjata pemusnah masal itu."
Karena sudah jam tujuh Glembus masuk kamar sambil mengakui kehebatn ilmu tuduh kang Laso. topcer pokonya. Tinggal kang Laso masih duduk ngetengkereng, berdoa agar adik, kakak, bibi, paklik yang ada di Palestina ditolong oleh Yang Mahakuasa dan yang meninggal diterima di Janahnya... Amien.

Tidak ada komentar: