taman kita

taman kita

Senin, 26 Januari 2009

Proklamasi Daulah Islam Irak 3

PASAL II:

PENEGAKKAN DAULAH ISLAM IRAK DALAM TINJAUAN SYAR‘I

Proyek Negara Islam yang sesuai kriteria adalah salah satu kewajiban Islam yang dibebankan kepada kaum Muslimin, dan tanggung jawab yang fardhu kifayah yang harus dijalankan dalam kehidupan nyata sesuai perintah Syariat. Hal ini terkait erat dengan kaidah fikih yang mengatakan:b“Menilai sesuatu adalah cabang dari pandangan terhadap sesuatu tersebut.”

Ketika sebuah kewajiban harus dilaksanakan oleh Mukallaf, lalu mereka menjalankan kewajiban tersebut sesuai maksud Syara‘ dan mengikuti metode aturannya, maka selanjutnya mereka wajib memahami hukum Alloh yang berlaku pada kewajiban tersebut dan hakikat syar‘i yang dimaksudkan padanya. Setelah itu, mempraktekkan pemahaman dan ilmu itu dalam kenyataan dalam bentuk sebuah metode praktis dinamis (terus bergerak), yang menunjukkan hakikat dan inti dari ilmu tersebut. Alloh Ta‘ala berfirman:

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya…” (QS. Al-A‘rof: 3)

Alloh Ta‘ala juga berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shoff: 2-3)

Inilah yang dikenal oleh para Ulama sebagai MANHAJ ILMU & AMAL, yang menjadi jalan para Pendahulu Umat ini dalam menegakkan Islam dan mempraktekkannya dalam kenyataan dan tindakan riil, bukan dalam kata-kata dan retorika.

Akan tetapi, dalam mengamalkan ilmu dan teori-teorinya, harus diperhatikan syaratsyarat dan spesifikasi sebuah amal sesuai dengan kaidah-kaidah Syar‘i yang lurus, dan harus ditimbang dengan timbangannya. Di antara syarat dan spesifikasi terpenting dalam amal adalah: Realita (waqi‘) harus sesuai dengan bentuk hukum syar‘i yang akan diterapkan. Inilah yang dikenal di kalangan Ahli Ushul Fikih dengan istilah TAHQIQUL MANATH[1].

[1] Al Manath secara bahasa artinya adalah sesuatu yang dijadikan tempat bergantung. Sedangkan menurut istilah para ulama’ fikih dan ushul fikih, yang dimaksud dengan Al Manath adalah sama dengan Al ‘Illah, yakni sesuatu yang menjadi penyebab adanya suatu hukum syar’i, karena hukum sesuatu itu bergantung kepadanya sehingga ia seperti sesuatu yang tergantung dengan yang lain. Sedangkan tahqiqul manath adalah menentukan sesuatu sebagai manath dari sebuah hukum. –penerj.

Artinya, semua tugas syar‘i yang mesti dilaksanakan oleh seorang Muslim, haruslah diukur dengan timbangan Syar‘i dalam menilai benar salah penerapannya dalam realita. Proyek Negara Islam Irak muncul sebagai aksi nyata sebuah kewajiban penting dalam Syariat Islam, situasi yang ada telah membuka peluang bagus menurut penilaian orang-orang yang ikut serta di medan Jihad hingga akhirnya situasi tersebut siap dan tepat dengan tujuan dan program penempatan proyek ini.

Titik awal yang menjadi sandaran Mujahidin dalam mendeklarasikan Negara mereka terangkai dari fakta-fakta syar‘i yang bersandar kepada Al-Quran dan Sunnah, serta analisa terhadap waqi‘ dan iklim politik yang dihasilkan dari sebuah eksperimen dan pengalaman.

Pada pasal berikut ini, kami akan menyebutkan dalil dan faktor-faktor asas didirikannya Proyek Penegakkan Daulah yang diberkahi, berdasarkan pengalaman yang dirintis dan dialami langsung oleh Mujahidin Irak.

Sesungguhnya Negara yang didirikan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung semua aspek yang biasa menjadi ciri utama negara masa kini, baik aspek politiknya, birokrasinya, atau perekonomiannya. Negara yang dicita-citakan dalam Islam adalah negara yang menegakkan Agama terlebih dahulu sebelum pertimbangan lainnya, dan yang paling pokok adalah penegakan hukum Syariat yang menitik beratkan pada kandungan hukum dan tujuan-tujuannya. Daulah yang diperintahkan oleh Syara‘ adalah negara yang terfokus kepada akidah Tauhid dan lahir darinya, yang menjalankan hukum sesuai perintah Syar‘i dalam menentukan sikap politik hubungan luar negeri, serta memutuskan hukum sesuai tuntutan Syar‘i dalam mengatur dan menjalankan politik dalam Negeri.

Oleh karena itu, kita melihat negara yang dibangun Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam selalu menjaga hak dan kewajiban agama meskipun itu akan mengorbankan kepentingankepentingan duniawi yang menjadi prioritas utama semua sistem pemerintahan dan kekuasaan modern. Fakta ini akan kita temukan dalam Sejarah kehidupan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam …!

Ibnu Kholdun Rohimahulloh berkata: “Kholifah tidak memiliki keistimewaan khusus dibanding kaum Muslimin lainnya kecuali statusnya sebagai Pelaksana hukum-hukum (syar‘i) dan penjaga agama.”

Ketika membahas Negara Islam yang tegak di Irak, dalam benak kita harus ada beberapa perkara yang memainkan peran penting dalam menentukan fase-fase pendeklarasian, kemunculan dan kelahirannya, sesuai situasi dan kondisi yang menyertainya. Perkara-perkara tersebut adalah:

1. Daulah baru ini merintis jalan menuju eksistensinya dalam suasana penuh kesukaran. Pertama-tama ia berada di garis depan melawan musuh-musuhnya (tentara Salib dan kaum Murtaddin di Irak), di mana sejak perang dimulai sudah menyatakan tujuannya untuk memberantas setiap perjuangan berbendera Islam yang ingin menerapkan Syariat dan mengangkat panji Tauhid. Di sinilah terjadi banyak kesusahan yang diderita Daulah yang diberkahi ini.

2. Daulah baru ini tidak menerima warisan apapun dari rezim sebelumnya. Ia adalah “Bangunan Islami” yang bangkit di tengah kehidupan jahiliyah, fase-fase pertamanya mirip dengan fase berdirinya Daulah Islam pertama yang didirikan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dari rahim kehidupan Jahiliyah. Rezim lama penguasa

Irak adalah rezim Ba‘ath yang kafir, lalu datanglah Invasi tentara Salib dibantu para pengkhianat bayaran dengan tujuan menyebarkan “kekufuran internasional” di Kawasan dan menancapkan simbol-simbol budaya jahiliyah modern yang disebut dengan Demokrasi.

Artinya, Daulah ini membangun bangunannya sejak dari pondasi, sehingga membuat biaya yang harus dikeluarkan di semua sector, baik administrasi, militer, ekonomi dan sosial meningkat. Atau menurut istilah sekarang memulai dari Nol.

Maksud saya di sini, Daulah Islam baru ini tidak seperti negara modern pada umumnya yang langsung bisa menikmati stabilitas keamanan, ekonomi, politik dan sosial dengan sempurna –dan ini adalah kondisi yang harus dijalani di fase pertama–, ini melihat berbagai pertimbangan yang telah kami sebutkan, yang membuat banyak orang enggan untuk turut memberikan andil di jalan ini.

Namun demikian, masih ada satu rambu petunjuk penting yang masih menyisakan kesempatan bagi Mujahidin untuk membangun landasan utama bagi Daulah yang mereka cita-citakan sesuai kemampuan minimal dan mengikuti kekuatan yang memungkinkan.

Rambu petunjuk itu adalah mempraktekkan kaidah:

“Apa yang tak bisa digapai seluruhnya, tak mesti ditinggalkan mayoritasnya.”

Tetapi, apakah yang mendorong kami untuk mengumumkan berdirinya Daulah Islam Irak? Sudah tepatkah waktunya saat ini? Dan apakah Mujahidin sudah sampai pada tingkatan yang layak untuk melaksanakan tugas memikul tanggung jawab berkuasa di muka bumi?

Kami katakan: Jawaban kami tidak berkaca kepada analisa teoritis belaka sebagaimana kajian mereka yang menisbatkan dirinya kepada ilmu, dakwah dan pemikiran. Kami adalah arus gerakan amal yang bergerak dalam dunia nyata dengan kekuatan, yang terjun langsung menghadapi berbagai resiko dan pertempuran yang ada di dalamnya, yang menentukan program dan proyek-proyeknya sesuai dengan kepentingan proyek Jihad, dan memiliki nyali yang cukup untuk memikul beban dan tanggung jawab seperti apapun.

Para pengikut jalan ini telah mengorbankan banyak darah dan nyawa sebelum akhirnya sampai pada kemuliaan dan tamkin seperti yang dilihat manusia hari ini, berkat anugerah dan karunia Alloh.

Jawaban kami terhadap berbagai pertanyaan yang muncul seputar langkah dan program kami bisa dipastikan akan bertitik tolak dari kondisi kenyataan yang kami alami, terutama sikap yang sesuai dengan kepentingan jihad, yang membantu kelanjutannya, meningkatkan hasil dan buahnya.

Jawabannya bukan kajian syar‘i teoritis para pemimpin Jihad terhadap waqi‘, dan jawabannya mengandung penempatan proyek Jihad yang paling cocok, di tengah ladangladang ranjau, rintangan dan kesulitan yang ia lalui.

Kami katakan kepada mereka yang hatinya tergelincir kemudian terburu-buru mengecam kelahiran Daulah yang diberkati dengan izin Alloh ini, kami katakan: “Kami tahu kondisi di dalam waqi‘ dan situasinya yang keras dan sulit. Keputusan yang diambil dalam urusan jihad pada setiap pertempuran merupakan keputusan yang sulit dan –tidak diragukan lagi—sangat menentukan kelangsungan ke depan. Kami percaya dan meyakini itu. Akan tetapi, pertempuran adalah milik mereka yang ikut dan yang terjun langsung di dalamnya.

Alloh telah mengkaruniai sekelompok mujahid dari anggota Majelis Syuro Mujahidin untuk maju dengan keberanian yang sulit dicari tandingannya, menghadapi serangan kaum Salibis terhadap Irak dan menggagalkan banyak sekali konspirasi dan rencana busuk yang mentargetkan Islam dan kaum Muslimin sebagai sasarannya. Inilah faktor utama yang membuat mereka mampu mengambil inisiatif dengan cepat dalam banyak hal. Dalam kondisi sulit dan di tengah kerasnya pertempuran, keputusan-keputusan penting dikembalikan kepada orang bisa menyelesaikan berbagai kesulitan dan krisis walaupun cara paling tepat menurut syara‘ dan logika bukan seperti ini –sebagaimana akan jelas nanti dalam pembahasan pengangkatan pemimpin—, namun situasi-situasi dalam pertempuran memaksanya pengambilan langkah darurat dalam banyak kesulitan dan pendekatan yang dipakai. Ini menuntut para pemimpin jihad dan anggota-anggota kelompoknya yang berada di medan untuk mengambil peran yang jelas dan strategis, mengingat mereka adalah orang yang paling banyak bergerak dan memiliki kekuatan. Merekalah orang yang paling pantas membuat keputusan dan mengarahkan perjalanan. Dengan kata lain yang lebih jelas, mereka adalah orang yang layak berkuasa dalam realita nyata, dan ini termasuk karunia yang Alloh berikan kepada mereka.

Maka tidak aneh jika keputusan-keputusan disesuaikan dengan pandangan dan perencanaan mereka. Mereka mengeluarkan keputusan itu berdasarkan kaidah-kaidah kemaslahatan yang tolok ukurnya harus dikembalikan kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan di lapangan, orang-orang yang memiliki kekuatan dan senjata yang segala permasalahan dikembalikan kepada mereka.

Ringkasnya, menaiki ‘kendaraan yang sulit’ dan menempuh jalan yang berat ini, dilakukan berdasarkan berbagai penilaian dan pemantauan kondisi peristiwa-peristiwa dan masa depannya. Dan itu merupakan langkah yang menurut kami tidak kurang bahayanya bagi musuh dari serangan kami kepada mereka sebelumnya. Meski tanpa latihan kemiliteran khusus, namun mampu menimbulkan pukulan besar dan hantaman dahsyat dari sisi politis dan terhadap musuh setelah apa yang mereka takutkan selama ini terjadi.

Kini musuh tinggal mempertahankan sisa-sisa nafasnya di Irak, yang menurut prediksi kami dampaknya adalah kegagalan yang mereka duga ketika menentukan target-target strategis di mana mereka telah mencurahkan kekuatan dan persenjataan maksimalnya –baik materi maupun personal—demi mensukseskan target tersebut. Namun Alloh memenangkan urusan-Nya, sayang kebanyakan manusia tidak mengerti.

A. Penjelasan Ringkas Mengenai Metode Syar‘i Mengangkat Pemimpin.

Ahli Ilmu sepakat bahwa Imamah (kepemimpinan) diangkat berdasarkan tiga cara (silahkan cek kitab Al-Ahkam As-Sulthoniyah tulisan Al-Mawardi dan Ghiyatsul Umam tulisan Al-Juwaini), yaitu:

Pertama: Melalui bai’at dari sekelompok kaum Muslimin yang diangkat sebagai Ahlul Halli wal ‘Aqdi terhadap orang yang mereka pilih, yang menurut mereka orang itu memiliki kriteria-kriteria kelayakan standart yang diperlukan seorang pemimpin (Imam).

Kedua: Imam menunjuk (memberi wasiat) salah seorang dari kaum Muslimin sepeninggalnya, atau Ahlul Halli wal ‘Aqdi menunjuk beberapa orang yang salah satunya akan dipilih sebagai Imam.

Ketiga: Melalu kudeta dan pemberontakan bersenjata di zaman terjadinya fitnah dan kosongnya suatu zaman dari seorang Imam sedangkan Ahlul Halli wal ‘Aqdi lamban untuk mengangkatnya. Maka di saat seperti ini, kaum Muslimin yang berhasil mengambil alih kekuasaan dengan pedangnya, lalu menyeru untuk berbai’at, menampakkan kekuatan dan pengikut, ia menjadi Amirul Mukminin secara sah menurut syariat, ia wajib ditaati dan dibai’at dan tidak boleh ada yang menentangnya.

Kesepakatan Ahli Ilmu mengenai disyariatkannya tiga metode di sini, maksud saya adalah bentuk dan kriteria yang diterima secara syar‘i menurut mereka. Dan orang yang menelaah buku-buku mereka akan menemukan penjelasan mereka lebih banyak membahas dua metode pertama (pembai’atan Ahlul Halli wal ‘Aqdi dan penunjukkan oleh Imam sebelumnya). Adapun metode ketiga, sebenarnya bukan metode utama mengangkat seorang pemimpin dan pembentukan Daulah, tetapi itu disesuaikan dengan kebutuhan dan faktor-faktor yang dipicu berbagai peristiwa dan kasus, sehingga metode ini –menyatakan kudeta— dalam kondisi tersebut menjadi kewajiban syar‘i yang mesti dijalankan, bahkan dalam banyak kondisi hukumnya fardhu ain. Suasana dan kondisi realita yang menjadi pengantar tegakknya Daulah Islam Irak akan semakin memperjelas pemahaman ini secara nyata, seperti akan dijelaskan nanti.

Kami melihat mayoritas Ulama mensahkan penggunaan metode ketiga dalam kondisi-kondisi darurat dan kritis, demi menjaga kemaslahatan agama yang tidak mungkin akan tegak selain dengan dukungan persenjataan yang membelanya, meskipun itu berasal dari satu orang yang memberontak dengan kekuatan. Sebab kalau itu tidak dilakukan akan terjadi situasi anarkis dan kekacauan disebabkan oleh banyaknya pendapat, serta benturan berbagai keinginan dan kepentingan. Akibatnya penegakkan Daulah menjadi ‘lebih jauh daripada menjangkau bintang di langit’ dan lebih sulit daripada masuknya seekor unta ke lubang jarum.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

“Seseorang yang berhasil mengambil alih kekuasaan dengan senjata sehingga ia menjadi seorang khalifah dan digelari Amirul Mukminin, maka tidak dihalalkan bagi siapapun yang mengaku beriman kepada Alloh dan Hari Kemudian berada di suatu malam dalam keadaan tidak menganggapnya sebagai Imam.”

Yang dikatakan Imam Ahmad ini, Ibnu Bathol menukil adanya Ijmak yang menyatakan hal yang sama (Lihat: Fathul Bari : I/ 17)

Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsir-nya (I/ 302):

“Jika ada orang yang pantas memegang kepemimpinan melakukan pemberontakan dan berhasil mengambilnya secara paksa dan kudeta, maka ada yang mengatakan ini adalah metode keempat. Sahl bin Abdulloh At-Tusturi pernah ditanya: ‘Apa kewajiban kita terhadap orang yang melakukan kudeta kepada negeri kita hingga ia menjadi seorang Imam?’ Ia menjawab: ‘Engkau patuhi dia, tunaikan hak yang ia minta kepadamu, jangan mengingkari tindakannya dan jangan lari darinya. Dan jika ia mempercayakan sebuah rahasia dari urusan agama kepadamu, jangan engkau sebar luaskan.’ Ibnu Khuwaiz Mindad berkata: ‘Jika kepemimpinan direbut seseorang yang layak untuk memikulnya, tanpa adanya musyawarah dan pemilihan, lalu orang-orang membai’atnya, maka bai’at itu sah. Wallohu A‘lam.’”

Catatan:

Satu hal penting yang mesti diperhatikan di sini, bahwa nash-nash yang kami sebutkan dari para Ulama tentang sahnya bai’at orang yang berkuasa atas suatu negeri dengan kudeta, itu menggambarkan situasi umum yang biasanya terjadi di masa peralihan kekuasaan dari satu khalifah ke khalifah berikutnya, juga ketika terjadi persengkataan kelompok-kelompok Islam dalam merebut kekuasaan yang tidak satu pandangan mengenai Imam yang layak diangkat. Maka, jika dalam situasi seperti ini ada orang yang menang dan memerintahkan Umat Islam mentaati dan membai’at dirinya yang telah menang dengan kekuatan, ia wajib diikuti demi menghentikan pertikaian dan fitnah.

Secara umum, dua metode pertama merupakan cara pengangkatan pemimpin yang paling tepat menurut Syar‘i, jika kondisi saat itu ada Ahlul Halli wal ‘Aqdi dan mereka bisa memilih; atau sebelumnya ada Imam yang menunjuk orang lain.

Namun di sana ada kondisi lain yang berbeda dengan sebelumnya, yang terlihat di saat-saat terjadinya musibah dan krisis dahsyat, ketika Umat Islam tidak memiliki kekuasaan dan berjalan tanpa pemimpin dan pembimbing. Biasanya ini terjadi ketika negeri-negeri Islam dikuasai musuh. Di saat seperti itu, status negeri itu berubah menjadi Negara Kafir thori[2], yang ditandai dengan berkuasanya musuh di wilayah tersebut, sebagaimana berkuasanya orang-orang kafir asli di negeri-negeri seperti Palestina, Afghanistan, Irak, atau dengan berkuasanya orang-orang murtad seperti yang terjadi di negara-negara Muslim lain.

[2] Yang aslinya bukan negara Kafir, kekafiran muncul kemudian, -penerj.

Dalam kondisi seperti ini, syarat dan kriteria yang wajib dipenuhi dalam dua metode pertama tidak mungkin dipenuhi, mengingat tidak adanya Imam sama sekali dan situasi tidak memungkinkan untuk menunjuk Ahlul Halli wal ‘Aqdi sesuai syarat-syaratnya. Atau kalaulah ada, mereka lambat memberikan solusi dan mengambil inisiatif, atau mereka lemah dan tercerai berai.

Lebih tepatnya kita katakan: Kelompok yang berjuang melakukan perubahan, mengusung Manhaj Syar‘i yang benar dan berjihad untuk menegakkan agama Islam dan menjadikannya sebagai hukum, merekalah kelompok yang berhak menyandang gelar Ahlul Halli wal ‘Aqdi di saat-saat seperti ini. Sebab kelompok seperti mereka adalah manusia yang paling berhak menyandang sifat ‘adalah (adil, kelurusan) dalam Din, seperti diberitakan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang kriteria kelompok kebenaran di saat-saat keterasingan Islam:

“Akan senantiasa ada satu kelompok Umatku yang berperang di atas perintah Alloh yang mengalahkan musuh-musuhnya, mereka tidak terpengaruh oleh orang yang menentang mereka hingga Kiamat tiba, sementara mereka tetap seperti itu.” (HR. Muslim)

Dalam situasi keterasingan seperti sekarang, menempuh dua metode pertama sebagai solusi untuk menegakkan sebuah Negara tidak memungkinkan. Sehingga mau tidak mau harus melangkah di atas jalan yang bisa mengobati situasi ini dan memenuhi hak-haknya, menyesuaikan realita Umat Islam yang kehilangan khilafah dan kekuasaan, ditambah tidak mampunya Ahlul Halli wal ‘Aqdi melaksanakan pekerjaan penuh berkah ini, dan imam yang melaksanakan tugas penunjukkan kepemimpinan kepada seseorang setelahnya juga tidak ada sama sekali.

Oleh karena itu, kondisi waqi‘ di negeri-negeri kaum Muslimin saat ini secara umum tidak tepat jika diterapkan dua metode pertama. Sebab tidak diketahui adanya perkumpulan dan pelantikan Ahlul Halli wal ‘Aqdi selain berkumpulnya beberapa gelintir orang-orang terbaik kaum Muslimin ditambah dengan tidak adanya Pimpinan (Imam) Umum. Dalam kondisi seperti ini, harus ada ‘solusi darurat’ yaitu mengangkat mereka yang berhasil menang dan mengambil tampuk kekuasaan dengan kekuatan, demi menjaga mashalahat-maslahat penting yang tidak bisa ditunda serta untuk menolak berbagai kejahatan dan kerusakan yang pasti akan timbul.

Barangkali, penjelasan tergamblang mengenai pemikiran ini adalah ungkapan indah yang ditulis Imam Juwaini dalam kitab Ghiyatsul Umam, ketika beliau mengkritisi situasi darurat di zaman tidak adanya Imam dan kewajiban mengangkatnya serta membentuk Daulah secepat mungkin, beliau berkata (I/ 231):

“Jika di suatu zaman tidak ada orang yang memiliki sifat-sifat orang-orang terpilih, lalu orang itu menyerukan untuk mengikutinya secara total, jika ia merebut kepemimpinan dengan kekuatan, maka ia adalah Imam yang sah, dia dihukumi sebagai orang yang mengangkat dan diangkat. Dalilnya, bahwa kebutuhan akan seorang Imam sangat jelas, sementara yang cocok menjadi imam hanya satu orang setelah dalam jangka waktu yang lama terjadi kekosongan Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Maka, tidak ada alasan untuk mengkosongkan suatu zaman dari seorang pemimpin yang bertugas melindungi wilayah Islam dan perbatasannya. Ini adalah hal yang pasti, pengetahuannya tidak samar oleh orang yang memahami kaidah kepemimpinan.”

Beliau berkata lagi, “Jika sebuah zaman kosong dari seseorang yang layak memegang tugas ini dilantik, maka tidak perlu menunjuk dan memperjelas orang yang mengangkat. Keterangan pembukti kebenaran dalam masalah itu adalah: Jika dalam kondisi seperti ini urusannya berujung kepada orang yang dipilih, hendaknya ia dibai’at, diikuti, dipilih dan didukung. Kalau dia menolak, ia tetap harus dipilih meskipun ia tidak suka. Tidak perlu pensyaratan harus berdasarkan pilihan sendiri, atau pilihan orang yang mengangkat. Jika di zaman seperti itu mendesak adanya orang yang dilantik, maka kondisi ini tidak memerlukan penunjukkan dan penetapan dari seseorang. Penjelasan lengkap dari maksud ini memerlukan penyebutan satu hal: orang itu –meskipun tidak perlu pemilihan dan pengangkatan— harus unggul dari sisi kekuatan dan pertahanan, serta mengajak masyarakat untuk memberikan ketaatan. Jika ia melakukan itu, maka ia adalah Imam, baik bagi yang setuju dan mau mengikuti maupun bagi orang yang menentang dan menolak.”

Ia berkata lagi: “Kami katakan: Jika orang-orang yang semestinya mengangkat pemimpin malas atau berlambat-lambat dalam mengangkat Imam, sementara masa vakum telah berjalan lama, kesulitan semakin panjang, daerah kekuasaan semakin tersebar dan faktor-faktor kelemahan mulai tampak, kemudian ada satu orang yang layak menjadi Imam mengajak manusia mengikutinya, berusaha mengumpulkan yang terpecah dan mengembalikan faktor-faktor kekurangan yang nampak, jika orang yang kami sebutkan ini berkuasa dengan persenjataan yang lengkap, kemudian kekuasaannya tidak dipakai untuk melakukan kefasikan, kemaksiatan dan meninggalkan agama, jika itu terjadi dan jika ia dipalingkan atau jika yang diangkat orang lain akan menimbulkan fitnah dan hal-hal yang

dilarang, maka pendapat yang benar ia harus didukung, ketundukan diberikan kepadanya, dan tangan-tangan orang yang berkewajiban mengangkat dijulurkan ke arahnya.”

B. Rincian Penjelasan Tentang Metode Pertama Pengangkatan Imam (Bai’at Ahlul Halli Wal ‘Aqdi)

Maksudnya, Ahlul Halli wal ‘Aqdi memilih orang yang layak menjadi Imam.

Imam Nawawi menukil ijmak tentang metode pengangkatan Imam dengan cara dipilih (Syarah Muslim: XII/ 205), dan ini adalah cara paling ideal menurut Jumhur Ulama, sebab sikap saling ridho terpenuhi, dan karena kepemimpinan itu datang dari Ahlul Halli wal Aqdi yang merupakan manusia paling mengerti tentang maslahat Umatnya dan paling bersungguh-sungguh merealisasikannya.

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah orang yang mengangkat Imam. Berikut ini pendapat-pendapat mereka:

Pertama: Kesepakatan seluruh kaum Muslimin. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat Abdus bin Malik dan Ishaq bin Manshur. Ia berkata: “Dan barangsiapa diangkat sebagai khalifah, lalu manusia menyepakatinya dan ridho kepadanya…dst.” (Minhajus Sunnah : I/ 112)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang hadits:

“Barangsiapa meninggal dunia tanpa memiliki seorang imam, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” …apakah maksud hadits ini?

Maka beliau menjawab: “Tahukah kamu apa itu Imam? Imam adalah (pemimpin) yang disepakati kaum Muslimin, yang semuanya mengatakan bahwa dia adalah Imam. Inilah maknanya.” (Lihat As-Sunnah tulisan Al-Kholal: I/ 160)

Ini juga merupakan pendapat Hisyam Al-Futi, Abdur Rohman Al-Ashom, keduanya adalah penganut Mu‘tazilah (Lihat kitab Maqolatul Islamiyyin), dan pendapat sekte Karomiyah (Lihat Al-Milal wan Nihal ).

Pendapat ini bisa dibantah dengan mengatakan itu hal yang mustahil. Kalau kesepakatan seluruh anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi saja tidak mungkin, atau sulit, dan pensyaratan harus adanya kesepakatan dari mereka akan menimbulkan banyak mafsadah –seperti akan dijelaskan—maka bagaimana jika seluruh kaum Muslimin harus sepakat?

Kedua: Kesepakatan seluruh anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat Ishaq bin Ibrohim. Ahmad berkata: “Imam adalah yang disepakati oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi.” (Lihat: Al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 23)

Namun pendapat ini tidak direstui kebanyakan Ulama. Ibnu Hazm rohimahulloh berkata: “Adapun pendapat yang mengatakan bahwa kepemimpinan tidak sah kecuali berdasarkan pengangkatan dari orang-orang terbaik Umat Islam yang berada di berbagai penjuru negeri, adalah pendapat batil. Sebab ini pembebanan sesuatu yang tidak bisa dipikul, di luar kemampuan dan merupakan kesusahan besar.

Padahal Alloh Ta‘ala tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai kemampuannya. Alloh Ta‘ala berfirman: “Dan Alloh tidak menjadikan kesulitan dalam agama bagi kalian…” (QS. Al-Hajj: 7 8)

Tidak ada kesusahan yang melebihi mencari tahu kesepakatan (ijmak) tokoh-tokoh di negara Mulitan, Manshuroh, negara Mahroh sampai ke ‘Aden, terus hingga ke ujung negeri Mushomadah sampai ke Thonjah, ke Asybunah, kepulauan-kepulauan Laut hingga daerah tepi pantai Syam, ke Armenia, Jabal Fath hingga ke Asmaar, Farghonah, Asrusynah, hingga ujung Khurosan sampai Jurjan, ke Kabul hingga ke Maulitan, dan di antara daerah-daerah ini masih ada banyak kota dan desa. Mau tidak mau ini menyebabkan urusan kaum Muslimin terbengkalai sebelum seratus tokoh dari Negeri-negeri ini tadi sempat berkumpul.

Dengan demikian, pendapat rusak ini adalah batil. Meskipun kalau itu memungkinkan tentu tidak wajib, sebab itu pernyataan tanpa bukti.” (Al-Fishol Fi `l-Milal wa `n-Nihal : III/84)

Bahkan, Al-Juwaini menyebutkan adanya Ijmak yang menyatakan tidak diperlunya syarat adanya kesepakatan seluruh anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi, ia berkata: “Termasuk perkara yang pasti, bahwa kesepakatan bukan syarat diangkatnya pemimpin berdasarkan Ijmak.” (Lihat Al-Ghiyatsi: penulis tak menyebutkan halaman berapa, penerj.)

Al-Juwaini memberikan argumen mengapa hal ini tidak disyaratkan: “Tujuan diangkatnya seorang Imam adalah menjaga daerah dan memperhatikan urusan-urusan Islam. Sebagian besar urusan yang penting tidak bisa ditunda-tunda, seandainya urusan tersebut lambat diperhatikan akan menimbulkan kerusakan tak terperbaiki dan kekurangan besar tak tergantikan. Maka jelaslah bahwa pengangkatan Imam itu mustahil jika disyaratkan adanya kata sepakat.” (Al-Ghiyatsi: hal. 67-6 8)

Perkataan Al-Juwaini ini diperkuat dengan Khutbah Umar, ketika ia berkata: “Pengambilan sumpah (Bai’at) terhadap Abu Bakar terjadi secara mendadak, namun Alloh telah melindungi kaum Muslimin dari keburukannya.” (HR. Bukhori dan lain-lain)

Artinya, pembai’atan Abu Bakar hanya berlangsung sekejap yang dalam waktu sekejap itu ada perkara-perkara besar, namun Alloh menyelamatkan.

Ketiga: Pengangkatan cukup dengan kesepakatan anggota Ahlul Halli wal Aqdi yang bisa berkumpul.

Pendapat ini dipegang oleh Imam Nawawi, ia berkata: “Yakni para ulama, para pemuka dan tokoh masyarakat yang bisa berkumpul dengan mudah.” (Lihat Ar-Roudhoh dan Nihayatul Muhtaj ). Tokoh masyarakat yang dimaksud adalah para pembesar dalam kepemimpinan, ilmu, dan lain sebagainya. (Lihat Hawasyi Asy-Syirwani Ali: IX/ 76) Imam Nawawi juga berkata di dalam Syarah Muslim –setelah beliau mengkisahkan keterlambatan Ali bin Abi Tholib membai’at Abu Bakar radhiyalloh ‘Anhuma—: “Meskipun demikian, keterlambatannya itu tidak membuat bai’at tersebut tercemar dan tidak pula mencemarkan Ali.

Adapun bai’at, para ulama telah sepakat bahwa membai’at seluruh manusia dan seluruh anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi bukan menjadi syarat sahnya bai’at tersebut. Yang disyaratkan adalah membai’at orang yang memungkinkan dengan mudah berkumpul, baik dari kalangan Ulama, para pemimpin dan tokoh masyarakat.” (XII/ 77…)

Ini juga dinukil oleh Asy-Syaukani dari Abu Muhammad Al-Juwaini, ayah dari Imam Haramain. (Lihat Irsyadul Fuhul: 161 Cet. I terbitan Maktabah Tijariyah)

Dari perkataan Al-Mawardi berikut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ia juga memakai pendapat ini, ia berkata: “Yang menjadikan orang yang hadir di negeri tempat tinggal Imam itu menjadi orang yang berhak mengangkat Imam adalah ‘urf (kebiasaan), bukan dalil syar‘i. Sebab dialah yang lebih dahulu mengetahui kematian Imam tersebut, dan karena biasanya orang-orang yang layak menerima jabatan Kholifah itu ada di negeri di mana Imam tinggal.” (Al-Ahkam As-Sulthoniyah: 6)

Al-Qolqosyandi berkata: “Dan inilah pendapat yang paling benar menurut pengikut kami, para penganut madzhab Syafi‘i.” (Ma’atsirul Inafah: I/ 44)

Keempat: Diangkat oleh 40 orang, diqiyaskan dengan jumlah peserta sholat Jum‘at. Ini adalah pendapat sebagian Ulama pengikut madzhab Syafi‘i, di antaranya adalah Al-Hulaimi di dalam Al-Minhaj, ia berkata: “Jika orang yang memiliki kelengkapan syarat menjadi Imam tidak ditunjuk oleh Imam sebelumnya, sementara pengangkatan Imam bagi kaum Muslimin diperlukan, lalu ada 40 orang adil dari kaum Muslimin, salah satu dari mereka adalah Ulama yang layak memberi keputusan hukum di tengah manusia, lalu ke-40 orang itu mengangkat seseorang yang dalam dirinya terkumpul syarat-syarat yang telah kami sebutkan, dan setelah melakukan penelitian serta berijtihad secara sungguh-sungguh, maka kepemimpinan itu diberikan kepadanya dan ia wajib ditaati.” (Menukil dari An-Nuwairi dalam Nihayatul Arbi : VI/ 3 dan Thuruq Intiha’i Wilayatil Hukkam: hal. 156)

Pendapat ini dilandasi oleh pengikut madzhab Syafi‘i yang mensyaratkan dalam sholat Jumat harus ada 40 orang peserta. Tetapi jika Anda termasuk yang berpendapat akan lemahnya pensyaratan jumlah tertentu dalam sholat Jumat kecuali jumlah yang sah dalam melaksanakan sholat jamaah, Anda bisa menyimpulkan bahwa pendapat yang dibangun di atas pensyaratan jumlah tersebut adalah lemah. Abdul Haq berkata di dalam Ahkam-nya: “Tidak ada satu pun pensyaratan jumlah dalam sholat Jumat.” (Lihat Kitab Al-Jum‘ah, Aadaab wa Ahkaam: 85-89)

Kelima: Diangkat oleh lima orang. Inilah pendapat mayoritas Fuqoha dan Mutakallimin dari kalangan penduduk Bashrah dan Qodhi Abdul Jabbar (w. 415 H). Mereka berdalil bahwa pembai’atan Abu Bakar dilaksanakan oleh lima orang, mereka adalah: Umar, Abu Ubaidah, Basyir bin Sa‘ad, Salim Maula Abu Hudzaifah, dan Usaid bin Khudhair radhiyallohu ‘anhum. Alasan lain karena Umar membentuk Majelis Syuro beranggotakan enam orang yang mengangkat salah seorang dari mereka dengan keridhoan dari yang lima.

Pendapat ini bisa dijawab: Bahwa proses bai’at Abu Bakar tidak hanya dilakukan oleh kelima orang tersebut seperti akan kami jelaskan. Adapun penunjukkan yang dilakukan Umar adalah penunjukan orang-orang yang dipilih, bukan orang-orang yang mengangkat.

Keenam: Diangkat oleh empat orang, diqiyaskan dengan jumlah saksi maksimal (dalam Islam), yaitu saksi dalam kasus perzinaan. Ini adalah pendapat sebagian penganut Mu‘tazilah, tidak diketahui apa argumentasi mereka melakukan qiyas yang ‘agak aneh’ ini.

Ketujuh: Diangkat oleh tiga orang. Ini adalah pendapat sebagian Ulama Kufah sebagaimana disebutkan oleh Al-Mawardi. Alasannya, tiga orang adalah jamaah yang tidak boleh ditentang. Dan hendaknya mengangkat salah satu dari mereka dengan keridhoan dari yang dua, sehingga salah satu menjadi pemutus dan yang dua sebagai saksi, seperti akad nikah yang sah dengan satu wali dan dua saksi.

Kedelapan: Diangkat oleh dua orang. Ini disebutkan oleh Al-Juwaini, namun ia tidak menisbatkan pendapat ini kepada siapa pun dan tidak menyebutkan dalilnya. Jika yang dimaksud adalah dua orang yang diridhoi oleh orang ketiga, maka berarti sama dengan pendapat sebelumnya.

Kesembilan: Diangkat cukup oleh satu orang anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi secara mutlak. Ini adalah pendapat Abul Hasan Al-Asy‘ari sebagaimana disebutkan oleh Al-Baghdadi dan Ibnu Hazm (Al-Fishol: III/ 85), juga pendapat Al-Iijiy dalam Al-Mawaqif, Al-Qurthubi dalam Al-Jami‘ Li Ahkamil Quran (I/ 269) dan Al-Baqilani. Mereka berdalil dengan pembai’atan Abu Bakar, karena hanya Umar-lah yang membai’atnya. Mereka juga berdalil dengan perkataan Abbas kepada Ali dalam perisitiwa As-Saqifah: “Ulurkan tanganmu untuk kubai’at.” Maka orang-orang berkata: “Paman Rosululloh telah membai’at sepupunya, maka tidak ada dua orang yang menyelisihimu.” Alasan lain karena akad adalah hukum dan hukum satu orang itu berlaku.

Ibnu Hazm berdalil bahwa anggota Syuro yang ditunjuk oleh Umar dahulu tidak mau memberikan pilihan dan melimpahkannya kepada satu orang saja, yaitu Abdur Rohman bin Auf. Ia (Ibnu Hazm) berkata: “Secara shohih, Ijmak mereka menunjukkan bahwa pemimpin bisa diangkat oleh satu orang.” (Ibid).

Sisi-sisi penggunaan dalil mereka bisa dijawab bahwa pembai’atan Abu Bakar ternyata tidak hanya dilakukan oleh Umar saja, tetapi berdasarkan persetujuan mayoritas shahabat terhadap bai’at tersebut. Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun Umar yang mendahului membai’atnya, maka dalam setiap bai’at mesti ada yang mengawali.” (Lihat Minhajus Sunnah)

Adapun perkataan Abbas tadi, dari segi periwayatan tidak shohih. Kalaulah shohih, itu adalah perkataan shahabat yang diselisihi oleh shahabat lain sehingga tidak bisa digunakan sebagai hujjah; bisa juga bahwa makna riwayat itu adalah ditetapkannya khalifah berdasarkan persetujuan manusia kepadanya, bukan semata-mata pilihan Abbas saja.

Abu Ya‘la membantah pendapat ini dengan menggunakan hadits:

“Barangsiapa menginginkan Surga yang tengah-tengah, hendaknya ia mengikuti Jamaah. Karena setan bersama satu orang, dan dia dari dua orang semakin jauh.” (Hadits shohih riwayat Ahmad dalam Al-Musnad: 114, 177, Nasa’i di dalam As-Sunan Al-Kubro: 9219–9221, sanad kedua riwayat ini shohih, Tirmidzi di dalam Al-Fitan –Bab Ma Ja’a Fi Luzumil Jama‘ah, namun pada sanadnya terdapat Nadhr bin Ismail: Ia bukan perawi yang kuat; diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban: 7254, 4576, 5586, 6728, Hakim: 387 dan ia menshohihkannya berdasarkan Syarat Bukhori - Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi; Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubro: 13299, dan Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi di dalam Al-Mukhtaroh: 96, 98, 155, 156 ia berkata: Isnadnya shohih, semuanya bersumber dari hadits Ibnu Umar rodliyallohu ‘anhu)

Saya katakan: Hadits ini ada yang riwayatnya marfu‘ dan ada yang mauquf, riwayat yang marfu‘ lebih shohih, wallohu A‘lam. Adapun perkataannya bahwa pengangkatan adalah hukum, jawabannya adalah bukan, akan tetapi akad, sedangkan dalam akad harus ada saling ridho antara kedua belah fihak. Adapun dalil Ibnu Hazm bahwa anggota Majelis Syuro melimpahkan urusan pemilihan kepada Abdur Rohman bin Auf maka bisa dijawab: bahwa Abdur Rohman bin Auf tidak asal mengangkat, namun ia habiskan tiga malam tanpa tidur –kecuali sedikit— di mana dalam tiga hari itu ia mendatangi orang-orang dan bertanya kepada mereka, barulah setelah itu ia mengatakan: ‘Wahai Ali, aku telah melihat kondisi manusia, ternyata aku melihat mereka tidak bersikap adil terhadap Utsman, maka janganlah engkau biarkan dirimu melakukan hal yang sama.’ Setelah itu ia berkata: ‘Aku bai’at kamu sesuai Sunnah Alloh dan Sunnah Rosul-Nya serta Sunnah dua Khalifah sepeninggal beliau.’ Maka Abdur Rohman membai’atnya dan orang-orang pun membai’atnya, baik Muhajirin maupun Anshor, demikian juga para komandan pasukan dan kaum Muslimin. (HR. Bukhori –Kitabul Ahkam- Bab Bagaimana Imam Membai’at Manusia, no: 6781, dan Kitab Fadhoilus Shohabah-Bab Kisah Pembai’atan dan Persetujuan terhadap Utsman: 3497)

Oleh karena itu, Ibnu `t-Tiin berkata: “Diamnya anggota Syuro yang hadir, kaum Muhajirin dan Anshor serta para komandan pasukan merupakan bukti mereka membenarkan kata-kata Abdur Rohman dan keridhoan terhadap Utsman.” (Lihat Al-Fath: XIII/ 197)

Kemudian, Abdur Rohman berhak mengangkat Khalifah dan memberikan masukan tentangnya karena persetujuan shahabat yang lain, bukan semata-mata kemauannya sendiri. Sementara mereka yang berpendapat bahwa Imam boleh diangkat oleh seorang saja, menyebutkan riwayat ini secara mutlak tanpa memperincikannya. Dalil lain yang menunjukkan bahwa Imam tidak boleh diangkat oleh satu orang saja adalah pidato Umar di hadapan khalayak kaum Muslimin di Masjid Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam –nanti akan kami sebutkan selengkapnya—, ini merupakan bentuk ijmak yang shohih tanpa diragukan lagi.

Kesepuluh: Diangkat oleh satu orang, asalkan ketika membai’at ada kekuatan. Ini adalah pendapat Al-Juwaini dan Al-Ghozali. Al-Ghozali berkata: “Seandainya yang membai’at Abu Bakar ketika itu bukan Umar, tentu semua orang akan menentang, atau paling tidak mereka akan terpecah kepada dua kekuatan yang berimbang di mana ketika Imam dilantik tidak bisa dibedakan mana fihak yang menang dan mana fihak yang kalah. Maka, sesungguhnya syarat memulai pengangkatan Imam adalah adanya kekuatan dan hati manusia tidak mengarah kepada keberpihakan.” (Lihat Fadho’ihul Bathiniyyah: 176 – 177)

Al-Juwaini berkata: “Akan tetapi, orang yang membai’at itu disyaratkan harus orang yang pembai’atannya bermanfaat, baik dari segi kekuatan maupun kekuasaan.” (Al-Ghiyatsi: hal. 72) Baik Al-Ghozali maupun Al-Juwaini, sama-sama berpendapat pemimpin bisa diangkat oleh satu orang. Berkata Al-Ghozali: “Pendapat yang kami pilih, satu orang cukup untuk membai’at seorang Imam.” (Fadhoihul Bathiniyah: tanpa halaman)

Al-Juwaini berkata: “Pendapat yang paling dekat dengan kebenaran adalah yang direstui oleh Qodhi Abu Bakar yang dinukil dari Syaikh kami, Abul Hasan, bahwa kepemimpinan dianggap sah dengan pembai’atan yang dilakukan satu orang dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Namun, pendapat yang kami sebutkan ini mensyaratkan keharusan adanya kekuatan. Maka ia berkata lagi: “Jika satu orang melakukan pembai’atan, yang orang itu memiliki cukup banyak pengikut dan pendukung dan ditaati di kalangan kaumnya, dan bai’at yang ia lakukan menghasilkan manfaat seperti yang telah kami sebutkan, maka kepemimpinan itu sah.” (Al-Ghiyatsi : 72)

Kesebelas: Yang dijadikan ukuran adalah Bai’at mayoritas anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi, yang dengan keberadaan mereka maka persenjataan, kekuatan dan loyalitas ada. Inilah pendapat Ibnu Kholdun (Lihat dalam Muqoddimah-nya), An-Nawawi, Ibnu Taimiyah dan lain-lain –rohimahumulloh.

Ibnu Taimiyah rohimahulloh berkata: “Abu Bakar menjadi Imam karena bai’at dari mayoritas shahabat yang merupakan pemegang kekuatan dan persenjataan. Sehingga ketidak ikut sertaan Sa‘ad bin Ubaidah rodliyallohu ‘anhu tidak begitu berpengaruh, sebab itu tidak mengurangi tujuan dari sebuah kepemimpinan. Karena tujuan kepemimpinan adalah adanya kekuatan dan kekuasaan yang dengan keduanya maslahat-maslahat kepemimpinan tercapai. Ini sudah tercapai dengan adanya persetujuan dari mayoritas sahabat. Maka, siapa yang mengatakan Abu Bakar menjadi imam hanya berdasarkan persetujuan satu orang, dua orang atau empat orang saja, padahal mereka bukan pemilik kekuatan dan persenjataan, maka ia telah keliru. Sebaliknya, orang yang berasumsi bahwa ketidak ikut sertaan satu, dua atau empat orang bisa mempengaruhinya, maka ia juga telah keliru.” (Lihat Minhajus Sunnah: I/ 141)

Telah kami sebutkan sebelumnya perkataan Imam Nawawi ketika beliau membahas definisi Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat dari semua pendapat, sebab didukung oleh dalil-dalil sebagaimana akan kami kemukakan sebentar lagi. Pendapat ini juga bisa dikembalikan kepada pendapat ketiga, maka renungkanlah.

Untuk pendapat kesepuluh, ada sisi kekuatannya. Sayangnya ia terbantahkan oleh dua hal. Yang pertama bersifat parsial, yang kedua bersifat menyeluruh. Mengenai yang pertama, berdasarkan sebuah riwayat Bukhori (dalam kitab Hudud- Bab Merajam Wanita Yang Hamil Akibat Zina) dan lain-lain, mengenai Khutbah Umar ketika ia mendengar ada seseorang berkata: “Seandainya Umar meninggal dunia, aku akan membai’at si Fulan (sebagai pemimpin), bukankah pembai’atan Abu Bakar dilakukan mendadak?”

begitu mendengar kata-kata ini Umar marah dan berkata: “Sungguh ada orang yang mengatakan: ‘Seandainya Umar meninggal dunia, aku akan membai’at si Fulan (sebagai pemimpin), bukankah pembai’atan Abu Bakar dilakukan mendadak?’ Memang, pembai’atan Abu Bakar mendadak, namun Alloh telah menjaga kaum Muslimin dari keburukannya, sedangkan di antara kalian tidak ada orang yang rela lehernya dikorbankan demi orang lain selain untuk Abu Bakar. Ingat, jika ada seseorang membai’at orang lain tanpa musyawarah dari kaum Muslimin maka janganlah orang itu diikuti, demikian juga orang yang membai’atnya. Karena ia menipu dirinya sendiri dan menyodorkan dirinya untuk dibunuh.” Dalam riwayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Umar menjadikan adanya musyawarah dari para cerdik pandai kaum Muslimin sebagai syarat sahnya bai’at, dan bahwasanya bai’at satu orang untuk satu orang tidak sah, kemudian sikap Umar itu disetujui oleh kaum Muslimin di masjid Rosullulloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sehingga ini merupakan ijmak mereka.

Adapun yang kedua: Bahwa pada umumnya kekuatan itu ada pada mayoritas Anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Jarang kekuatan itu ada pada satu orang saja. Dan syariat itu mengkaitkan berbagai hukum berdasarkan sesuatu yang umum, bukan yang jarang terjadi. Maka, syarat adanya persetujuan mayoritas anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi sesuai dengan kaidah Ushul. Dengan demikian jelaslah kuatnya pendapat kesebelas ini, Wallohu Ta‘ala A‘lam.

Alloh telah memberi taufik kepada rekan-rekan kami dalam hilful Muthibin[3] yang mewakili mayoritas Ahlul Halli wal ‘Aqdi di negeri ini. Dan Majelis Syuro Mujahidin masuk dalam kumpulan ini, mereka tergabung dari tujuh kelompok gerakan jihad, kesemuanya memiliki nama organisasi, pemimpin dan pasukan yang sudah dikenal. Tidak seperti kata sebagian bahwa kelompok-kelompok tersebut sebenarnya tidak ada[4]. Padahal, demi Alloh, tidak mungkin kami mengorbankan darah-darah kami, kemudian setelah itu kami berdusta kepada publik.

[3] Tentang istilah hilful muthibin ini Al Bukhori meriwayatkan hadits di dalam Al Adabul Mufrod dari ‘Abdur Rohman bin ‘Auf, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: Dahulu aku ikut bersama paman-pamanku dalam hilful muthibin, dan aku tidak ingin membatalkannya meskipun aku diberi unta merah. (Shohih Al Adabul Mufrod, no: 441)

Dalam menerangkan hilful muthibin ini Ibnul Atsir mengatakan di dalam An Nihayah: “Dahulu pada masa Jahiliyah Bani Hasyim, Bani Zahroh dan Tamim berkumpul di rumah Ibnu Jud’an, lalu mereka meletakkan thiib (minyak wangi) di dalam sebuah mangkuk besar lalu mereka mencelupkan tangan mereka ke dalamnya. Lalu mereka berjanji untuk saling tolong-menolong dan membela orang yang terdholimi. Oleh karena itulah mereka dinamakan al muthibin.” -penerj.

[4] yang punya anggapan batil ini berasal dari kelompok sesat diantara-nya hizbut tahrir dan ikhwanul muslimin -ed.

Telah terjadi musyawarah yang melibatkan lebih dari 60 % tetua kabilah-kabilah Ahlus Sunnah di wilayah-wilayah Mujahidin berada. Kami melihat bagaimana sambutan dan kegembiraan mereka terhadap urusan ini, walhamdulillah.

Kami juga berjuang mengajak mayoritas kelompok-kelompok Jihad untuk bermusyawarah dan berusaha bertemu langsung dengan mereka. Akan tetapi Alloh Mahatahu bahwa mereka tidak mengizinkan kami untuk itu karena alasan keamanan. Akhirnya, sudah menjadi kewajiban kami untuk membentuk pemilihan Ahlul Halli wal ‘Aqdi sebatas yang bisa kami kumpulkan, di tengah situasi sulit ini. Maka, alhamdulillah, pengangkatan itu berhasil kami lakukan setelah mencurahkan segala upaya untuk mengumpulkan Ahlul Halli wal ‘Aqdi, segala puji bagi Alloh atas terlaksananya urusan ini.

C. Rincian Penjelasan Metode Kedua Pengangkatan Imam (Penunjukan/Wasiat Imam Kepada Seseorang Sepeninggalnya)

Yaitu, Khalifah ketika masih hidup –baik dalam kondisi sakit atau sehat—menunjuk (berwasiat) kepada seseorang sebagai Khalifah sepeninggalnya. Oleh karena itu, metode ini disebut metode Al-‘Ahdu (penunjukkan, wasiat).

Imam Nawawi berkata: “Mereka sepakat bahwa ketika khalifah mengalami tanda-tanda kematian, ia boleh menunjuk orang lain dan boleh juga tidak. Jika ia tidak melakukannya berarti ia telah meneladani Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, jika melakukannya berarti ia telah meneladani Abu Bakar. Mereka semua sepakat bahwa khalifah bisa diangkat dengan wasiat Imam sebelumnya.” (Syarah Muslim: XII/ 205)

Al-Mawardi menyatakan adanya Ijmak tentang bolehnya pengangkatan Imam berdasarkan wasiat Imam sebelumnya. (Lihat Al-Ahkam As-Sulthoniyah: hal. 10), ia berdalil dengan penunjukkan Abu Bakar terhadap Umar radhiyallohu ‘anhuma dan kaum Muslimin menyetujuinya. Juga karena Umar menunjuk 6 anggota Majelis Syuro dan kaum Muslimin menerimanya. Inilah inti perkataan Al-Mawardi.

Dalil lain yang menunjukkan bolehnya berwasiat adalah riwayat yang dibawakan Muslim dari hadits Aisyah radhiyallohu ‘anha ia berkata: “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku:

“Panggillah ayah dan saudaramu agar kutulis surat wasiat. Karena aku khawatir kelak ada yang berangan-angan dengan mengatakan: Aku lah yang paling berhak (menjadi pemimpin), padahal Alloh dan orang-orang beriman tidak menghendaki selain Abu Bakar.” (HR. Muslim –Kitab Fadho’ilus Shohabah- Bab Min Fadho’ili Abi Bakr: 2387)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak memperhatikan suatu perkara kecuali menunjukkan perkara itu boleh.

Tidak ada komentar: