taman kita

taman kita

Senin, 26 Januari 2009

Proklamasi Daulah Islam Irak 2

PASAL I

URGENSI DAULAH DAN KEBUTUHAN UMAT TERHADAPNYA

.

A. Kewajiban Menegakkan Negara Islam

Di dalam sebuah atsar yang diriwayatkan dari Khalifah Ketiga, Utsman rodloyallohu ‘anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya Alloh memberikan dengan kekuasaan sesuatu yang tidak Dia berikan dengan Al-Quran.”

Bisa jadi kata-kata ini merupakan penjelasan paling nyata tentang peran sebuah Negara Islam dalam pelaksanaan Syariat Islam dan mewujudkan eksistensinya melalui sebuah Negara dan kewibawaan Negara yang berfungsi membangun sistem pemerintahan Islam, memperkuat pilar-pilarnya di masyarakat dengan menjalankan otoritas menyeluruh yang menggiring manusia kepada Syariat Islam dan membimbing mereka tentang ajarannya sebagai agama yang lurus, serta mencegah munculnya gejala-gejala penyimpangan dan kesesatan yang menghalangi praktek pelaksanaan agama Islam dan faktor-faktor kelurusan dan hidayah.

Pembahasan mengenai wajibnya menegakkan Negara Islam merupakan perkara syar‘i yang sudah cukup jelas. Tetapi mengingat begitu asingnya pembahasan masalah ini, ada baiknya kami sebutkan nash-nash yang menunjukkan itu secara ringkas dan global:

Alloh Ta‘ala berfirman:

Ingatlah ketika Robb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (kholifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau”. Robb berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Baqoroh: 30)

Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsir-nya (I/ 302):

“Ayat ini menjadi landasan mengangkat Imam atau Kholifah yang didengar dan ditaati untuk menyatukan kalimat dan melaksanakan hukum-hukum sebagai seorang Kholifah.

Dan tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya pengangkatan ini di kalangan Umat

Islam maupun di kalangan para Imamnya.”

Alloh Ta‘ala berfirman di dalam Surat An-Nisa’:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (-Nya), dan Ulil Amri di antara kamu…” (QS. An-Nisa’: 59)

Sisi pengambilan dalil dari ayat ini adalah: Bahwasanya Alloh memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri mengikuti ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Mafhum-nya, ketaatan tersebut tidak mungkin bisa diwujudkan sampai dibentuknya kepemimpinan (Imaroh) yang dari sana akan muncul seorang Ulul Amri. Ulul Amri sendiri adalah para pemimpin, pengatur dan Ulama’. Dan tanpa sebuah Negara Islam, tidak mungkin para pemimpin itu diangkat, sehingga bagaimana mau mentaatinya? Jika ini terjadi, terhapuslah salah satu tujuan agung dari tujuan-tujuan Syariat.

Asy-Syairozi berkata di dalam At-Tabshiroh (I/ 407):

“Kami katakan: Maksud ayat ini adalah ketaatan dalam urusan-urusan duniawi, urusanurusan pembekalan tentara, peperangan-peperangan, ekspedisi-ekspedisi tempur dan lain sebagainya, terbukti bahwa Ulul Amri di sini diberi kekhususan. Kekhususan-kekhususan Ulul Amri adalah apa yang telah kami sebutkan, yaitu menyiapkan tentara dan mengurusi berbagai permasalahan.”

Alloh Ta‘ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Alloh wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. An-Nisa’: 105)

Sisi penunjukan dalil dari ayat ini: Bahwasanya Alloh ta’ala menurunkan kitab-Nya sebagai hukum dan timbangan nilai bagi kehidupan dan tegaknya urusan dunia umat manusia. Tugas ini Alloh perintahkan kepada Nabi-Nya –‘alaihis sholatu was salam—, dan ini tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan untuk membangun sektor pelayanan secara kokoh yang akan membawahi instansi-instansi peradilan dan lembaga eksekutif. Inilah yang mewajibkan penegakkan sebuah Negara yang memiliki berbagai otoritas dan menjalankannya sesuai yang diridhoi Alloh.

Alloh Ta‘ala berfirman:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Alloh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Alloh kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Alloh), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Alloh menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (50) Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Alloh bagi oang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 49-50)

Alloh juga berfirman dalam tiga tempat berturut-turut:

“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 45)

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah: 47)

Sisi penunjukkan dalil dari ayat-ayat ini sama dengan penjelasan pada ayat-ayat sebelumnya.

Adapun hadits-hadits Mutawatir yang menunjukkan wajibnya mentaati para pemimpin sangatlah banyak, semua menunjukkan wajibnya menegakkan sebuah Negara yang memiliki kewenangan di berbagai bidang. Di antara hadits-hadits tersebut adalah: Apa yang diriwayatkan Bukhori dari hadits Abu Huroiroh rodliyallohu ‘anhu:

“Siapa mentaatiku maka ia mentaati Alloh, siapa mendurhakaiku maka ia telah mendurhakai Alloh. Dan barangsiapa mentaati pemimpin maka ia telah mentaatiku, siapa mendurhakai pemimpin maka ia telah mendurhakaiku.”

Di dalam Shohih Bukhori - Muslim juga disebutkan dari hadits Ibnu Umar, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam:

“Hendaknya orang Muslim mendengar dan taat dalam hal yang ia sukai atau tidak ia sukai, kecuali jika ia diperintahkan berbuat maksiat. Jika ia diperintah kepada kemaksiatan maka tidak ada mendengar dan taat.”

Hadits-hadits terkait dengan masalah ini sangatlah banyak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu‘Fatawa (28/ 390-392): “Wajib diketahui bahwa memimpin urusan umat manusia termasuk kewajiban agama yang paling agung. Bahkan urusan agama dan dunia tidak akan tegak kecuali dengannya. Sebab maslahat Anak Adam tidak akan sempurna selain dengan berkumpul, karena masingmasing saling membutuhkan yang lain. Ketika ada perkumpulan maka harus ada pemimpin, bahkan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika tiga orang bepergian, mereka harus mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”

Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Al-Musnad dari Abdulloh bin Amru, bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak boleh tiga orang berada di sejengkal bumi kecuali mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mewajibkan pengangkatan pemimpin dalam perkumpulan kecil yang melakukan perjalanan sebagai peringatan bahwa itu juga wajib dalam semua bentuk perkumpulan, juga karena Alloh Ta‘ala mewajibkan Amar Makruf Nahi Mungkar yang tidak bisa terlaksana dengan baik kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan. Demikian juga semua kewajiban yang Alloh wajibkan, baik jihad, menegakkan keadilan, menyelenggarakan Haji, sholat Jum’at, Sholat ‘Ied, membela orang yang terdzalimi. Penegakkan hukum juga tidak akan terlaksana dengan baik selain dengan kekuatan dan kepemimpinan…dst.”

Ibnu Taimiyah lebih lanjut mengatakan:

“Maka wajib menganggap Imaroh (kepemimpinan) sebagai bagian dari ajaran agama dan upaya pendekatan diri kepada Alloh. Karena mendekatkan diri kepada Alloh dengan cara mentaati-Nya dan mentaati Rosul-Nya termasuk salah satu pendekatan diri yang paling utama.”

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak boleh tiga orang berada di sejengkal tanah di bumi kecuali mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.”

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Jika tiga orang bepergian, hendaknya mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud dari Abu Said, ia juga memiliki riwayat senada dari Abu Huroiroh)

Asy-Syaukani berkata di dalam Nailul Author (IX/ 157):

“Bab Kewajiban Mengangkat Hakim, Pemimpin dan lain sebagainya. –kemudian ia menyebutkan hadits-hadits di atas, lalu berkata:

“Jika kewajiban ini disyariatkan pada tiga orang yang berada di suatu tempat, atau sedang bepergian, maka ia lebih disyariatkan lagi pada kumpulan orang yang jumlahnya lebih banyak, yang tinggal di desa-desa dan kota, yang mereka memerlukan pembelaan terhadap tindakan kezaliman dan pemberi keputusan ketika terjadi pertikaian. Dalam hal ini terdapat dalil yang menguatkan pendapat mereka yang mengatakan wajib bagi kaum Muslimin mengangkat para pemimpin, Gubernur, dan Penguasa.”

Abul Ma‘ali Al-Juwaini berkata di dalam Ghiyatsul Umam (I/ 15):

“Mengangkat seorang Pemimpin ketika memungkinkan, hukumnya wajib.”

Al-Mawardi berkata di dalam Al-Ahkam Ash-Shulthoniyah (I/ 5):

“Kepemimpinan diadakan dalam rangka menggantikan tugas Kenabian berupa menjaga din dan mengatur urusan duniawi. Dan memberikan jabatan ini kepada orang yang bisa melaksanakan di kalangan Umat Islam hukumnya wajib berdasarkan Ijmak.”

Al-Qol‘i berkata di dalam Tahdzibur Riyasah Wa Tartibus Siyasah (74):

“Seluruh kalangan Umat Islam sepakat –selain beberapa golongan yang tak terlalu diperhitungkan perbedaan pendapatnya—akan kewajiban mutlak mengangkat seorang Imam, meskipun mereka berbeda pendapat dalam kriteria dan syarat-syaratnya. Maka saya katakan: Pengaturan urusan Din dan dunia merupakan sebuah tujuan, dan tidak akan tercapai selain dengan adanya Imam. Kalau kita tidak mengatakan keberadaan seorang Imam itu wajib, tentu akibatnya akan timbul perselisihan dan pertumpahan darah yang tiada henti hingga hari Kiamat. Jika dalam sebuah masyarakat tidak ada seorang Imam yang ditaati, kemuliaan Islam akan tercemar kemudian lenyap.”

.

B. Urgensi Negara Islam

Tujuan utama Alloh mengutus Rosul-Nya adalah membawa manusia beribadah kepada Robbnya. Alloh Ta‘ala berfirman:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia selain untuk mengibadahi-Ku.” (QS. Adz- Dzariyat: 56)

Hakikat ibadah adalah memurnikan ketundukan manusia kepada Robbnya, dan membebaskan diri dari ketundukan atau kepasrahan kepada semua bentuk kekuasaan selain Alloh Ta‘ala. Inilah hakikat kalimat “Laa Ilaaha illallooh”.

Pada hakikatnya ketika seseorang mengimani kalimat ini, ia akan membebaskannya dari kehinaan dan keterbudakan. Dan perseteruan antara keimanan dan kekufuran sebenarnya adalah masalah menyekutukan hak Alloh yang seharusnya sebagai pemerintah dan pelarang di muka bumi ini,

“Dialah yang dilangit sebagai sesembahan, dan di bumi sebagai sesembahan…” (QS. Az-Zukhruf: 84)

Dan tidak diragukan lagi bahwa ‘Ubudiyah kepada Alloh Ta‘ala dan tujuan dakwah para Nabi tidak akan bisa terealisasi selain dengan “merebut” kekuasaan penguasa yang memaksakan kekuasaanya kepada manusia lalu mengembalikannya kepada Alloh saja. Oleh karena itu, Syariat Islam memerintahkan penegakkan sebuah Negara demi merealisasikan tujuan agung ini. Sebab tujuan seagung ini tidak akan bisa terlaksana dalam kehidupan jika dilakukan oleh individu, tetapi membutuhkan sebuah sistem kekuasaan yang melindungi serta menyebar luaskan Tauhid, dan melaksanakan hukum-hukum Islam dengan kekuatan dan kekuasaan.

Ibnu Taimiyah rohimahulloh berkata di dalam Majmu‘ Fatawa (28/ 61):

“Semua bentuk kekuasaan dalam Islam tujuannya menjadikan agama seluruhnya milik Alloh dan kalimat Alloh saja yang tertinggi, karena Alloh ta’ala menciptakan makhluk tak lain adalah untuk tujuan ini. Karena tujuan ini pulalah Kitab-kitab suci diturunkan, para Rosul diutus, dan Rosululloh dan para sahabat berjihad.”

Alloh ta’ala berfirman:

َApakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Alloh bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)

Sayyid Quthb rohimahulloh berkata di dalam Fi Dzilalil Quran (II/ 904-905):

“Sesungguhnya makna kejahiliyahan dibatasi oleh nash ini. Jadi, kejahiliyahan–seperti disebutkan cirinya oleh Alloh dan dibatasi maknanya oleh Quran-Nya— adalah kekuasaan hukum manusia atas manusia, karena itu sama dengan penghambaan manusia kepada manusia dan keluar dari penghambaan kepada Alloh, menolak uluhiyah Alloh dan mengakui kebalikannya yaitu uluhiyah manusia, serta mengakui hak mereka untuk diibadahi selain Alloh. Manusia –kapan dan di mana saja—kalau bukan berhukum dan menerima syariat Alloh –tanpa menyelewengkan sebagiannya—, menerima sepasrahpasrahnya, yang berarti mereka berada dalam agama Alloh; atau kalau tidak berarti berhukum dengan syariat buatan manusia –apapun bentuknya—dan menerimanya, yang berarti mereka berada dalam kejahiliyahan, mereka berada dalam agama pembuat syariat yang ia pakai, dan tidak termasuk dalam agama Alloh sama sekali.

Orang yang tidak menghendaki hukum Alloh, pasti menghendaki hukum Jahiliyah. Orang yang menolak syariat Alloh, pasti menerima syariat jahiliyah. Inilah jalan pemisah di mana manusia berhenti di sana, setelah itu mereka dihadapkan kepada pilihan…” Sesungguhnya masalah ini adalah pondasi utama tegaknya Islam, yaitu masalah memimpin sesuai syariat Islam. Karena Alloh tidak mengutus para Rosul –semoga sholawat dari Alloh terlimpah kepada mereka semua—kecuali untuk misi mengibadahkan manusia kepada Robbnya, membawa mereka untuk beribadah sesuai pemahaman yang dikehendaki Alloh ‘azza wa jalla, bukan pemahaman yang dipaksakan oleh sistem Jahiliyah. Sebab hakikat ibadah adalah tunduk kepada Alloh ta’ala dalam urusan syiar dan syariat,

mengesakan Alloh dalam perintah dan larangan, serta mentauhidkan-Nya dalam eksistensi dan penciptaan.

Atas dasar semua ini, maka –secara syar‘i maupun logika—wajib mengangkat seorang pemimpin yang melaksanakan prinsip penting ini di muka bumi, dan mengarahkan semua orang sesuai tuntunan syar‘I baik dalam masalah-masalah ukhrowi maupun masalah-masalah duniawi yang harus dikembalikan kepadanya.

Kesimpulannya: Sistem pemerintahan apapun yang tidak tegak di atas asas Islam, maka tidak ada nilai dan kemuliaannya dalam timbangan Syariat, walaupun yang duduk di puncak kepemimpinannya adalah makhluk paling bertakwa, paling berilmu dan paling adil. Dan perlu diketahui, kenyataan ditinggalkannya syariat Alloh Tabaroka Wa Ta‘ala dan menggantinya dengan syariat selainnya sekarang ini adalah fakta tak terduga terjadi dalam tubuh Umat Islam. Para aimmah di era terdahulu tidak pernah membayangkan ini bakal terjadi, sehingga masalah seperti ini tidak tercantum dalam kajian mereka.

Sungguh sejarah kita telah mengenal penguasa-penguasa jahat, fasik dan dzalim, namun belum pernah mengenal penguasa yang mencampakkan syariat Islam jauh-jauh lalu menggantinya dengan syariat lain. Barangkali kondisi Umat Islam di zaman agresi tentara Tartar yang memaksakan Undang-undang Ilyasiq adalah kondisi paling mirip dengan kondisi Umat sekarang ini.

Tidak ada komentar: