taman kita

taman kita

Senin, 26 Januari 2009

Proklamasi Daulah Islam Irak 4

Masalah Pertama: Faktor-Faktor Yang Mendorong Penegakan Daulah Islam Irak

Setelah menjelaskan definisi Daulah Islam dan kriteria penegakkannya, kini melakukan qiyas dan perbandingan menjadi dekat untuk dijangkau dan digunakan. Pembahasan yang akan kita angkat akan mengkaji seputar pengalaman merintis Jihad di zaman sekarang, pengalaman jihad di Irak, yang pengalaman ini mesti direnungi agak lama oleh setiap orang yang terjun dalam kancah perjuangan Islam. Pelajaran-pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman ini bisa memberikan pengaruh dalam program-program perencaan jihad dengan bentuk yang indah namun realistis, cara pandang dan berfikirnya akan sedikit lebih produktif, serius tapi riil . Itu dibuktikan dengan kondisi yang tengah kami alami sekarang; sejak pecah perang Irak selama tiga tahun lebih sedikit, Mujahidin sudah berhasil memproklamirkan berdirinya Daulah Islam di bumi Irak. Ini tak lepas dari terjadinya akselerasi cukup unik dan penting pada tataran pelaksanaan jihad dalam poros-poros militernya, administrasinya, media informasinya, dan pengaruh politiknya. Dan semua ini semata-mata menggambarkan karunia dan perhatian Alloh Sang Pencipta –Azza wa Jalla, hidayah dan taufik yang agung terhadap Kelompok yang diberkahi ini.

Setelah memaparkan gambaran tadi, target kita sekarang adalah mengetahui fakta-fakta penting didukung kaidah Syar‘i (berupa bukti dan dalil-dalil) yang akan menjadi landasan berdirinya proyek Daulah Islam Irak. Itulah yang menjadi pemicu tegaknya sebuah Daulah Islam pada segolongan manusia di negeri Irak, maksud saya anggota Majelis Syuro Mujahidin –semoga Alloh memudahkan mereka terhadap segala kebaikan dan menjadikan kemenangan melalui tangan mereka—.

1. Majelis Syuro Mujahidin Memiliki Keunggulan Kekuatan Dan Senjata Dalam Skala Cukup Besar Untuk Mengkontrol Wilayahnya.

Ini merupakan fakta situasi yang terbentuk secara “paksa” akibat terjadinya perang melawan tentara Salibis dan kaum Murtaddin di Irak. Maka, setelah Alloh ‘Azza wa Jalla memberi taufik kepada hamba-hamba-Nya yang mau berjihad untuk mengangkat senjata dan terjun langsung ke medan jihad dan pertempuran, Alloh muliakan mereka dengan memberikan Tamkin dan posisi yang kuat di banyak daerah dan wilayah. Ini merupakan hasil yang sudah sewajarnya dimiliki Mujahidin setelah mereka berperang dan teguh dalam peperangan tersebut. Alhasil, terbentang di hadapan mereka area wilayah yang sangat luas sebagaimana telah kami singgung sebelumnya, terwujud pada diri mereka makna kekuatan dan pertahanan hakiki yang mereka miliki di berbagai wilayah. Selanjutnya, otomatis kendali kekuasaan di wilayah-wilayah yang dikuasai menjadi milik mereka, kemudian mereka menjadi penentu keputusan pertama.

Mereka juga berhasil mewujudkan sistem persenjataan dan pertahanan yang menjadi pilar penegak sebuah negara dan pemerintahan. Sebab simbol utama penegakkan Daulah Islam adalah munculnya kekuasaan, sifat-sifat kepemimpinan dan senjata. Dalilnya adalah: “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Alloh-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 41)

Al-Quthubi berkata (dalam Tafsir-nya: IV/ 49):

“Di sini Alloh menjadikan Amar Makruf Nahi Mungkar sebagai pembeda antara orangorang beriman dan munafik. Ini menunjukkan bahwa sifat paling khusus orang beriman adalah Amar Makruf Nahi Munkar yang puncaknya adalah mengajak kepada Islam dan berperang untuk itu. Kemudian, Amar Makruf Nahi Munkar tidak selayaknya dibebankan kepada semua orang, namun yang melaksanakannya adalah penguasa. Sebab penegakan hudud diserahkan kepadanya, hukum ta‘zir dikembalikan kepada pendapatnya, termasuk memenjarakan dan membebaskan serta membuang dan mengasingkan orang. Maka, hendaknya di setiap negeri diangkat seorang lelaki sholeh, kuat, berilmu dan terpercaya, yang memerintahkan dengan itu dan menegakkan hudud sesuai tuntunannya tanpa menambah sedikit pun.”

Abu `s-Su‘ud berkata (VI/ 109):

“Firman Alloh: Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, adalah pensifatan Alloh Azza wa Jalla terhadap orang-orang yang terusir dari kampung halamannya, bahwa kelak mereka akan berkelakuan baik ketika Alloh menjadikan mereka berkuasa di muka bumi dan memberikan kendali hukum kepada mereka.”

Ayat-ayat mulia di atas mengisyaratkan salah satu tanda lahirnya Daulah Islam, yaitu Tamkin yang tegak di atas pondasi tegaknya kekuasaan dan kekuatan yang mampu memberi tekanan di muka bumi. Tanda ini menjadi penyebab pasti lahirnya Daulah Islam dalam kehidupan nyata, dengan sifat-sifat kepemimpinannya dan syiar-syiarnya yang jelas seperti disebutkan dalam perkataan Al-Qurthubi tadi, yaitu menegakkan hudud, menjalankan pengadilan, dan Amar Makruf Nahi Mungkar yang merupakan hakikat agama. Kalau bukan karena sebelumnya terjadi Tamkin dan kekuatan, sifat-sifat munculnya sebuah negara tidak memiliki faedah berarti.

2. Alloh ta‘ala berfirman:

“Alloh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kaian dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55)

Dalam ayat ini Alloh ta’ala menjadikan Tamkin di muka bumi dan terlihatnya syiar-syiar agama sebagai pertanda datangnya kekuasaan, yang muncul dengan tersempurnakannya shulthon dan terlihatnya simbol-simbol negara yang berkuasa di wilayah tersebut, di manapun dan sebesar apapun.

3. Alloh Ta‘ala berfirman :

“Dan Kami pasti akan menempatkan kamu dinegeri-negeri itu sesudah mereka.Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku”. (QS. Ibrohim: 14)

Penempatan di muka bumi adalah: Tamkin di atasnya dan penyerahan bumi tersebut

kepada mereka, seperti firman Alloh:

“Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah dan rumah-rumah mereka…” (QS. Al-Ahzab: 27)

Obyek perkataan (khithob) dalam firman Alloh:

“Dan Kami pasti akan menempatkan kamu…” adalah para Rosul dan orang-orang yang beriman kepada mereka. Maka, tidak mesti Alloh menempatkan para Rosul di negeri musuhnya, namun cukup Rosul itu memiliki kekuasaan di atas negeri tersebut dan yang menempatinya adalah orang-orang beriman; sebagaimana Alloh memberikan Tamkin kepada Rosululloh di Mekkah dan tanah Hijaz yang setelah negeri ini ditaklukkan yang mendiami adalah orang-orang beriman. Artinya, kemenangan dan keunggulan merupakan pertanda berkuasanya para Rosul dan orang-orang beriman yang menyertai mereka atas bumi tersebut dan mereka memiliki otoritas untuk memberlakukan syariat Alloh sebagai hukum di atasnya.

4. Alloh Ta‘ala berfirman:

“Dan Kami wariskan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Robbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (QS. Al-A‘rof: 137)

Ayat ini berbicara tentang Tamkin yang diperoleh Bani Israil pasca tewasnya Fir‘aun, yang mana ciri Tamkin itu adalah mewarisi bumi dan berkuasa di atasnya. Itulah Tamkin yang Alloh kehendaki menjadi milik mereka dengan masyi’ah dan qodrat-Nya.

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.” (QS. Al-Qoshosh: 5-6)

Tamkin ini terjadi setelah Bani Israil meraih kemenangan, menampakkan kekuatan dan berkuasa di atas bumi.

5. Perbuatan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya yang mulia ketika menegakkan Daulah Islam pertama di Madinah yang sebelumnya hanya sepetak tanah yang kecil di muka bumi.

Daulah itu terbentuk hanya dengan adanya keunggulan lahiriyah dan adanya sejumlah orang, adanya kaum Anshor dan pengikut yang dengan keberadaan mereka terbentuklah kekuatan, kemenangan dan kekuasaan yang nyaris sempurna di area tanah tersebut, walaupun kecil, dan walaupun kekuasaan itu masih kurang sempurna. Maka, kalau kita kaji fase yang mengiringi berdirinya Daulah Nubuwwah, akan terlihat jelas bahwa Daulah itu dibangun atas jerih payah sekelompok kaum Anshor dan para pengikut Nabi yang mereka berhasil meraih Syaukah di dalam negerinya sendiri setelah mereka melengkapi diri dengan senjata dan kekuatan.

Ibnul Qoyyim berkata di dalam Zadul Ma‘ad:

“Dari Jabir: Bahwasanya selama 10 tahun di Mekkah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mendatangi orang-orang di rumah-rumah mereka, di Mawasim, di Majanah, di ‘Ukadz, beliau mengatakan: “Siapa yang mau memberiku tempat perlindungan? Siapa yang mau membelaku sehingga aku bisa menyampaikan risalah Robbku, kemudian dia mendapat Surga?” Maka beliau tidak mendapat satu orang pun yang mau membela dan memberinya tempat perlindungan. Sampai-sampai ada orang yang pergi dari Mudhor atau Yaman ke tempat familinya, lalu kaumnya mengatakan kepadanya: “Hati-hatilah dengan seorang pemuda Quraisy, jangan sampai ia menyesatkanmu.” Sementara Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam terus berkeliling kepada tokoh-tokoh mereka untuk mendakwahi mereka kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, tetapi mereka justeru menuding beliau dengan jari-jari mereka. Sampai akhirnya Alloh mengirim kami dari kota Yatsrib, ketika ada seorang lelaki dari kami yang mendatangi beliau dan beriman kepadanya, beliau membacakan Al-Quran kepadanya, setelah itu ia kembali kepada keluarganya dan mereka masuk Islam lantaran keislamannya, sampai tidak tersisa satu rumah kaum Anshor pun kecuali di dalamnya terdapat sekelompok kaum Muslimin yang menampakkan keislamannya terang-terangan.

Kemudian Alloh mengirim kami, kami berunding dan berkumpul, kami mengatakan: “Sampai kapan Rosululloh dalam kondisi terusir di gunung-gunung Mekkah dan ketakutan.” Akhirnya kami mendatangi beliau di Musim Haji, lalu beliau menjanjikan pertemuan dengan kami untuk berbai’at di Aqobah. Maka ketika itu, paman beliau, Abbas, berkata: “Wahai keponakanku, aku tidak mengenal siapa orang-orang yang datang kepadamu ini. Sungguh aku mengerti tentang penduduk Yatsrib.”

Kemudian kami berkumpul di sekeliling beliau satu orang dan dua orang. Ketika Abbas melihat wajah-wajah kami, ia berkata: “Mereka adalah kaum yang tidak kita kenal, mereka orang-orang baru.”

Maka kami katakan: “Wahai Rosululloh, atas apa kami berbai’at kepadamu?” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya kalian berbai’at kepadaku untuk mendengar dan taat dalam kondisi bersemangat atau malas, dan berinfak baik dalam kondisi sulit atau mudah, dan beramar makruf nahi mungkar, dan hendaknya kalian berkata-kata karena Alloh; tidak takut celaan orang yang mencela, dan hendaknya kalian menolongku ketika aku datang kepada kalian, dan kalian melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri kalian, isteri-isteri dan anak-anak kalian. Setelah itu kalian akan mendapatkan surga.”

Maka kami pun berbai’at kepada beliau, As‘ad bin Zaroroh mengambil tangan beliau, dia adalah orang termuda dari ke-70 orang ini. Setelah itu ia berkata: “Tunggu sebentar, wahai penduduk Yatsrib. Sungguh kita tidak menempuh beratnya perjalanan kecuali karena kita tahu bahwa beliau benar-benar utusan Alloh. Dan pengusiran beliau pada hari ini (oleh kaumnya) berarti kita memisahkan diri dari seluruh bangsa Arab, orang-orang terbaik kita akan terbunuh, dan kita akan dikalungi pedang. Maka, hendaknya kalian bersabar menanggungnya lalu ambillah pahala kalian di sisi Alloh, atau jika kalian menyembunyikan rasa takut di dalam hati kalian, biarkanlah ia, sesungguhnya itu lebih memaafkan kalian di sisi Alloh.”

Mereka berkata: “Wahai As‘ad, bentangkanlah tanganmu. Demi Alloh, kami tidak akan meninggalkan bai’at ini dan tidak meminta dibatalkan.” Maka kami berdiri menghampirinya satu demi satu, lalu beliau mengambil sumpah dan syarat dari kami dengan jaminan Surga.”

Dari perkataan Jabir ini terlihat jelas bahwa orang-orang Yatsrib yang menolong Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan berbai’at kepada beliau untuk menegakkan Islam dan membela dakwahnya tidak lebih dari 70 orang. Dengan 70 orang ini tercapai kriteria kemenangan dan kekuatan, sebab kelompok ini bersenjata dan memberikan sumpah untuk berperang melindungi Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dari serangan musuh-musuh Dakwah Islam.

Akhirnya, kekuasaan berhasil diraih Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam di Madinah karena ada kekuatan dari sekelompok penduduk Yatsrib ini. Padahal kalau diamati, mayoritas mereka bukan termasuk pemuka-pemuka terkenal, seperti dituturkan Abbas sebagai orang yang faham tentang penduduk Yatsrib dan tokoh-tokohnya: “Wahai keponakanku, aku tidak mengenal siapa orang-orang yang datang kepadamu ini. Sungguh aku adalah orang yang mengenali penduduk Yatsrib.” Dan ketika Abbas melihat wajah-wajahnya, ia berkata: “Mereka adalah kaum yang tidak kita kenal, mereka orang-orang baru.”

Maka, kekuatan dan kemenangan tidak disyaratkan harus berada di tangan orang-orang tertentu atau tokoh-tokoh yang populer. Sebab kelompok yang menegakkan Daulah Islam pertama mayoritas adalah orang-orang baru yang tidak populer, sebagaimana dikatakan Abbas kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Mujahidin Irak hari ini berhasil mengkontrol sebidang tanah yang –atas karunia Alloh—memiliki luas berkali lipat dibandingkan luas wilayah tempat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mendirikan Negara pertamanya. Maka alasan syar‘i penegakkan Daulah di sini terpenuhi karena kesamaan alasan ditegakkannya Daulah Islam pertama, yaitu Tamkin di sebidang tanah yang luasnya bahkan melebihi tempat tumbuhnya Daulah Islam pertama. As-Sarkhosi berkata di dalam Al-Mabsuth (X/ 114): “Dan dari Abu Yusuf dan Muhammad (bin Al-Hasan) rohimahumallohu ta‘ala disebutkan: Jika penduduk suatu negeri unggul dengan hukum-hukum syirik, maka negerinya adalah negeri Harbi, sebab suatu tempat itu dinisbatkan kepada kita –kaum Muslimin— atau kepada mereka berdasarkan kekuatan dan keunggulan. Maka, setiap daerah yang di sana hukum Syirik unggul, berarti kekuatan di situ dikuasai oleh orang-orang musyrik, sehingga statusnya adalah Darul Harbi. Sedangkan setiap wilayah yang hukum Islam unggul, maka kekuataannya berarti di tangan kaum Muslimin.”

Ini menunjukkan bahwa Manath hukum suatu negara tergantung kepada siapa yang menguasai, status hukum negeri itu sekedar mengikuti manath ini. Karena orang kafir pasti akan menggunakan hukum-hukum orang kafir sebagaimana orang Muslim akan menggunakan hukum-hukum Islam, sebab kalau tidak berarti ia kafir.

Menjelaskan manaath ini, Ibnu Hazm rahimahulloh berkata: “Karena negeri itu dinisbatkan kepada orang yang menguasai, memerintah dan memilikinya.” (Lihat Al-Muhalla: XI/ 200)

Ditambah lagi tidak ada nash Syar‘i, baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah, yang meletakkan batasan luas tertentu bagi suatu negeri yang hendak ditegakkan Daulah Islam di atasnya. Tidak ada kriteria selain yang kami sebutkan yang kesemuanya bergantung kepada tamkin dan unggulnya kekuatan Syariat secara nyata. Siapa yang membuat batasan tertentu, membatasi jumlah dan luas wilayah, atau kriteria tambahan selain dari yang kami sebutkan tadi, berarti ia telah berbuat bid‘ah dalam agama Alloh tanpa landasan. Sebab yang dijadikan landasan dalam hal itu adalah nash, sementara sejauh pengetahuan kami nash yang menyatakan pembatasan itu tidak ada. Kecuali jika dikatakan bahwa ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menegakkan Daulah Islam pertamanya di Madinah, beliau menjadikan luas Madinah sebagai batas, sehingga kita harus berpatokan dengan ukuran tersebut.

Tetapi dapat kami katakan: Tindakan Nabi saja di sini tidak cukup untuk meletakkan batasan Syar‘i, sebab luas tersebut beliau capai secara kebetulan. Seandainya tegak Daulah Nubuwwah di selain Madinah yang luasnya lebih kecil atau lebih lebar, tentu itu akan tetap berlaku tanpa bertabrakan dengan prinsip Syariat atau menyelisihi nashnya.

As-Sarkhosi berkata di dalam Al-Ushul (II/ 98): “Ulama kami –rahimahumulloh— mengatakan bahwa tindakan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan dalam rangka menjelaskan isi Al-Quran di suatu tempat atau waktu, maka penjelasan itu berupa tindakan beliau dan sifat-sifatnya ketika melakukannya. Adapun tempat dan waktu, maka tidak menjadi syarat dalam penjelasan.”

Dan harus diingat, bahwa Pemerintahan Islam Madinah ketika itu belum sempurna, sebab Madinah masih berupa wilayah luas yang menjadi basis kelompok-kelompok yahudi yang juga memiliki kekuatan militer dan ekonomi yang tidak bisa diremehkan di dunia Arab. Ditambah adanya musuh-musuh yang selalu mengincar dakwah Islam dan para pengikutnya, baik dari dalam maupun luar Madinah. Kemudian pemerintahan itu berangsur-angsur sempurna dan meluas setelah disyariatkannya jihad yang memberi dorongan kekuatan dan kekuasaan signifikan bagi Negara Muslim baru ini untuk mengkokohkan pilar dan pondasinya.

Abul Ma‘ali Al-Juwaini berkata di dalam Ghiyatsul Umam (56): “Landasan kepemimpinan adalah keunggulan sistem pertahanan serta banyaknya senjata dan kekuatan tempur, semua ini tidak ada pada diri orang yang tidak ditaati.”

Catatan:

Majelis Syuro Mujahidin memperoleh dukungan mayoritas yang tidak bisa kami sebutkan dukungannya secara terbuka demi menghindari tekanan aliansi Salibis-Murtaddin. Ini termasuk fakta terselubung yang tidak tersentuh media informasi dan stasiun-stasiun televisi. Pada dasarnya jalinan hubungan Majelis Syuro sangat luas, kami yang bersinggungan langsung dengan realita semakin memastikan adanya wilayah luas bagi Majelis Syuro untuk menyebar dan berkuasa yang terbentang di antara bermacam-macam kabilah Irak, yang berbeda-beda payungnya dan memiliki kedudukan-kedudukan yang tinggi.

Tetapi, umumnya mereka tidak bisa terang-terangan memberikan dukungan dan bantuannya karena pertimbangan keamanan, terutama menghindari serangan pasukan Penjajah Amerika dan Pemerintahan Murtad yang menjadi kaki tangannya. Akibatnya kebanyakan lebih memilih berhati-hati dengan memberikan bantuan secara diam-diam, atau mendukung dan menunggu saat yang tepat menyatakan dukungannya, setelah itu tidak merahasiakan bantuan dan dukungan diam-diamnya selama ini terhadap saudarasaudaranya di Majelis Syuro.

Inilah alasan untuk mengatakan bahwa kedudukan Majelis Syuro sangat diperhitungkan, terus mengalami peningkatan dan berpengaruh dalam diri berbagai kelompok masyarakat. Itulah yang membentangkan jalan bagi Majelis Syuro untuk memegang kendali kekuasaan dalam proyek penegakkan Daulah, karena Majelis memiliki banyak pendukung dan pengikut serta menguasainya dengan kekuatan dan pertahanan, seperti telah kami singgung tadi.

2. Majelis Syuro Mujahidin Adalah Contoh Persatuan Dan Sikap Tolong Menolong

Tidak salah jika kami katakan bahwa Majelis Syuro Mujahidin Irak adalah teladan yang bisa ditiru dalam kerjasama Ahlul Halli wal ‘Aqdi dan persatuan anggotanya. Di tengah berjalannya pertempuran melawan tentara Salibis dan kroninya, Majelis memiliki peran merintis dengan baik penyatuan Mujahidin, penyatuan barisan mereka dan membantu memberi masukan dalam keputusan-keputusan yang mereka ambil. Sehingga, berbagai perkumpulan, organisasi, dan batalyon tempur, bergabung menjadi satu pasukan dengan satu Komando Pusat dan Dewan Konsultasi tertata di bawah pengawasan Syar‘i dan prinsip-prinsip fikih Islam yang mengarahkannya kepada ruang sangat besar dari sisi mengalirnya bantuan, ketertiban rencana operasi-operasi militer, perbaikan pengaturan administrasi, di atas wilayah yang luas dan di dalam sebuah struktur organisasi yang besar.

Dengan kondisi seperti ini, Majelis Syuro menjadi pemegang “kata pertama” –atas karunia Alloh—di mayoritas wilayah Irak dan daerah-daerah yang bergolak. Jadi, Majelis Syuro beranggotakan para pembesar dan tokoh Islam yang didengar suaranya, yang memiliki pengaruh luas di kalangan kabilah maupun pengikutnya, serta orang-orang berpengalaman dalam bidang militer dan pertempuran, dan barisan para Masyayikh, para Qodhi, para Penuntut ilmu, para Dai dan orang-orang yang memiliki berbagai keahlian berbeda-beda.

Maka sebenarnya Majelis Syuro adalah percontohan yang jelas tentang siapa itu Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Merekalah tokoh-tokoh kaum Muslimin yang menjadi tumpuan berbagai masalah, sebab mereka memegang kekuatan, persenjataan dan pertahanan. Dalil mengenai ini adalah perbuatan para shahabat radhiyallohu ‘anhum ketika mereka mengangkat Utsman sebagai Khalifah. Ia diangkat melalui dewan penasehat yang menjad tumpuan berbagai masalah rumit. Kemudian mereka semua sepakat mengangkat Utsman sebagai Khalifah setelah Umar radhiyallohu ‘anhu.

Al-Mawardi berkata di dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah (hal. 13): “Kemudian Utsman bin ‘Affan dibai’at. Dewan Syuro yang dianggota-i mereka yang layak diangkat dan disepakati sebagai pemimpin merupakan prinsip dasar dalam masalah keharusan membai’at Imam oleh sejumlah orang tertentu, yang salah satu dari mereka akan diangkat sebagai Imam oleh anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi lainnya. Maka tidak ada bedanya dalam Majelis Syuro, apakah terdiri dari dua orang atau lebih, selagi mereka berada dalam jumlah tertentu.”

Kalau kita perhatikan sifat-sifat Majelis Syuro dan hakikatnya secara lebih teliti, tentu akan kita temukan bahwa ia sesuai dengan syarat dan sifat-sifat Ahlul Halli wal ‘Aqdi yang sah, kalau tidak kita katakan tidak ada Ahlul Halli wal ‘Aqdi di zaman sekarang selain Majelis ini.

Al-Mawardi berkata di dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah (hal. 6):

“Adapun orang-orang yang berhak memilih, syarat-syarat yang dibenarkan ada tiga: Sifat Adil (‘adalah) berikut semua syaratnya, kedua adalah ilmu yang akan menghantarkan kepada pengetahuan mengenai siapa yang berhak menerima tugas kepemimpinan sesuai syarat-syaratnya yang benar, dan ketiga adalah kecermatan dan sifat bijaksana yang keduanya akan menghantarkan untuk memilih orang yang paling baik menjadi pemimpin, paling lurus dan paling faham dalam mengatur berbagai maslahat.”

Al-Qolqosyan di berkata di dalam Ma’aatsirul Anaaqoh (I/ 42):

“Kedelapan –dan ini yang paling benar menurut pengikut kami dari Madzhab Syafi‘i— bahwa kepemimpinan diangkat oleh mereka yang bisa hadir dalam pembai’atan di tempat tersebut, yaitu para Ulama, para pemuka dan tokoh masyarakat yang memiliki sifat-sifat kelayakan bersaksi. Bahkan, kalau Ahlul Halli wal ‘Aqdi bergantung kepada satu orang yang ditaati, itu sudah cukup.”

Abul Ma‘ali Al-Juwaini berkata di dalam Ghiyatsul Umam (hal. 59):

“Adapun jika ada seseorang yang sangat dihormati dan berkedudukan tinggi, kemudian ada bai’at dari dirinya karena kemaslahatan rahasianya, kemudian penyebab ini diperkuat dengan adanya persenjataan yang besar, maka dalam kondisi ini saya sama sekali tidak melihat kepemimpinannya itu dibatalkan.”

Jika demikian halnya, maka Majelis Syuro adalah yang paling berhak mengangkat Imam, mengumumkan berdirinya Daulah dan memegang kendali serta mengurusnya. Perkataan para Ulama tadi menetapkan dibenarkannya satu orang yang dihormati membai’at untuk orang yang layak memimpin, dengan itu kepemimpinan kuat dan pilar-pilarnya semakin menghunjam. Lalu bagaimana dengan Majelis kami yang dipenuhi oleh orang-orang semacam itu, yaitu pemuka-pemuka Kaum Muslimin dan orang-orang terbaiknya yang turut mendanai, berjihad, berkorban dan memberikan andil yang baik?

Orang adil yang mengamati Majelis Syuro dan sepak terjangnya yang baik akan mengetahui secara yakin bahwa anggota-anggotanya adalah orang-orang adil sesuai persyaratan menjadi Ahlul Halli wal ‘Aqdi yang memiliki kewenangan mengangkat seorang Imam. Bahkan, jika sifat adil itu sekedar kerelaan mereka untuk berjihad melawan serangan tentara Salibis dan pembantu-pembantunya yang murtad, membuyarkan konspirasi dan program yang mereka canangkan di Kawasan, tentu itu sudah cukup. Lalu bagaimana jika mereka juga merupakan orang-orang yang bagus pemahaman agama dan syariatnya, para pembela Tauhid dan dai-dai yang menyerukan Sunnah?

Demikianlah, dan satu hal yang tidak akan dilupakan sejarah, bahwa Majelis Syuro –seperti sudah dimaklumi—dibentuk atas prinsip Syuro dan saling tukar keahlian dan pengalaman, dan mewujudkan aliansi yang selama ini hilang yaitu bekerjasama sesuai tuntunan Syariat Islam yang sangat jarang terjadi dalam kondisi-kondisi sulit seperti yang menimpa Irak dan rakyatnya sekarang.

Dan baru beberapa langkah Majelis Syuro ini berjalan, ia sudah bisa mengumumkan di hadapan seluruh manusia seruan luhurnya kepada pemuka-pemuka Muslim di Irak, sejak dari Ulama, tokoh-tokoh, pemimpin-pemimpin Jihad, dan berbagai element masyarakat, untuk bergabung di dalam Majelis yang diberkahi ini. Itu menguatkan apa yang pernah dikatakan oleh Syaikh yang cerdas, Komandan yang gagah berani, Syaikh Kami, Kekasih kami, Abu Mush’ab Al-Zarqawi –semoga Alloh menerimanya di barisan para syuhada dan mengumpulkan kita dengan beliau di Syurga-Nya, Amin—.

Salah satu peringatan halus adalah kata-kata Syaikh rohimahulloh bahwa Majelis Syuro ini akan menjadi mukadimah datangnya kebaikan dan benih yang bagus bagi tegaknya Daulah Islam di masa mendatang. Dan inilah yang sekarang terjadi, tanaman itu telah tiba saatnya untuk dinikmati di waktu kami sekarang ini, buahnya sudah ranum untuk dipetik oleh putera-putera Islam dan Jihad.

Karena sejak awal perjalanannya, Majelis Syuro telah meraih apa yang tidak diraih oleh kebanyakan mereka yang terlibat di lapangan. Ia membuktikan dirinya mampu melewati rintangan hawa nafsu dan sikap egois. Dengan niatnya yang jujur, hati yang bersih dan keteguhan dalam mencapai tujuan, ia berhasil melewati rintangan-rintangan berupa ambisi pribadi, ingin meraih ketokohan dan jabatan yang ada di hadapannya. Maka ia telah meraih kesuksesan gemilang, sehingga jalan pun terbentang di hadapannya yang menunjukkan tanda-tanda datangnya pertolongan dan irama-irama kemenangan. Dan hanya milik Alloh lah nikmat dan karunia.

Benang merah pemaparan di atas adalah: bahwa Majelis Syuro telah menyeru para tokoh masyarakat Irak yang layak untuk menempati posisi Syuro, untuk bergabung dan bersatu.

Langkah akhir dari langkah-langkah penuh berkah ini adalah mengumumkan pembentukan Hilfu Al-Muthibin yang menyeru para pemuka dan tokoh masyarakat Irak, baik dari ulama, pemimpin Kabilah dan komandan-komandan Jihad. Lalu menyambutlah mereka yang mau menyambut, dan mereka ini adalah kebaikan dan berkah. Sedangkan yang tidak melakukannya, dosanya ia tanggung sendiri, ia sama sekali tidak memikul tanggung jawab, ia tidak memiliki pembenaran yang dibenarkan dalam berlambat-lambat serta menolak berkumpul dan bersatu sesuai perintah Syar‘i dan dianjurkan dengan berbagai cara, padahal ada kesempatan untuk membentuk ikatan yang merekatkan Ahlul Halli wal ‘Aqdi dan menyelaraskan barisan mereka.

3. Majelis Syuro Mujahidin –Selanjutnya Kita Sebut Hilfu Al-Muthiibiin—Memiliki Kelayakan Mengumumkan Daulah Karena Tidak Ada Orang Lain Yang Layak Atau (Kalau Ada) Mereka Lambat Dalam Mendirikannya

Begitulah kondisinya saat ini, banyak sekali mereka yang menyatakan diri sebagai Ahlus Sunnah terus menerus melakukan pekerjaan-pekerjaan sia-sia seperti fatamorgana di tanah tandus yang dikira orang haus sebagai air, tapi ketika ia datangi ternyata ia tidak menemukan apa-apa.

Banyak sekali para pakar politik yang berusaha keras ingin mewujudkan berbagai keberhasilan bagi kaum Sunni di Irak, mereka mengumumkan keriuhan dan janji-janji kosong kepada khalayak yang tidak dijajakan selain dalam “pasar peng-elabuan dan penipuan”, mereka membohongi putera-putera Umat dan menjerumuskan banyak dari mereka ke dalam perangkap pemilu dan parlemen, setelah itu mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa di balik semua itu. Bahkan mereka masuk ke dalam jurang yang tak berujung.

Kondisi ini semakin diperparah dengan mulai munculnya gejala-gejala mundurnya sebagian kelompok yang tadinya bergabung dalam dunia Jihad, atau aksi perlawan menurut istilah mereka. Bahkan sebagian dari mereka –tepatnya kelompok Al-Jaisy Al-Islami— berterus terang menyatakan kesiapannya berunding dengan Amerika, baik di bawah syarat-syarat yang diumumkan atau tidak diumumkan.

Maka satu hal yang pasti bahwa orang-orang yang berjuang di medan tempur lamban dalam menegakkan Daulah, baik karena sikap meremehkan, kurang mampu melaksanakan tugas-tugas Daulah, dan kurangnya pertahanan dan persenjataan yang merupakan pondasi sebuah pemerintahan.

Telah disebutkan tadi perkataan Abul Ma‘ali Al-Juwaini masalah keterlambatan Ahlul Halli wal ‘Aqdi dalam menunaikan kewajiban ini, ia berkata:

“Kami katakan mengenai masalah ini, jika orang-orang yang mengangkatnya meremehkan atau menunda penunjukkan Imam, sementara masa vakum berjalan lama, kesulitan semakin bertambah, wilayah-wilayah kekuasaan semakin menyebar luas, dan faktor-faktor kekurangan mulai nampak, lalu ada orang yang layak menjadi imam maju dan mengajak untuk mengikuti dirinya, mencoba menyatukan yang tersebar dan menolak faktor-faktor yang menyebabkannya lupa diri, jika ada orang yang memiliki sifat yang kami sebutkan di atas berkuasa dengan kekuatan penuh, dan kekuasaan itu tidak menyeretnya kepada perbuatan fasik, maksiat dan keluar dari agama, jika meninggalkannya dan mengangkat orang selainnya akan mengakibatkan terjadinya berbagai fitnah dan perkara-perkara yang dilarang, maka yang benar ia harus diikuti dan dipatuhi, dan pengangkatan diberikan kepadanya.”

Oleh karena itu, solusi syar‘i untuk situasi seperti sekarang ini adalah bersegera menunaikan kewajiban syar‘i yaitu menegakkan Daulah, dengan kemampuan yang memungkinkan, bisa dijangkau, dengan cara yang paling aman dan tepat, sebagai realisasi dari firman Alloh Azza wa Jalla:

“Maka bertakwalah kepada Alloh semampu kalian…” (QS. At-Taghobun: 16)

Dan firman Alloh:

“Alloh tidak membebani suatu jiwa kecuali sebatas kemampuannya…” (QS. Al-Baqoroh: 286)

Dan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam:

“Jika kuperintahkan sesuatu kepada kalian, laksanakanlah semampu kalian…” (HR. Bukhori Muslim)

Terlebih lagi, Majelis Syuro adalah yang merintis penegakan Daulah dan mengumumkannya ketika orang lain yang layak melakukannya tidak melakukan. Dan biasanya, syariat memberikan keutamaan bagi orang yang lebih awal ketika beberapa kepemimpinan bertemu. Seperti disebutkan dalam Shohih Bukhori - Muslim, dari Abu Huroiroh dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

“Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, setiap kali seorang Nabi meninggal dunia digantikan oleh Nabi berikutnya. Dan tidak ada Nabi lagi setelahku, yang ada kelak adalah para khalifah, mereka akan banyak jumlahnya.” Para sahabat bertanya: “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Rosululloh menjawab: “Tunaikanlah bai’at kepada khalifah paling pertama kemudian yang berikutnya. Berikanlah hak mereka, karena Alloh akan meminta pertanggung jawaban terhadap apa yang mereka pimpin.”

Alloh Ta‘ala berfirman:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)

Di sini, Alloh lebih mendahulukan orang yang paling awal daripada yang lain. Alloh Ta‘ala juga berfirman: “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri, dan Alloh menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 10 8)

Di sini Alloh melebihkan Masjid yang pertama karena dibangun di atas ketakwaan sejak hari pertamanya.

Demikian juga dalam mendahulukan orang yang menjadi imam dalam sholat. Di dalam sebuah hadits shohih disebutkan dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

“Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah yang paling mahir membaca Al-Quran. Jika mereka sama dalam bacaan Al-Quran, maka yang paling mengerti tentang Sunnah. Jika dalam Sunnah mereka sama, maka yang paling dahulu berhijrah. Jika dalam hijrah mereka sama, maka yang paling tua usianya.”

Beliau mendahulukan Imam berdasarkan kelebihan dari sisi ilmu, setelah itu kelebihan dari sisi amal. Beliau mengedepankan orang yang mengerti Al-Quran daripada yang mengerti Sunnah, setelah itu yang paling dahulu mendatangi Dinul Islam atas pilihannya sendiri, setelah itu orang yang paling dahulu memeluk Dinul Islam dari segi usia.

4. Majelis Syuro Mujahidin Yang Selanjutnya Hilful Muthibin Telah Mendapatkan Kesaksian Dari Para Tokoh Dan Pemuka Umat Bahwa Mereka Itu Orang-Orang Yang Mulia Dan Baik

Dengan kegemilangan-kegemilangan yang berhasil diraih Majelis Syuro dalam pertempuran dengan membentuk wadah yang menyatukan perjuangan kelompok-kelompok Jihad di Irak, Majelis Syuro mendapat dukungan simpatik dari Masyayikh jihad dan tokoh-tokoh terkenal Umat Islam. Terutama dukungan dari Syaikh kami, orang tua dan komandan kami, Abu Abdillah Usamah bin Ladin, dan teman seperjuangannya, Syaikh Ayman Adz-Dzowahiri.

Mereka tidak henti-hentinya menyampaikan nasehat kepada para pejuang dan Mujahidin (Irak) akan mendesaknya persatuan. Mereka mengajak semua Mujahidin berjalan satu langkah dengan Majelis penuh berkah ini dengan menyatukan yang terpecah, bekerja sama, meninggalkan persilihan dan perpecahan, serta membuang sikap egois dan menyendiri. Itu dilakukan dalam rangka mempertegas kembali peran Majelis Syuro dalam memimpin pergerakan dan perjalanan, dan membentuk sistem syuro yang sesuai dengan Syariat di tengah terjadinya berbagai huru-hara dan kondisi-kondisi genting, yang sebagai langkah awalnya adalah menegakkan dan mengendalikan sebuah Daulah Islam.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ibnu Mas‘ud, ia berkata:

“Apa yang dipandang kaum Muslimin baik, maka di sisi Alloh itu baik. Dan apa yang dipandang kaum Musliminin jelek, maka di sisi Alloh itu jelek.”

Ali Al-Qori berkata di dalam Al-Murqoot : “Maksud kaum Muslimin di sini adalah orang-orang terbaik dan pimpinan-pimpinannya, yaitu para ulama yang mengerti Al-Quran dan Sunnah serta orang-orang bertakwa yang menjauhi perkara syubhat dan haram.” Ini didasarkan kepada huruf “alif lam” dalam perkataan Ibnu Mas’ud: Al-Muslimun, yang berfungsi untuk Al-‘Ahdu (mengikat).

Adapun yang terikat dengan sifat sebagai orang-orang pilihan pada hari ini adalah para ulama dan yang berjihad, yang berada di garis depan Umat Islam dalam melindungi agama dan menjaga kehormatannya. Orang-orang pilihan ini telah memberikan rekomendasi kebaikan kepada saudara-saudara di Majelis Syuro serta mendukung perjuangan mereka.

5. Majelis Syuro (Hilfu Al-Muthiibiin) Dengan Segala Kebaikan Yang Ada Padanya, Merupakan Percontohan Thoifah Manshuroh, Kelompok Yang Berilmu Dan Berjihad

Berdasarkan apa yang kami lihat langsung di medan-medan tempur, Majelis penuh berkah ini berusaha sekuat tenaga merealisasikan Manhaj Nubuwwah dalam ilmu dan amal. Ia menegakkan bangunan dan asas organisasi di atas pondasi tauhid yang murni, mengikuti petunjuk Sunnah yang mulia dalam manhaj dan gerakan-gerakannya, dan berusaha semaksimal mungkin menyebarkanya kepada umat manusia dengan dakwah dan menyampaikan nasehat yang baik. Ia tidak melalaikan Manhaj Amar Makruf Nahi Mungkar, bahkan perhatian Majelis Syuro dalam memelihara hukum-hukum Syariat sampai pada tingkat memberlakukan pengadilan syar‘i antar dua orang yang berselisih dan mencari kepastian hukum, ketika itu memunginkan untuk dilakukan. Ini tidak dilakukan oleh kelompok lain, sejauh pengamatan kami. Hal itu membuktikan kebenaran sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam:

“Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas perintah Alloh, yang mengalahkan musuh-musuhnya, mereka tidak terpengaruh oleh orang yang menyelisihi mereka hingga tiba hari Kiamat sementara mereka tetap dalam kondisi seperti itu.” (HR. Muslim, ia memiliki riwayat senada dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqos dan Jabir bin Samuroh)

Maka Majelis Syuro berperang atas dasar perintah Alloh, syariat dan agama-Nya. Ia tidak menerima tawar menawar dan tukar menukar dalam urusan keyakinaan dan manhaj. Dan hari ini, ia berhasil mengalahkan musuhnya di banyak wilayah di Irak, hanya milik Alloh lah karunia dan nikmat.

Di saat yang sama, kami melihat kelompok-kelompok pejuang di medan jihad tidak lepas dari tiga kondisi

- Kelompok yang murtad dari Islam dengan sikap bergabungnya ke dalam lingkaran target yang dicanangkan tentara Salib, yang menggunakan sistem demokrasi kafir sebagai patokan berjalan, ikut dalam program rezim boneka, dan membantunya dalam menjalankan tugas kementerian maupun pemerintahan di berbagai sektor. Kelompok-kelompok seperti ini sama sekali tidak memiliki nilai dalam sebuah Daulah Syar’i, sebab tidak mengatas namakan Islam dan tidak menegakkan syariatnya.

- Kelompok-kelompok yang sesat: Mereka tidak masuk dalam program tentara Salib dan tidak membantu rezim pemerintahan murtad. Akan tetapi, manhaj yang ia gunakan menyimpang dari pemahaman Islam. Dan dalam jajaran pimpinan dan anggotanya banyak bertebaran kebidahan, kesesatan, dan pandangan-pandangan batil yang bertentangan dengan Sunnah yang jelas. Maka, kelompok seperti ini tidak mampu menegakkan syariat sesuai kehendak Alloh dan Manhaj kenabian yang mulia.

- Kelompok Ahlus Sunnah yang berjihad: Yang memerangi penjajah agresor, menimpakan kerugian pada musuh dan memberikan andil yang baik di dalamnya. Akan tetapi ia bekerja sendirian dan terpisah dari persatuan. Akibatnya, kelompok ini lambat menyambut seruan Majelis Syuro yang disampaikan berulang-ulang, sehingga mereka kehilangan keutamaan bergabung dengan proyek penuh berkah ini.

Dengan demikian, jelaslah bahwa jajaran pemimpin Majelis Syuro Mujahidin adalah manusia yang paling layak mengambil langkah cepat ini, sebab mereka memiliki kelayakan secara syar’i, akal, dan fisik. Dan karena orang lain lambat menertibkan keberhasilan jihad yang telah diraih, baik keberhasilan yang bersifat syar’i maupun fisik. Itulah yang membukakan pintu sangat lebar bagi Majelis Syuro untuk mendeklarasikan negaranya yang mudah-mudahan diberkahi –semoga Alloh menolongnya dan mengokohkan bangunannya.

6. Peningkatan Mujahidin Dalam Melengkapi Sarana Dan Skill Di Berbagai Bidang

Untuk Alloh, kemudian untuk sejarah… sebuah fakta yang harus disadari Umat Islam mengenai putera-puteranya di Irak. Tiga tahun lebih pasca berlangsungnya jihad di Irak, para Mujahidin –berkat taufik Alloh—berhasil mencapai tingkatan standar dari sisi kekuatan, persenjataan, manajemen organisasi, manajemen kemiliteran, administrasi, keuangan, dan media informasi, yang belum pernah dicapai sebelumnya. Ini adalah anugerah Alloh kepada mereka, dan merupakan kesempatan bersejarah yang harus mereka manfaatkan dan mereka petik hasilnya untuk digunakan melaksanakan keislaman paling penting di zaman sekarang, yakni mewujudkan cita-cita Daulah Islam, yang kelak akan menjadi basis yang dinamis dan nyaman untuk memakai dan memanfaatkan kekuatan itu demi kepentingan Islam dan kaum Muslimin, untuk mengusir serangan tentara Salib dan antek-anteknya di Irak, dan untuk membangun Irak yang baru yang Islami dan berlatar belakang asas Islam yang unggul dalam bentuk Daulah Islam.

Meskipun kami menyatakan hal ini, tetapi kami sangat memahami bahwa landasan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam menegakkan Daulah pertamanya bukan terdiri dari para ahli di bidang ilmu duniawi dan skill-skill materi tingkat tinggi di zaman itu, musuh-musuh beliau jauh lebih unggul di bidang ini, tetapi itu bukan alasan untuk menghentikan jalannya pembangunan proyek Daulah.

Alloh Ta‘ala berfirman:

“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Alloh dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Alloh menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.” (QS. Ali Imron: 13)

Alloh Ta‘ala juga berfirman:

“Sungguh Alloh telah menolong kamu dalam peperangan Badar padahal kamu (ketika itu) adalah orang-orang yang lemah.. Karena itu bertakwalah kepada Alloh, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imron: 123)

Thobari meriwayatkan di dalam Tafsir-nya (III/ 420) dari Ibnu Ishaq: Firman Alloh:

“Sungguh Alloh telah menolong kamu dalam peperangan Badar padahal kamu (ketika itu) adalah orang-orang yang lemah…” yakni lebih sedikit jumlahnya dan lebih lemah kekuatannya.”

Alloh Ta‘ala berfirman:

“Sekarang Alloh telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Alloh. Dan Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 66)

Artinya, lemahnya kekuatan material, baik dari segi jumlah maupun senjata, di awal penegakkan Daulah Nubuwwah merupakan suatu hal yang dipertimbangkan. Namun, arah utamanya lebih terfokus kepada pembangunan ketakwaan di dalam jiwa, penanaman nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip akidah di hati para pemeluknya, sehingga mereka siap menanggung tugas-tugasnya kelak meskipun mereka bukan orang-orang yang memiliki keahlian dalam kehidupan duniawi. Itu bukan penghalang dalam menegakkan Daulah yang diberkahi itu.

Jadi, syarat membangun daulah Islam adalah tegaknya perkara-perkara Din sebelum lurusnya urusan kesibukan duniawi. Dan inilah yang dinyatakan oleh ayat mulia berikut ini, Alloh Ta‘ala berfirman:

“Dan Alloh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55)

7. Kewajiban Mengatur Semua Persoalan Kaum Muslimin.

Di tengah perang yang berkecamuk di wilayah-wilayah Irak –khususnya wilayah-wilayah Sunni—, banyak wilayah-wilayah yang mengalami kevakuman kepemimpinan karena tidak ada fihak manapun yang berkuasa di sana. Sebab Amerika sendiri tidak mampu tampil di hadapan masyarakat untuk menyelesaikan pertikaian mereka dan menangani berbagai persoalan yang mereka hadapi melalui LSM-LSM dan organisasi-organisasi yang dibentuk oleh tentaranya. Langkah ini tidak mungkin diberlakukan di mayoritas wilayah Irak, khususnya wilayah Sunni, sebab Amerika –sebagai musuh—tidak mungkin memasuki wilayah tersebut tanpa perlawanan. Sedikit saja Amerika terlihat di hadapan Mujahidin, pasti akan diserang oleh peluru-peluru mereka.

Sebagai gantinya, kekosongan ini diserahkan kepada antek-antek Amerika dari kalangan Murtaddin untuk mereka isi, yakni tokoh-tokoh penguasa boneka Irak. Dan berkat karunia Alloh, itu tidak akan terlaksana dengan baik mengingat lemah dan mundurnya penguasa ini. Apalagi mereka tidak bisa mewujudkan dengan baik penempatan pasukan dan aparatnya di wilayah-wilayah Sunni yang sekarang di bawah kendali Mujahidin dan angkatan bersenjatanya. Situasi ini mendorong Mujahidin untuk melakukan kontak langsung dengan masyarakat dalam rangka mengisi kekosongan tersebut, dan karena orang pun tahu bahwa Mujahidin adalah fihak yang paling mampu menutup kekosongan ini.

Maka dengan anugerah Alloh, Mujahidin berhasil membentuk majelis-majelis pengadilan, melaksanakan sebagian hukum hudud dan mengatur urusan pelayanan umum di wilayah-wilayah tersebut, baik di bidang administrasi, keuangan maupun sosial. Akhirnya mereka mendapatkan sambutan yang baik dan posisi yang kuat di wilayah itu, berkat taufik Alloh.

Inilah faktor mendesaknya pengumuman Daulah yang sebelumnya tersembunyi dan menampakkannya di hadapan manusia sehingga kebaikan merata dan bahaya akibat kerugian politik yang terjadi bisa dihilangkan.

Selanjutnya, tuntutan-tuntutan syar‘i yang membuat penegakkan Daulah menjadi mendesak ada pada point-point berikut:

Di antaranya masalah penegakkan hudud, menyelesaikan pertikaian dan permusuhan, mewujudkan rasa aman, menangkap para pelaku tindak kriminal dan kemaksiatan.

Alloh Ta‘ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Alloh wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. An-Nisa’: 105)

Alloh Ta‘ala juga berfirman:

“membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Alloh turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…” (QS. Al-Maidah: 4 8)

Dan berfirman:

“Maka demi Robbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Dan berfirman:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imron: 104)

Dan berfirman:

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Alloh dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 55)

Abul Ma‘ali Al-Juwaini berkata di dalam Ghiyatsul Umam (245):

“Jika tidak ditemukan orang yang memiliki kriteria kelayakan sementara menghentikan pemerintahan dan pengaturan rakyat tidak mungkin dilakukan, lalu ada satu orang bergabung dengan para pengikutnya dalam jumlah yang cukup untuk berkuasa, mengalahkan dan menguasai orang-orang yang membangkang dalam urusan agama, dia didukung oleh para tokoh, seluruh penduduk negeri tunduk kepadanya, dan sebab-sebab berkuasa terpenuhi secara penuh, maka alasan apa yang membolehkan dia menunda meraih kemenangan? Bagaimana seorang yang melaksanakan perintah Alloh Yang Maharaja dan Mahaperkasa mesti berbalik arah? Maka kewajiban manusia adalah taat kepada Imam, dan kewajiban imam adalah menjalankan tugas kemaslhatan Islam. Sesungguhnya dia adalah penguasa yang paling memungkinkan menjalankan hukum, menghentikan pertikaian dan memerintah. Semua ini terwujud ketika ada orang yang mampu melaksanakan tugas menangani berbagai persoalan umat manusia diikuti kosongnya zaman dari Imam. Pendapat yang saya berusaha mencari kepastiannya ini sudah benar, walhamdulillah, bukti dan argumennya tampak jelas sejelas cakrawala pagi, maka berjalanlah wahai pemimpin zaman,

jangan mundur untuk bangkit menyongsong kesempatan yang Alloh berikan kepadamu.”

Jadi kondisi keamanan yang berhasil dikontrol merupakan faktor pendorong utama. Dan berkat karunia Alloh, mujahidin memiliki kemampuan untuk menertibkan “catatan” ini, terbukti sejak awal dimulainya jihad Mujahidin sudah mulai menangani instabilitas keamanan, menangkap para pelaku kriminal dan menghukum mereka terutama kasus penjarahan, perampokan, aksi ancaman dan teror yang diarahkan kepada kaum Muslimin, perampasan harta benda, perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada tindakan keji dan cabul yang menjadi tak terkendali begitu invasi musuh (pendengki) itu datang. Dan sudah maklum bahwa mengendalikan “catatan” seperti ini memerlukan kekuatan dan kekuasaan efektif yang mampu melakukan pencegahan, penyidikan, menjatuhkan ta‘zir dan sangsi-sangsi, dan inilah yang dilakukan Mujahidin di lapangan. Di samping sebagai pemegang senjata, mereka juga paling pantas mengatur situasi keamanan dengan senjata yang mereka miliki, penerimaan masyarakat terhadap mereka, dan rasa percaya kepada kapasitas Din dan kejujuran Manhaj mereka. Itulah yang –untuk kesekian kalinya— mendorong pengumuman Daulah yang diberkahi ini, karena kriteria kepemimpinan dimiliki Mujahidin atas wilayah tersebut, dan dalam rangka menolak berbagai kejahatan dan bahaya akibat terhentinya kekuasaan bersenjata dan kepemimpinan, seperti terlihat jelas.

Pelayanan Kebutuhan Hidup:

Semua orang bisa melihat bahwa Invasi Amerika terhadap Irak mengakibatkan kehancuran total pada berbagai sarana dari salah satu negara terbesar di Kawasan. Ini otomatis menyebabkan hancurnya potensi kekayaan masyarakat Muslim Irak dan menyebabkan kunci berbagai urusan jatuh ke tangan Amerika saja, terutama kondisi perekonomian dan pemenuhan kebutuhan hidup. Situasi ini dimanfaatkan untuk mengendalikan para tokoh dan pemuka, dan menyebabkan berbagai tanggung jawab serta amanah digadaikan. Inilah penyebab terjadinya kemerosotan yang berbahaya dalam kehidupan kaum Muslimin secara umum, karena berbagai hajat dan kebutuhan pokok perekonomian tidak terpenuhi, sementara tidak ada aturan perekonomian terpercaya yang

bisa memenui kebutuhan masyarakat.

Belum lagi Pemerintahan Irak menunjukkan bahwa jajaran pejabatnya menjadi sarang “para pencuri profesional”, di mana kantor-kantornya, yayasan-yayasannya, dan instansi-instansi pemerintahan pusatnya dijejali oleh para penjahat Irak, orang-orang oportunis dan koruptor; yang kerjanya begadang untuk merampok kekayaan negeri ini, memasarkan, menimbun dan menjualnya ke negara luar menurut kepentingan pribadi dengan berlindung di balik kedok aturan internasional Salibis yang pendengki, sementara mereka tetap aman di dalam benteng, jauh dari keluhan masyarakat dan berbagai problematikanya, tinggal di Zona Hijau –semoga Alloh meliputinya dengan kehangusan segera… Amin, amin.

Situasi memprihatinkan ini menyeret kaum Muslimin dalam kesengsaraan dan kesusahan terang-terangan, yang mendorong muru’ah dan akhlak mulia Mujahidin menertibkan pelayanan umum demi meringankan kebutuhan hidup yang serba susah dan merosot. Maka mereka memimpin pembagian makanan pokok dan barang-barang bantuan, mengatur penjualan minyak dan gas dan keperluan-keperluan lain. Langkah ini turut meringankan kesengsaraan masyarakat dan mendorong Mujahidin masuk dalam tugas memikul berbagai tanggung jawab sembari berpacu dengan waktu.

Situasi itu pula yang mendesak kami mengambil langkah penuh berkah (mendeklarasikan Daulah Islam baru) untuk melayani persoalan- persoalan kaum Muslimin serta memperbaiki kehidupan mereka sesuai dengan aturan perekonomian syar‘i yang tidak bisa dilaksanakan tanpa Daulah, mengemban semua tugas-tugas pemerintahan yang mengatur keperluan-keperluan umum berdasarkan tanggung jawab syar‘i, seperti diterangkan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang ia pimpin. Penguasa adalah pemimpin dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanya tentang apa yang ia pimpin. Seorang wanita adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan akan ditanya tentang apa yang ia pimpin. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam harta majikannya dan akan ditanya tentang apa yang ia pimpin.” (HR. Bukhori Muslim)

8. Bergabungnya Kaum Muslimin Irak Dalam Satu Kata Di Bawah Bendera Islam Bersatu

Ini merupakan faktor terbesar yang mendorong anggota Majelis Syuro bangkit melaksanakan proyek Daulah penuh berkah, setelah terlihat begitu jelas kedengkian orang-orang Salibis menghancurkan jerih payah kaum Sunni, memecah belah dan memprovokasi terjadinya perseteruan di tubuh mereka.

Dalam melakukan aksi ini, tentara Salib mengerahkan tenaga cukup besar belakangan ini, mereka mengira Umat Islam ibarat daging yang mudah dicabik, dan mengira bahwa langkah memecah belah kemudian merekrut bisa dilakukan dengan mudah pada kaum Muslimin dan Mujahidin.

Oleh karena itu, Daulah penuh berkah ini datang untuk membendung konspirasi tersebut dan merobek perangkapnya yang dikendalikan jari-jari Salibis, pembantu-pembantunya dari kalangan Rafidhah, dan kaum oportunis yang mengatas namakan Ahlus Sunnah, serta untuk mewujudkan tujuan Syar‘i paling agung yaitu berkumpulnya manusia di atas satu kalimat dan menancapkan pilar-pilar persatuan syar‘i antar kaum Muslimin, khususnya Mujahidin.

Maka, proklamasi Daulah Islam baru menjadi faktor bersatunya anasir-anasir jihad yang terpecah-pecah dalam berbagai kelompok dan jamaah, agar mereka semua berada dalam sebuah bingkai Daulah Baru yang kekuatan pengaruh politiknya bisa memberi pukulan telak di Kawasan, dan ini bisa memberikan andil dalam pembangunan “menara” Daulah penuh berkah ini dan memperkuat pilar-pilarnya.

Perlu dicatat, pengalaman membuktikan bahwa persatuan penuh seperti ini tidak akan terjadi tanpa menempuh langkah diberkahi ini yang kelak akan menjadi tempat berlindung luas dan aman bagi setiap aktifis Muslim yang jujur dan Mujahidin yang ikhlas. Hal itu sebagai realisasi firman Alloh Ta‘ala:

“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (QS. Al-Maidah: 2)

Dengan memperhatikan kaidah yang cukup terkenal:

“Kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan sempurna selain dengan melakukan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib,” kita akan tahu bahwa penegakkan Islam dan menolak makar Salibis-Murtaddin penyerang Umat Islam dan tanah airnya tidak akan terwujud selain dengan adanya Imam.

Berarti, mengangkat seorang Imam adalah kewajiban agama, dan ini merupakan ijmak kaum Muslimin, sebagaimana ketika mereka ber-ijmak mengangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq sepeninggal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk tugas menegakkan agama, mengatur persoalan kaum Muslimin, dan bekerja untuk menjadikan kalimat Alloh tetap yang tertinggi dan kalimat orang-orang kafir tetap yang terendah.

Kaum Muslimin terus menjalankan tradisi ini –mengangkat Khalifah dan Imam—dari generasi ke generasi. Alloh menetapkan kewajiban ini dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Alloh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Alloh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Alloh adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 5 8)

Amanah dalam ayat ini adalah amanah hukum (kekuasaan).

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa meninggal dunia sementara di lehernya tidak ada bai’at, maka ia mati dengan kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)

Dan tidak diragukan lagi bahwa memerangi Agresor Salibis dan pemerintah Murtad kaki tangannya adalah wajib. Karena perang tidak akan berjalan dengan baik selain dengan adanya seorang pemimpin, imam, atau jama‘ah yang mengeluarkan pandangan, saran, perintah dan penetapan, maka mengangkat Imam untuk urusan Jihad adalah kewajiban yang tidak diragukan. Manusia tidak boleh berperang dengan berpencar-pencar dan berselisih, tanpa imam dan aturan. Sebab itu menyebabkan kelemahan, kegagalan dan kesia-siaan. Ini adalah perkara maklum yang sangat jelas.

Dan salah satu petunjuk Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam serta para Khalifah sepeninggalnya adalah mengangkat Imam dalam urusan Haji, yang dimintai pendapat dan menjadi rujukan orang. Maka haji adalah ibadah yang tidak sah tanpa imam. Zakat pun demikian, tidak sah kecuali jika diserahkan kepada Imam, lalu ia bagikan sesuai aturan.

Alloh Ta‘ala berfirman:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…” (QS. At-Taubah: 103)

Maka Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu, dan para Khalifah pada setiap negeri juga mengangkat seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya di negeri tersebut lalu membagikannya kepada orang-orang fakirnya. Jadi, Imam-lah yang memungut zakat dan membagikannya. Rosul tidak membiarkan pembagian zakat dilakukan sesuai selera, tetapi harus dikumpulkan pada pimpinan wilayah setempat, setelah itu dibagikan sesuai jalur-jalur penyalurannya yang syar‘i.

Yang menjadi dalil di sini adalah bahwa zakat itu seperti haji dan sholat, tidak sah selain dengan adanya jamaah dan Imam. Demikian juga shoum, harus ada seorang Imam yang menentukan permulaan dan akhir bulan Romadhon, lalu seorang Muslim harus memegang pendapat Imam tersebut dan mayoritas masyarakat, ia tidak boleh berlainan dengan masyarakat dalam menentukan kapan berhenti dan memulai puasa, sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam:

“Puasa adalah hari kalian semua berpuasa, dan Idul Fitri adalah hari kalian semua berbuka, dan Idul Adha adalah hari kalian semua menyembelih kurban.” (HR. Tirmizi dari Abu Huroiroh)

Semua ini menunjukkan bahwa ibadah-ibadah agung tersebut merupakan rukun Islam yang tidak sah kecuali dengan adanya jamaah dan memegang pendapat Imam serta melaksanakannya sesuai aturan. Sikap berbeda sendiri (syaadz) pada salah satu ibadah ini mengeluarkannya dari jamaah dan bisa menyebabkan dosa.

Maka siapa yang bersikap syaadz dari jamaah sholat padahal ia mampu mengikuti jamaah, maka sholatnya tidak bernilai. Siapa yang mengeluarkan zakat mal jauh dari jangkauan Imam yang berkuasa, maka zakatnya tidak bernilai. Siapa yang berpuasa berlainan dengan puasa kebanyakan orang, lalu ia berpuasa sendiri, berbuka sendiri, maka ia telah bertindak syaadz dan berdosa. Dan siapa berhaji sendiri lalu menentukan sendiri hari wuquf di Arofah tidak seperti orang lain pada umumnya, maka hajinya tidak bernilai. Begitulah, kita tahu bahwa ternyata jamaah adalah suatu keharusan dalam rukun-rukun Islam. Tidak diragukan pula keharusan sebuah jamaah dalam amal Jihad, dan bahwasanya tidak ada jihad kecuali dengan adanya seorang Amir, Komandan, atau Imam.

Tidak diragukan pula bahwasanya tidak ada jamaah tanpa ketaatan dan Imam, sebagaimana firman Alloh ta’ala:

“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Alloh dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya…” (QS. An-Nur: 62)

Maknanya, jika seorang Muslim bersama Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah urusan yang memerlukan pertemuan, jihad misalnya, maka ia tidak boleh meninggalkan Rosul dan posisinya dalam barisan sebelum meminta izin kepada beliau. Jika ia pergi diam-diam tanpa izin, maka ia keluar dari ketaatan dan mengundang murka dan azab Alloh, sebagaimana firman Alloh Ta‘ala: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Alloh Telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)

Sebagaimana perpecahan dan persengketaan adalah perkara yang dilarang secara syar‘i. Al-Qurthubi menyebutkan ketika menafsirkan firman Alloh Ta‘ala: “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Alloh dalam mesjid-mesjid-Nya…” (QS. An-Nur: 114) Ia berkata: “Pembangunan masjid tidak boleh dilarang kecuali jika yang membangun bermaksud memicu perpecahan dan perselisihan dengan cara membangun sebuah masjid di samping masjid yang ada atau di dekatnya, yang bertujuan memecah belah jamaah Masjid pertama, menghancurkannya dan memecah belah kalimat. Dalam kondisi seperti ini, masjid kedua harus dirobohkan dan tidak boleh dibangun. Maka dari itu kami katakan: Tidak boleh di suatu daerah ada dua Masjid Jami‘, dalam satu Masjid tidak boleh ada dua Imam, dan dalam satu masjid tidak boleh ada dua Jamaah.” Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan dalam bukunya: Masaailul Jahiliyyah:

“Perkara Jahiliyah Kedua: Mereka bercerai berai, menganggap sikap mendengar dan taat adalah kehinaan dan kerendahan. Maka Alloh Ta‘ala memerintahkan mereka bersatu dan melarang mereka berpecah belah. Alloh Ta‘ala berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Alloh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Alloh kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Alloh mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Alloh, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Alloh menyelamatkan kamu dari padanya…” (QS. Ali Imron: 103).”

Alloh ‘Azza wa Jalla melarang berpecah belah dan berselisih di dalam medan Jihad, dan mengkhabarkan jika itu terjadi maka itu pertanda kegagalan dan kerugian. Alloh juga mendorong seluruh kaum Muslimin berkumpul di atas satu kalimat dan manhaj yang mengarahkan mereka kepada ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya serta melindungi mereka dari perpecahan dan persengketaan. Alloh Ta‘ala berfirman:

“Dan taatlah kepada Alloh dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)

Dan sudah menjadi hal maklum bahwa berkuasanya musuh dan penghinaan mereka terhadap kaum Muslimin disebabkan oleh perpecahan dan perselisihan di tubuh kaum Muslimin sendiri, sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Tsa’uban secara Marfu‘, bahwasanya Alloh Ta‘ala berfirman kepada Nabi-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Dan Aku tidak akan membuat umat Islam dikuasai musuh dari luar diri mereka yang akan menjajah tanah air mereka meskipun seluruh penjuru dunia berkumpul untuk itu, sampai mereka sendiri saling membunuh satu sama lain.

Kita tidak akan bisa keluar dari kondisi memprihatinkan seperti sekarang ini selain dengan mengobati sebabnya, yaitu menggalang persatuan kaum Muslimin. Di samping perpecahan itu penyebab berkuasanya musuh, perpecahan juga dipicu sebab-sebab lain yang perlu penanganan, salah satunya karena meremehkan hukum-hukum Islam dan lalai mengamalkan bagian-bagiannya, sikap seperti ini menyeret kepada perselisihan dan perpecahan sebagai hukuman Alloh yang bersifat qodariyah.

Alloh Ta‘ala berfirman: “…tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian peringatan yang diberikan kepada mereka; maka kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian…” (QS. Al-Maidah: 14) Dan berfirman: “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al-Mukminun: 53)

Obat penyakit ini adalah berpegang teguh dengan Al-Quran dan Sunnah agar Alloh Ta‘ala akan menyatukan hati-hati kita, sebagaimana firman Alloh Ta‘ala:

“… Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang Mukmin; dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman), walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Alloh telah mempersatukan hati mereka…” (QS. Al-Anfal: 62-63)

Oleh karena itu Alloh ta’ala berfirman: “…dan mereka terus dalam perselisihan, selain yang dirahmati Robbmu…” (QS. Hud: 118 – 119)

Abu Su‘ud berkata di dalam Tafsir-nya (IV/ 248):

“Selain yang dirahmati Robbmu maknanya: selain kaum yang Alloh beri hidayah kepada kebenaran dengan karunia-Nya, lalu mereka bersatu di kebenaran tersebut dan tidak memperselisihkannya.”

Ini merupakan dalil bahwa orang yang bersatu dan jauh dari perselisihan adalah kaum yang dirahmati dan diterima di sisi Alloh. Dan inilah yang kami saksikan –dan Alloh sebagai saksi—pada saudara-saudara kami di Majelis Syuro Mujahidin. Alloh telah memudahkan mereka mengumpulkan apa yang tercerai berai, menyatukan kalimat, dan mengajak kaum Muslimin kepadanya. Tekad mereka tidak pernah lesu, semangat mereka tidak pernah luntur, mereka rela menempuh jauhnya perjalanan demi menggalang diskusi, dialog dan negosiasi dengan saudara-saudaranya sesama Muslim dari kalangan kabilahkabilah, tokoh-tokoh masyarakat, anasir-anasir dan jamaah-jamaah. Langkah ini membuat banyak kelompok dan satuan tempur berbai’at kepada Majelis Syuro dan mengikuti jejaknya. Yang demikian itu –demi Alloh—merupakan pertanda keridhoan dan rahmat yang melindungi mereka dari langit ketujuh. Tanda ini sudah cukup untuk mendorong kami menyampaikan kabar gembira kelahiran Daulah Islam. Karena saat ini tokoh-tokoh penting Majelis Syuro semakin kuat pegangannya, pengikut dan persenjataannya bertambah banyak, jumlah pasukannya meningkat setiap hari, pekerjaan dan proyeknya selalu mengalami peningkatan, dan Alloh Maha Memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

Pasal: Kewajiban-Kewajiban Syar‘i Seorang Imam Yang Berhasil Dilaksanakan Majelis Syuro Mujahidin

Tujuan syar‘i diangkatnya seorang Imam –secara global—adalah memperbaiki kondisi umat manusia, baik agama maupun dunianya. Dengan kata lain: memperbaiki kondisi dan persoalan-persoalan masyarakat, terutama persoalan agama. Ini tujuan globalnya.

Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

1. Menjaga Din Agar Tetap Berada di Atas Prinsipnya Yang Baku dan Ijmak Salaful Ummah

Termasuk dalam hal ini:

(1) Membumikan ajaran Tauhid dan membersihkannya dari debu-debu kesyirikan. Berkat pertolongan dan karunia Alloh, saat ini Irak menjadi lahan tauhid tersubur di dunia. Di sini persoalan tauhid terjaga; tidak ada kuburan yang diziarahi kecuali yang tak diketahui, tidak ada tukang sihir yang didatangi, tidak ada propagandis kesyirikan baik syirik dalam uluhiyah maupun rububiyyah. Orang yang menyerukan ajaran syirik hidup dalam ketakutan sembari menunggu-nunggu siapa tahu Islam akan lenyap dan kekufuran akan menang, di saat yang sama orang seperti ini pasti dibabat habis oleh hamba-hamba Alloh para Mujahidin.

Termasuk dalam hal ini, kami berhasil menghentikan –berkat bantuan dan kekuatan Alloh—para propagandis faham Ba‘ats, faham Qodariyah dan Atheis. Di antara kisah lucu namun menyedihkan, suatu ketika Mujahidin meledakkan kubah penutup sebuah kuburan, para penganut kuburan (quburiyyun-ed) itu mengatakan; “Kami tahu, kuburan ini tidak bisa mendatangkan bahaya dan memberi manfaat,” setelah diledakkan mereka mengambil sisa-sisa reruntuhannya, ada yang mengambil pintu, kaca, ada yang mengambil bekas tiang-tiangnya.

(2) Menempatkan Syariat Islam pada posisi yang dijadikan Alloh untuknya. Yaitu posisi pemimpin semua perbuatan, semua orang, semua keadaan, semua adat kebiasaan, semua kelompok, dan sebagainya. Sebab, tidak ada Islam jika yang dijadikan rujukan bukan Syariat Alloh ‘Azza wa Jalla.

Alloh Ta‘ala berfirman:

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Alloh. (yang mempunyai sifat-sifat demikian) Itulah Alloh Tuhanku, kepada-Nya lah Aku bertawakkal dan kepada-Nyalah Aku kembali.” (QS. Asy-Syuro: 10)

Dan berfirman:

“Maka demi Robbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Dan berfirman:

“Dan Alloh tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al-Kahfi: 26)

Dan berfirman:

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan Hari Kemudian.” (QS. An-Nisa’: 59)

Dan berfirman:

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Alloh dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur: 51)

Dan masih banyak nash-nash lain yang semuanya menunjukkan secara pasti tidak bernilainya keislaman seseorang yang berhukum kepada selain syariat Alloh ‘Azza wa Jalla, para Ulama sepakat tentang masalah ini.

Ibnu Katsir berkata: “Maka barangsiapa meninggalkan Syariat muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah sang penutup para Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu berhukum kepada syariat-syariat yang telah dihapus, maka ia telah kafir. Lalu bagaimana dengan orang yang berhukum kepada hukum Ilyasiq dan lebih mendahulukannya daripada syariat ini? Siapa yang melakukan perbuatan seperti itu sungguh ia telah kafir berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin.” (Lihat Al-Bidayah wan Nihayah: XII/ 119)

Dan apakah tujuan kami berperang mengorbankan nyawa dan sesuatu paling mahal yang kami miliki selain untuk tujuan ini?

2. Mengadili Orang-orang yang Bersengketa

Dengan kata lain: Menengahi pertikaian dan menghentikan perselisihan, termasuk mengangkat para Qodhi dan Hakim, seperti akan kami jelaskan.

Alloh telah mengaruniai Mujahidin dalam Daulah Islamiyah untuk mampu memecahkan pertikaian-pertikaian yang bergejolak sejak beberapa abad, di mana rezim pemerintah Ba‘ats kafir tidak mampu menyelesaikannya dengan semua keahlian, kekuatan dan keangkuhan yang ia miliki. Sementara itu musuh-musuh Alloh dari kalangan para penjajah mencoba memecahkan sebagian pertikaian ini untuk tujuan mendekati kabilah-kabilah yang ada, namun semuanya lenyap tanpa bekas.

Alloh memudahkan saudara-saudara kalian para Mujahidin dalam banyak kesempatan untuk menyelesaikan banyak pertikaian seperti ini, kemudian kedua belah fihak yang bertikai keluar dalam keadaan sangat senang dan bahagia. Bahkan pernah ada dari mereka yang mengatakan: “Demi Alloh, dalam hidupku aku belum pernah bergembira seperti kegembiraanku hari ini.”

Ini disebabkan anggota keluarga dari dua kabilah yang bertikai kini bergabung dalam satu barisan dan satu jamaah, yaitu Jamaah Daulah Islam sebagaimana bersatunya kabilah Aus dan Khozroj dalam satu barisan dan satu Jamaah. Alloh telah memudahkan sesuatu yang sulit terjadi dalam suasana hidup jahiliyah yang busuk.

3. Mengangkat Para Qodhi dan Hakim.

A. Definisi Qodhi: Diambil dari kata Al-Qodho’ (memberi keputusan hukum) yang menurut Ibnu Rusyd adalah: “Menyampaikan hukum Syar‘i dengan penyampaian bersifat mewajibkan.” (Lihat Al-Bahjah: I/ 31) Syarat “bersifat mewajibkan” di sini mengeluarkan Ifta’ (memberi fatwa) dari definisi Qodho’ ’. Sebab berfatwa juga menyampaikan hukum Syar‘i, namun tanpa unsur mewajibkan. Maka seorang Mufti tidak bisa mewajibkan orang yang bertanya melaksanakan fatwanya, tetapi dikembalikan kepada kapasitas agama penanya. Adapun seorang Qodhi, ia menyampaikan hukum syar‘i kepada dua fihak yang bertikai dan fihak yang dijatuhi hukuman harus melaksanakan kewajibannya, jika tidak ia akan dihukum sampai ia melaksanakan kewajibannya.

B. Hukum Melaksanakan Qodho’

Hukumnya adalah Fardhu Kifayah. Maka seorang Imam wajib mengangkat seorang Qodhi, ia boleh memaksa orang yang menolak menjadi Qodhi jika ia layak untuk itu berdasarkan rekomendasi para Ulama. Terkadang menjadi Qodhi adalah fardhu ‘ain bagi orang alim di suatu wilayah yang di antara penduduknya tidak ada yang layak menjadi Qodhi selain dia.

Dahulu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam biasa menjadi Qodhi di tengah para shahabatnya, sebagaimana diriwayatkan secara shohih oleh Imam Enam dari hadits Ummu Salamah Rodhiyallohu ‘anha bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Aku hanyalah manusia biasa sementara kalian mengadukan pertikaian kalian kepadaku. Dan barangkali sebagian kalian lebih lihai menyampaikan agumentasi sehingga aku memberi keputusan sesuai yang aku dengar. Maka siapa yang kuberi keputusan yang sebenarnya itu hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya.” (HR. Bukhori—Kitabus Syahadat—Bab Man Aqomal Bayyinah Ba‘dal Yamin: 2534, dan Kitabul Hiyal – Bab Idza Ghodhiba Jaariyatan Faza‘ama Annaha Matat Faqudhiya Bi Qimatil Jariyah Tsumma Wajadaha Shohibuha Fahiya Lahu Wa Yuroddu Al-Qimah: 6566, Kitabul Ahkam – Bab Mau‘idzotul Imam Al-Khushuma: 6748, dan Muslim – Kitabul Aqdhiyah – Bab Al-Hukmu Bidz Dzohir Wal Lahnu Bil Hujjah: 1713 Abu Dawud – Kitabul Aqdhiyah – Bab Fi Qodhoil Qodhi Idza Akhthoa: 3583, Tirmidzi – Kitabul Ahkam – Bab Ma Ja’a Fit Tasydid ‘Ala Man Yaqdhi Lahu Bisyai’in Laisa Lahu An Ya’khudzahu: 1339, Nasa’i (Mujtaba) – Kitab Adabil Qodho’—Bab Al-Hukmu Bidz Dzohir: 5401 dan Bab Ma Yuqtho‘ul Qodho’: 5422, dan Ibnu Majah – Kitabul Ahkam—Bab Qodhiyyatul Hakim La Tuhillu Haroman wa La Tuharrimu Halalan: 2317)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengutus Ali dan Mu’adz ke Yaman untuk urusan Qodho’. Adapun pengiriman Ali rodliyallohu ‘anhu, diriwayatkan oleh Ahmad: 1280 – 1282.

Para Khulafa Rosyidin pada awal mulanya menangani sendiri urusan Qodho’ , seperti dilakukan Abu Bakar Rodhiyallohu ‘anhu, demikian juga Umar di awal-awal kekhilafahannya, setelah itu beliau mengangkat Abu Darda’ sebagai Qodhi di Madinah, Syuraih di Bashroh, Abu Musa Al-Asy‘ari di Kufah. Beliau pernah mengirim surat kepadanya yang berisi prinsip-prinsip Qodho’ secara ringkas namun universal, yang setelah itu menjadi rujukan para Fuqoha, ahli Hadits dan Ahli Ushul dalam memahami masalah Qodho’ dan semisalnya.

Alloh telah mengkaruniai Mujahidin Daulah Islam untuk membentuk Mahkamah Syar‘i di berbagai penjuru negeri Dua Aliran Sungai (Irak dan sekitarnya) untuk menegakkan hukum Alloh di muka bumi, yaitu melaksanakan hudud dan qishosh sesuai perintah Alloh ‘Azza wa Jalla. Para Qodhi juga melaksanakan tugas mengadili sesuai agama Alloh yang mereka laksanakan, walhamdulillah.

4. Membebaskan Tawanan, Menjaga Wilayah dan Tempat-tempat Suci

Saudara-saudara kalian di Daulah Islam merasa terhormat ketika mereka menumpahkan darahnya berkali-kali, mengorbankan anggota-anggota dan para pemimpinnya terlebih dahulu sebelum tentaranya, demi membebaskan tawanan. Ini dibuktikan dengan peristiwa terbunuhnya Syaikh Abu Anas Asy-Syami[5] rohimahulloh.

[5] Abu Anas Asy-Syami rohimahulloh, salah seorang anggota Dewan Syariat Tandzim Al-Qaeda Irak, beliau gugur ketika bersama anak buahnya menyerbu kamp penjara Abu Ghorib –penerj.

Imam Bukhori rohimahulloh meriwayatkan dari Abu Musa rodliyallohu ‘anhu ia berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bebaskanlah tawanan, beri makanlah orang lapar, dan jenguklah orang sakit.” Membebaskan tawanan merupakan salah satu tujuan utama dalam Syariat Islam, kami telah melakukan penyerangan ke penjara Abu Ghorib sebanyak tiga kali dan ke Markaz Anti Teror di Baghdad sebanyak dua kali. Alloh juga telah mengaruniai kami untuk bisa mengeluarkan para tawanan di berbagai penjara, di antaranya dari Kantor Pusat Kepolisian distrik Amil dan Muqdadiyah, di kantor Polisi Federal distrik Diyala dan lain-lain. Ini termasuk anugerah yang sementara ini hanya Alloh berikan kepada kami saja, tidak kepada yang lain, meskipun banyak sekali klaim –Alloh lebih tahu kebenaran klaim tersebut—yang mengatakan bahwa mereka adalah pasukan yang paling banyak anggota dan persenjataannya. Lantas, mana pembelaan mereka terhadap kehormatan?!!

Salah satu bentuk menjaga wilayah adalah mengamankan jalur transportasi dan memberi jaminan keamanan, sebagaimana dikatakan sebagian Ulama’: “Melindungi Islam dari perebutan kekuasaan dan jatuhnya wilayah-wilayah Islam oleh Ahlul ‘Aromah.” Ahlul ‘Aromah adalah para penjahat, seperti para pencuri dan perampok. Semua orang tahu, baik yang jauh atau yang dekat, bahwa Mujahidin Daulah Islam telah melakukan pengejaran kepada para perampok dan menghukum mereka sesuai dengan hukum Alloh Ta‘ala demi menghentikan aksi perusakan. Wal Hamdulillah.

5. Menegakkan Hudud

Termasuk semua yang terkait dengannya, yaitu menjatuhkan hukuman dan ta‘zir yang bisa menimbulkan efek jera kepada para pelaku kerusakan sehingga ia tidak mengulangi lagi perbuatan keji dan dosa.

Menegakkan hudud termasuk faktor utama datangnya keberkahan dan kelapangan rezeki. Sebab, penegakkan hudud bisa mencegah masyarakat melakukan perbuatanperbuatan haram yang menyebabkan hilangnya berkah dan keringnya mata air kebaikan.

Oleh karena itu, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ“Sungguh, satu hukum hudud ditegakkan di muka bumi itu lebih baik daripada turunnya hujan kepada penduduknya selama 70 pagi.” (HR. Ahmad: II/ 402, Nasa’i dalam Al-Mujtaba –Kitabul Hudud—Bab At-Targhib Fi Iqomatil Had: 4905 secara marfu‘ dengan lafadz: “…30 pagi , dan secara mauquf dengan lafadz: “…40 malam, dan Ibnu Majah—Kitabul Hudud—Bab Iqomatul Hudud: 2538 dari hadits Abu Huroiroh secara marfu‘ )

Makanya seorang Imam itu melihat dengan cahaya Alloh dan mengerti bahwa penegakkan hudud adalah solusi penyelesaian terpenting bagi berbagai problematika ekonomi negara, seperti kekeringan, kenaikan harga, pengangguran dan lain-lain. Adapun orang-orang yang hatinya tertutup, yang fikirannya terkontaminasi racun faham Paganisme Modern, yang hatinya tertusuk panah faham Barat, maka mereka menganggap penegakkan hudud sebagai kebiadaban, kemunduran, dan memancing kemarahan masyarakat Internasional, menyebabkan negara terkena embargo. Di sinilah ujian muncul, yang membedakan mana orang yang yakin dan mana orang yang ragu. Di sinilah pembelah jalan yang menampakkan watak asli orang dan menyingkap hakikat dirinya. Oleh karena itu, para Ulama mensyaratkan seorang Khalifah itu harus memiliki keberanian menegakkan hudud, tidak takut celaan orang yang mencela.

Adapun para pengecut, yang bulu kuduknya berdiri karena takut disebut biadab dan tak menghargai hak asasi manusia oleh apa yang mereka sebut sebagai Masyarakat Internasional, maka mereka tidak pantas diserahi amanah memikul Syariat Alloh dan mengemban kepentingan-kepentingan umatnya.

Salah satu contoh penegakkan hudud di negeri Dua Aliran Sungai: Suatu ketika seorang anggota suatu kabilah datang membawa putrinya –yang telah melanggar had—dan berkata: “Bersihkan dia, wahai hamba-hamba Alloh.” Akhirnya pelaksanaan had ditunda sampai ia melahirkan. Kemudian pasangan lelakinya juga mengakui telah berbuat zina dan ia belum menikah, maka di hari Jumat khotib menyampaikan khutbah berisi keutamaan penegakkan hudud, setelah itu orang-orang keluar masjid dan berkumpul di sekitar lelaki itu, dan hukum hudud pun diberlakukan kepadanya, wal Hamdulillah. Contoh lain adalah menangkap tukang-tukang sihir dan membunuh mereka, dan banyak lagi contoh lain yang tidak mungkin dibatasi.

6. Mengusir Agresor Dan Melindungi Daerah Perbatasan

Hal itu dilakukan demi menjaga daerah perbatasan Negeri Islam dari ketamakan musuh dari kalangan kafir asli maupun murtad, dan inilah ibadah ribath yang Alloh Ta‘ala jadikan sebagai salah satu ibadah paling agung. Ribath sehari saja di jalan Alloh lebih baik daripada puasa dan sholat malam selama sebulan. Dan siapa meninggal dalam keadaan ribath, ia akan dibebaskan dari pertanyaan kubur, pahala amalnya akan dikembangkan hingga hari Kiamat, api neraka tidak akan menyentuh mata yang bermalam dalam rangka berjaga-jaga di jalan Alloh. Semua keutamaan ini tercantum dalam riwayat-riwayat hadits yang shohih.

Adapun tiga keutamaan yang pertama kami sebutkan, diriwayatkan Muslim dalam Kitabul Imaroh—Bab Keutamaan Ribath: 1913, Tirmidzi dalam Kitab Fadhoilil Jihad—Bab Ma Ja’a Fi Fadhlil Murobith: 1665 dari hadits Salman.

Adapun keutamaan keempat, diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Kitab Fadhoilil Jihad—Bab Ma Ja’a Fi Fadhlil Harosi Fi Sabilillah: 1639 dan ia berkata: “Hadits ghorib, kami tidak mengetahuinya selain dari hadits Syuaib bin Zuroiq.” Syuaib adalah orang yang suka mengira-ngira hadits, seperti dituturkan Bukhori.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Majmu‘ Fatawa (28/ 358):

“Para Fuqoha berbeda pendapat mengenai status Kelompok yang menolak melaksanakan syariat Islam jika mereka meninggalkan Sholat Sunnah Rowatib, seperti dua rekaat sebelum Subuh, apakah mereka boleh diperangi? Ada dua pendapat. Adapun dalam kewajiban dan perkara haram yang sudah jelas dan masyhur, maka semuanya sepakat kelompok yang meninggalkannya harus diperangi sampai mereka mau melaksanakannya secara konsisten, seperti melaksanakan sholat wajib, menunaikan zakat, puasa di bulan Romadhon, haji ke Baitullah, dan konsisten meninggalkan perbuatan-perbuatan haram seperti menikahi saudari sendiri, memakan barang-barang kotor, menzalimi nyawa dan harta kaum Muslimin dan lain sebagainya. Memerangi orang-orang seperti ini adalah kewajiban yang harus didahulukan setelah sampainya dakwah Nabi kepada mereka tentang masalah yang mereka diperangi karenanya.

Adapun jika mereka yang terlebih dahulu menyerang kaum Muslimin, maka memerangi mereka semakin ditekankan, sebagaimana telah kami sebutkan tentang masalah memerangi orang-orang yang menolak melaksanakan syariat dari kalangan orang-orang jahat dan para perampok jalanan. Jihad paling wajib, yaitu memerangi orang-orang kafir dan orang-orang yang menolak menjalankan sebagian Syariat Islam, seperti memerangi kaum yang menolak membayar zakat dan memerangi Khowarij atau yang semisal, maka itu wajib dilaksanakan baik dengan menyerang terlebih dahulu atau mempertahankan diri. Adapun menyerang terlebih dahulu, hukumnya adalah fardhu kifayah, jika ada sebagian orang yang melaksanakannya maka gugurlah kewajiban itu dari yang lain dan keutamannya diperoleh oleh yang melaksanakannya, sebagaimana firman Alloh Ta‘ala:

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur …” (QS. An-Nisa’: 85)

Adapun jika musuh hendak menyerang kaum Muslimin maka melawannya adalah wajib bagi semua orang yang diserang, sedangkan mereka yang tidak diserang wajib membantu mereka, sebagaimana firman Alloh Ta‘ala:

“(akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka…” (QS. Al-Anfal: 72)

Sebagaimana Nabi juga memerintahkan menolong sesama Muslim, baik orang itu tentara pemerintah atau bukan. Hal ini dilakukan sesuai kemampuan masing-masing orang, dengan jiwa dan hartanya, bersama jumlah yang sedikit maupun banyak, berjalan maupun berkendaraan sebagaimana ketika kaum Muslimin diserang musuh dalam perang Khondaq.

Alloh tidak mengizinkan seorang pun tidak mengikutinya seperti dalam perang menyerang terlebih dahulu untuk mencari musuh, di mana dalam perang seperti ini Alloh membagi kepada orang yang duduk (tidak berangkat) dan orang yang berangkat. Namun dalam perang membela diri, Alloh mencela orang yang meminta izin kepada Nabi dengan mengatakan: Rumah kami adalah aurat! Padahal itu bukan aurat, mereka hanya ingin melarikan diri.

Seperti ini adalah perang membela agama, kehormatan dan nyawa. Dan ini adalah perang darurat, sementara yang pertama adalah perang pilihan yang berfungsi memberikan tambahan kepada agama dan meninggikannya dalam rangka menggentarkan hati musuh seperti pada perang Tabuk dan yang semisal.”

7. Memungut Harta Zakat, Menjaga Harta Fai’ Dan Sedekah, Serta Sumber-Sumber Pemasukan Baitul Mal Lainnya

Yakni mengumpulkan harta dari berbagai sumber, terutama adalah zakat. Karena zakat adalah rukun Islam ketiga setelah Dua Kalimat Syahadat dan Sholat. Maka yang pertama kali dibebani tugas mengumpulkan dan membagikan harta zakat adalah Imam, berdasarkan firman Alloh ‘Azza wa Jalla:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103)

Oleh karena itu semua Ulama baik dari kalangan Sahabat maupun generasi setelahnya, semuanya sepakat bahwa Imam bisa memerangi orang-orang yang menolak membayar Zakat. Dan dahulu Abu Bakar Ash-Shiddiq rodliyallohu ‘anhu telah memerangi mereka dan semua Shahabat kembali kepada pendapatnya serta menyepakatinya.

Imam Al-Qurthubi berkata: “Alloh Ta‘ala berfirman: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka; perintah ini tidak hanya berlaku bagi Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam saja, tetapi berlaku juga bagi orang sepeninggal beliau yang menempati posisinya. Demikian juga perintah dalam firman Alloh Ta‘ala: “Dan apabila kamu berada di tengah mereka…[6]” (QS. An-Nisa’: 102) Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq bersama para shahabat –radhiyallohu ‘anhum—memerangi orang-orang yang salah takwil dalam masalah membayar zakat?” (Lihat Al-Jami‘ Li Ahkaamil Quran: V/ 365)

[6] Yakni di tengah pasukan perang dalam sholat Khouf, -penerj.

Rekan-rekan Anda di Daulah Islam Irak di setiap wilayah telah membuka tempat-tempat penarikan zakat dan shodaqoh. Oleh karena itu, kami ingatkan kepada semua kaum Muslimin, yang bertakwa maupun yang (masih) ahli maksiat, hendaknya membayarkan zakat hartanya ketika sudah mencapai nishob. Dan hendaknya mereka catat bahwa Daulah Islam ini adalah satu-satunya fihak yang dimaksud untuk menarik zakat, tidak boleh seorang Muslim membayarkannya kepada yang lain.

8. Menanggung Keluarga Para Syuhada, Para Tawanan, Orang-orang Lemah Dan Menanggung Biaya Perbekalan Pasukan

Alloh telah menguji kita dengan banyaknya orang yang ditawan dan mati syahid, di sisi lain tidak ada tempat bertambat dan sumber penghasilan. Dan kami –dengan bantuan kekuatan Alloh—berusaha untuk menutup kebutuan ini serta memberi perhatian kepada mereka, hanya Alloh lah tempat meminta pertolongan.

Berkat pertolongan Alloh pula kami bisa membiayai banyak anak-anak yatim dan masyarakat miskin Sunni yang tidak memiliki keterkaitan dengan jihad. Mengenai pengaturan administrasi ketentaraan, alhamdulillah kondisinya sangat teratur, baik mengenai data jumlah tentara yang berperang, orang-orang yang terluka, aktifitas transportasi dan lain-lain. Dan tentu saja mereka diberi perhatian dan pembiayaan penuh mengingat mereka seratus persen berkhidmad untuk urusan jihad Fi Sabilillah –berkat karunia yang Alloh berikan kepada mereka.

9. Mengangkat Orang-orang Terpercaya Dan Profesional Sebagai Pemimpin

Atau meminjam istilah Al-Mawardi:

“Memberikan kedudukan kepada orang-orang terpercaya dan memberikan jabatan kepada orang-orang yang tulus.” (Al-Ahkam Ash-Shulthoniyah: hal. 16)

Poros utamanya adalah sifat kuat (profesional) dan amanah (terpercaya), sebagaimana firman Alloh Ta‘ala melalui lisan puteri Syu’aib:

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qoshosh: 26)

Bergabungnya kekuatan dan amanah dalam diri seseorang jarang ditemukan, wajar jika Umar rodliyallohu ‘anhu pernah mengucapkan: َ“Ya Alloh, aku mengeluh kepada-Mu terhadap kelemahan orang terpercaya dan kekuatan orang yang jahat.”

Maka, seorang Imam mesti memilih orang yang paling tepat pada setiap bidang kepemimpinan. Dalam bidang kepemimpinan perang misalnya, ia harus memilih orang yang kuat dan pemberani, walaupun dari sisi ilmu dan sifat waro‘ kurang. Dalam bidang memimpin pengadilan (Qodho’) hendaknya ia mengutamakan orang yang paling berilmu dan waro‘, walaupun ia bukan seorang Muqotil pemberani dan bukan orang yang faham urusan bertempur, begitu seterusnya. (Lihat Majmu‘ Fatawa: 28/ 254)

Kedua: Faktor-Faktor Politis

1. Melancarkan Pukulan Telak Ke Arah Musuh (Tentara Salib Dan Murtaddin)

Bisa dipastikan bahwa kedatangan Invasi Salibis Amerika bukan tanpa tujuan sama sekali, sebab sejak awal serangan tentara koalisi multinasional terhadap Islam (atau menurut mereka terorisme) mereka sudah menyatakan akan membasmi semua perjuangan yang mengarah kepada kekuasaan Islam fundamentalis –menurut mereka. Bahkan mereka mengancam akan mencegah lahirnya kekuasaan kaum Islamis, apapun bentuknya. Kebodohan dan kedengkian mereka sampai pada titik menetapkan bahwa undang-undang pemerintah Thoghut Irak tidak mengakui legalitas berdirinya Negara Agama di bumi Irak. Jadi, demokrasi membenarkan faham apa saja asalkan bukan Islam.

Dan itulah tujuan orang-orang Amerika datang ke Irak, yaitu memerangi garda terorisme di dunia. Pada hari Rabu 19 Romadhon (11 Oktober), Bush dalam Konferensi Pers di Gedung Putih yang berlangsung cukup lama menegaskan sebanyak tiga kali bahwa: “Keberadaan Tentara Amerika di Irak bertujuan mencegah berdirinya Negara Khilafah yang akan memberi peluang berdirinya sebuah Daulah Kuat yang akan mengancam kepentingan-kepentingan Barat dan Amerika di jantung negaranya.”

Bush juga menegaskan bahwa Ekstrimis Muslim ingin menyebar luaskan ediologi Khilafah yang tidak mengakui budaya Liberal dan kebebasan, makanya mereka ingin agar kita –kata Bush—hengkang dari sana. Tetapi kita akan tetap di sana supaya kita tidak menyesal. Dalam situasi seperti itu rakyat Amerika harus memahami bahwa keberadaan kami di Irak adalah “pertaruhan diri” dan sangat krusial. Kaum ekstrimis di sana ingin menteror kalangan intelektual-moderat dan menggulingkan kekuasaan mereka serta menggantinya dengan menegakkan Negara Khilafah. Sesungguhnya pilihan hengkang dari Irak sangat berbahaya, itu sama artinya dengan membiarkan sejengkal wilayah dikuasai kaum Ekstrimis-Radikal yang bermaksud mengalahkan Amerika Serikat. Kawasan yang dibiarkan ini akan memberi mereka kesempatan untuk menyusun konspirasi dan rencana serangan ke Amerika, serta memanfaatkan sumber-sumber kekayaan yang akan memudahkan mereka memperluas daerah Negara Khilafah[7].

[7] Tentu saja ekstrimis-radikal muslim yang di maksud fir’aun bush ialah Jama’ah-jama’ah Jihad yang berjalan di atas manhaj Tauhid & Jihad untuk menegakan Daulah Khilafah Islamiyah ala Minhajin Nubuwah, bukan kelompok zindiq lagi sesat yang ingin menegakan khilafah tanpa jihad seperti hizb at-tahrir al-bathil -ed.

Kali ini Bush benar, meskipun dia pendusta! Namun fakta tidak seperti harapan orang-orang Amerika. Strategi Amerika di Irak menuai pukulan telak. Rancangan target perang Salib yang diumumkan “berhamburan” seperti dedaunan yang rontok dan beterbangan. Lihatlah, hujan di musim semi bagi jihad dan Mujahidin mulai turun di langit Baghdad, Al-Anbar, Moshul, Sholaheddin dan Diyala, menyongsong tegaknya impian yang telah dicita-citakan kaum Muslimin sejak puluhan tahun dan ‘mencabut nyawa’ dari khalayan aliansi Zionis-Salibis di Kawasan, dengan tegaknya Daulah Islam Irak.

Satu lagi hal penting yang perlu dicatat, bahwa tentara Amerika kini terpuruk dalam ketersiksaan dan kelelahan yang belum pernah mereka perhitungkan sebelumnya. Mereka benar-benar sedang mempertahankan nafas-nafas terakhirnya, khususnya yang sering terdengar akhir-akhir ini di wilayah-wilayah Sunni tentang permintaan Tentara Amerika agar penduduk setempat tidak menyerang mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang menginginkan kedamaian dan akan segera hengkang secepatnya dari Irak dalam kondisi ketakutan dan cemas, menuju kampung halaman dan keluarganya.

Maka, program Daulah yang diberkahi ini lahir adalah untuk memberi pukulan politik sekeras-kerasnya terhadap program kaum Salibis di Kawasan yang selama ini mereka takutkan, khususnya pasca kegagalan tentara Koalisi Multinasional yang malang itu.

2. Membantah Klaim-klaim Penguasa Boneka Irak dan Membongkar Kedok Kebatilannya

Seiring dengan banyaknya aksi protes dan pemberitaan sinis dari masyarakat Irak yang meragukan kemampuan Pemerintah Irak, dan meragukan program-program dan langkah yang diambil aparat keamanan dan militernya, diumumkanlah Daulah Islam Irak untuk menyingkap kepalsuan semua klaim dan omong kosong mereka.

Akhirnya masyarakat awam faham –tanpa harus ditunjukkan—bahwa pemerintahan Irak memang ada, namun terbatas dalam Zona Hijau yang dilindungi saja. Di luar itu, pemerintah tidak memiliki eksistensi di wilayah-wilayah Irak tercinta. Inilah yang sering diungkapkan oleh keluarga kami di Irak dengan bahasa pasaran mereka: Maakuu Hukuumah Yaabaa…!

Dengan peran yang kami mainkan, bisa kami simpulkan bahwa apa yang disebut pemerintahan Irak benar-benar sebuah kebohongan, pemerintahan paling lemah dalam sejarah mana pun yang pernah ia lalui. Itulah yang membuka peluang yang bagus secara politis untuk mendeklarasikan Daulah Islam, bukan untuk meruntuhkan pemerintahan yang sekarang terhapus itu, sebab dalam pandangan kami pemerintahan ini sudah runtuh sejak lama, namun untuk menelanjangi kebobrokannya di hadapan semua orang.

Pemerintahan ini tidak memiliki nilai sama sekali di wilayah-wilayah yang dikuasai Mujahidin seperti bisa dilihat. Atau seperti kata orang: tidak di kafilah dagang, tidak juga di kafilah perang.

3. Mengisi Kekosongan Politik (Kepemimpinan)

Seperti telah kami katakan, kepemimpinan adalah perintah Syar‘i. Kepemimpinan adalah peran dinamis yang dihasilkan dari aktifitas Jihad melalui fase-fasenya yang terus berkembang dan sempurna dan melalui keberhasilan operasi serangan militer yang terus berulang. Sehingga ia terbiasa dengan suasana itu dan mewakili salah satu bentuk politik syar‘i yang berjalan dalam dunia nyata.

Dari Abu Huroiroh ia berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, setiap kali seorang Nabi meninggal dunia digantikan oleh Nabi berikutnya. Dan tidak ada Nabi lagi setelahku, yang ada kelak adalah para khalifah, mereka akan banyak jumlahnya.” Para sahabat bertanya: “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tunaikanlah bai’at yang paling pertama kemudian yang paling pertama, berikan hak mereka karena sesungguhnya Alloh akan meminta pertanggung jawab terhadap apa yang mereka pimpin.” (HR. Bukhori – Muslim)

Ibnu Hajr berkata di dalam Fathul Bari (VI/ 497):

“Hadits ini berisi isyarat bahwa dalam sebuah komunitas harus ada seorang yang mengurus persoalan-persoalan mereka dan mengarahkannya di atas jalan yang baik, memberi keadilan kepada orang terdzalimi dari yang mendzalimi.”

Sistem kepemimpian syar‘i dibangun di atas prinsip menjaga dan menyempurnakan maslahat-maslahat. Kekosongan dalam bidang ini tak diragukan lagi akan berakibat terlantarnya maslahat-maslahat, bahkan bisa hilang sama sekali.

Musuh (tentara Salibis) fokus betul dalam masalah ini demi memalingkan perhatian orang dari fakta pertempuran yang sebenarnya. Ia berusaha sekuat tenaga menarik simpati orang dengan pengadaan proyek-proyek rekontruksi dan pelayanan, tujuannya untuk memperoleh dukungan politis di lapangan.

Peran yang dimainkan dari diumumkannya Daulah Islam sudah cukup menggagalkan program yang dilancarkan musuh untuk mempermainkan fikiran masyarakat Sunni sehingga mereka mau dijadikan anggota tentara nasional, polisi dan aparat keamanan yang akan melindungi program kaum Salibis-Amerika, selanjutnya mereka akan menjadi antekanteknya, bergerak dalam porosnya dan sesuai petunjuknya.

Deklarasi Daulah akan membentuk nilai politis Islam yang tumbuh dari sebuah pengalaman jihad yang tulus, yang dibangun dan dibentuk oleh putera-putera Irak dan rekan-rekan Muhajirin. Ini memberi legalitas historis atas proyek ditegakkan Daulah ini di mana legalitas itu layak mereka terima karena perjuangan dan perlawanan mereka terhadap kaum Agresor-Penjajah.

Dengan perannya, Daulah akan membentuk sebuah poros Islami yang dikelilingi oleh putera-putera Islam di Irak, kemudian dari poros itu mereka bisa mengembangkan potensi-potensinya untuk membangun dan membangkitkan Proyek Daulah itu, jauh dari pengkhianatan dan tuduhan-tuduhan memalukan seperti perbuatan murtad, jauh dari memenuhi tuntutan, permintaan tolong dan mediasi bagi pemerintah Murtad-Pengkhianat yang dalam dunia nyata akan terlihat bahwa mereka sama tidak memiliki pembenaran apapun, tidak mendapat dukungan dari satupun kaum Muslimin, lalu akan meleleh dengan cepat di hadapan “kobaran sinar” Daulah Islam penuh berkah ini.

4. Membuka Front Politik Islam Bersatu

Artinya membuka pintu kekuatan Jihad Islam yang akan membentuk garis politik pemersatu kekuatan kaum Muslimin yang jujur dan ikhlas, serta mencegah terjadinya perpecahan dan egoisme kelompok-kelompok Jihad. Peran ini akan menyiapkan terbentuknya lingkungan Islami yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mana target-target, kekuatan-kekuatan dan proyek-proyek ke depan akan semakin terasah dalam satu wadah yang bekerja dalam rangka menegakkan Islam, melayani tujuan-tujuan dan penyebaran faham-fahamnya yang tidak mengenal tawar menawar dalam urusan jihad, pengelolaan hasil dan metodenya. Benteng pertahanan semua itu adalah Daulah Islam bersatu.

5. Mujahidin Telah Memetik Buah Dari Jihad Sebelum Yang Lain.

Menurut perhitungan kami setelah melihat situasi yang tengah berjalan di Irak tiga tahun terakhir, hasil-hasil jihad mulai bisa dilihat dengan jelas dan buahnya mulai bisa dinikmati oleh semua lapisan, baik dari sisi politis, ekonomi maupun sosial. Sebelum tiba masa di mana semuanya mengklaim “memiliki hubungan dengan Laila”, padahal Laila tidak mengakuinya, sebelum semua orang yang menyimpang datang bergegas dari kejauhan untuk ikut dalam “meja makan” orang lain dan menyertakan dirinya dalam perkara yang ia sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengannya –dan beginilah kebiasaan yang terjadi ketika kemenangan datang—, sebelum semua ini terjadi, maka sudah sepatutnya Mujahidin mengambil langkah tepat untuk menjaga keberhasilan-keberhasilan yang menjadi hak mereka dan menutup pintu-pintu masuk bagi “para pengemis” dan kaum oportunis. Alloh Ta‘ala berfirman:

“Orang-orang Badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: “Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu,”; mereka hendak merobah janji Alloh. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Alloh telah menetapkan sebelumnya”; mereka akan mengatakan: “Sebenarnya kamu dengki kepada kami”, bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (QS. Al-Fath: 15)

Al-Alusi berkata di dalam Ruhul Ma‘ani (26/ 101):

“Alloh Ta‘ala berjanji kepada para pengikut peristiwa Hudaibiyah akan mengganti harta Ghonimah Mekkah dengan Ghonimah Khoibar jika mereka pulang dalam kondisi tak berperang dan tidak memperoleh apa-apa. Alloh ta’ala hanya memberikannya secara khusus kepada mereka. Artinya, orang-orang Badui itu akan mengatakan –ketika mereka hendak berangkat mengambil Ghonimah Khoibar seperti yang Alloh janjikan khusus kepada kalian—karena tamak kepada dunia dan karena mereka melihat lemahnya musuh serta memastikan kemenangan: “Biarkan kami, kami akan mengikuti kamu menuju Khaibar dan memerangi penduduknya bersama kalian.” Mereka hendak mengganti janji Alloh dengan cara ikut ambil bagian dalam pembagian ghonimah yang telah Alloh khususkan bagi peserta perjanjian Hudaibiyah. Intinya, mereka ingin ikut mendapat bagian tanpa mau memberikan pembelaan kepada agama dan meninggikan kalimat Alloh Ta‘ala.”

Pengalaman-pengalaman sejarah, baik yang dulu maupun sekarang, telah memberi kita pelajaran tentang sikap para pengemis kemenangan yang menghalangi proyek jihad mencapai tujuannya. Maka setelah hengkangnya kaum Agresor nanti, kaum munafikin akan datang ingin memetik buah yang sudah matang dan murni sembari mengklaim haknya menjadi penguasa dan menggembar-gemborkan perannya dalam aksi jihad dan perlawanan, padahal ia sama sekali tidak terkait sedikit pun dengan lapangan dan medan tempur. Persis seperti ketika Invasi Perancis keluar dari Syam dan Aljazair, demikian juga keluarnya Inggris dari Mesir dan Irak. Setelahnya, kekuasaan “dilahap” oleh segelintir orang yang dibayar dan dikendalikan oleh agresor yang hengkang. Segelintir orang ini mengerumuni hasil jerih payah jihad dengan mengatas namakan sikap nasionalis, membela golongan dan kemerdekaan. Akhirnya mereka merampas kendali kekuasaan dan menyimpangkan bangsa dari jalan Islam dan syariatnya. Setelah itu mereka menancapkan pondasi-pondasi penguasa Arab yang sekarang berkuasa.

Agar darah yang tertumpah dan kerja keras itu tidak hilang sia-sia, dan agar urusan kepemimpinan tidak diserahkan kepada selain ahlinya, maka pemetikan panen harus segera dilakukan. Sebab sebaik-baik biji adalah yang segera dipanen, karena di dalamnya terdapat maslahat besar kaitannya dengan meletakkan kemenangan di tangan orang-orang yang berhak menerimanya. Situasi saat ini cocok dengan permasalahan ini dan membuka lebar-lebar tempat bagi orang-orang yang dulu telah berkorban dan berinfak untuk mengambil posisi-posisinya sebelum orang lain, sebelum fenomena kaum oportunis merebak.

6. Menggulung Orang Yang Menjual Agama Dengan Mengatas Namakan Jihad

Di tengah krisis yang dialami kaum Muslimin Irak pasca Invasi, orang-orang yang hatinya berpenyakit dan mengikuti hawa nafsu muncul untuk berdendang dengan mengatasnamakan jihad. Mereka bergerak dalam rangka meraih segelintir harta benda dunia, uang dan jabatan. Maka mereka memanfaatkan kecemerlangan nama jihad dan Mujahidin di Irak untuk memperoleh harta, kekayaan dan pangkat di balik itu. Mereka berlindung di balik kedok pengakuan sebagai para pengikut jihad dan pemimpinnya, padahal jihad dan mujahidin berlepas diri dari mereka.

Tepat untuk kami katakan, bahwa mereka sama sekali tidak memberikan andil berarti dalam kenyataan di lapangan, sebab kapasitas mereka tidak sampai pada tingkat seorang anggota atau komandan. Namun bahaya yang mereka timbulkan tersimpan pada sikap buruknya membangga-banggakan jihad melalui tingkah laku yang tidak beradab dan bertanggung jawab. Bahkan ada di antara mereka yang mengklaim bertanggung jawab terhadap serangan-serangan militer yang sebenarnya ia sama sekali tidak memiliki ketarkaitan dengannya. Tetapi semua itu adalah bentuk rasa dengki, kejahatan dan penyimpangan hati mereka, la haula wa la quwwata illa billah.

Demikianlah apa yang bisa kami tulis dan rangkum –setelah menguras pikiran— kaitannya dengan faktor-faktor yang mendorong Mujahidin untuk mendeklarasikan Daulah mereka yang diberkahi. Semuanya merupakan gambaran akan langkah-langkah yang jelas dan prinsip bagi perjalanan ini, meskipun tidak menutup kemungkinan masih ada faktor lain yang kami tidak sempat menyebutkannya karena keterbatasan waktu dan tenaga.

Barangkali yang sudah disebutkan cukup untuk yang diperlukan. Hanya kepada Alloh kita bersandar, cukuplah Alloh bagi kita dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.

Tidak Boleh Ada Panji Lain Selain Panji Tauhid:

Prinsip penting yang dari sana beragam aktifitas dan program Majelis Syuro Mujahidin dimulai adalah sumber Manhaj yang Syar‘i dan haraki yang berpatokan kepada prinsip-prinsip baku di dalam Al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu, deklarasi Daulah Islam Irak tidak keluar dari prinsip-prinsip baku yang tegak di atas metode Dua Wahyu itu.

Ini artinya, manhaj yang menjadi landasan dibangunnya Daulah Islam yang baru lahir ini bukan manhaj rasionalistis yang menganut prinsip menggabungkan berbagai pemikiran dan pendapat yang kontradiktif satu sama lain, seperti halnya Majelis Parlemen Irak dan majelis parlemen di negara-negara lainnya yang berkutat dalam kubangan perselisihan dan perpecahan.

Adapun Daulah Islam bertitik tolak dari manhaj peraturan satu yang diatur oleh Syariat dan ditetapkan berdasarkan yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar‘i serta kaidah-kaidah populernya di kalangan Ulama.

Ini berarti, kita tidak boleh bergabung dan membentuk satu barisan dengan kelompok atau organisasi yang mengusung panji dan tujuan hidup menyelisihi tujuan Islam dan manhajnya, seperti kaum Komunis, Ba‘ath dan kelompok-kelompok ateis-sekuler lainnya. Atau dengan kelompok yang dikendalikan oleh orang-orang ateis-sekuler dan musyrik-paganis.

Kewajiban kaum Muslim dan para penganut tauhid adalah mengangkat panjinya sendiri, walaupun di bawah panji itu hanya ada satu orang. Dan hendaknya mereka menyatakan akidah sendiri dengan jelas, meskipun tidak memiliki pendukung sama sekali.

Sebab, syariat ini tidak menerima bentuk koalisi apapun yang di dalamnya tauhid dan syirik, iman dan kufur, disamaratakan. Sebab ketika itu pasti terjadi kompromi untuk meninggalkan sebagian kebenaran, setelah itu kita dituntut mendiamkan sebagian kebatilan, bahkan mendukung dan meninggikan menaranya. Kemudian pada akhirnya nanti keduanya pasti tetap akan berpisah juga. Sebab hal ini seperti lelaki yang menikahi wanita yang kedua-duanya sangat berambisi terhadap kekayaan pasangannya serta mewarisi hartanya, dalam kondisi kira-kira bagaimanakah bentuk kehidupan rumah tangganya? Tak diragukan lagi bahwa masing-masing akan membohongi pasangannya, berusaha mengkhianati harta bendanya, dan berharap ia mati sebelum dirinya. Bahkan bisa saja ia membunuhnya jika situasi memungkinkan, sehingga harta warisan bisa dia nikmati sendirian. Dan seperti inilah kebanyakan persatuan yang terjalin antara kelompok-kelompok Islam dengan kelompok lain yang lebih mengedepankan ediologi bertentangan dengan Islam. Kelompok ini ingin menyebar luaskan kekufuran agar ia dan komunitasnya tetap eksis, sementara orang-orang Islam bersemangat untuk menyebarkan Islam supaya basisnya bertambah luas. Masing-masing berusaha mengelabui dan mendahului yang lain, dan suatu saat pasti akan terjadi perpisahan. Dan betapa sering kaum Muslimin menjadi fihak yang dimanfaatkan serta menjadi “hewan tunggangan” bagi para penipu dari kelompok-kelompok kafir di dunia, yang lebih cekatan dalam hal menipu, bermanuver, dan berputar arah. Karena, bagi mereka tujuan itu membenarkan semua sarana, walaupun sarana itu buruk dan hina. Sifat khianat mengalir dalam darah mereka dengan mengatasnamakan aktifitas politk.

Maka dari itu, hendaknya kita berhati-hati, di samping panji tauhid jangan sampai kita angkat panji kesyirikan, kekafiran, paganisme dan ateisme. Dan jangan sampai kita menjadi “hewan tunggangan” para pengikut kebatilan sehingga mereka bisa sampai kepada kebatilan dan kebohongan mereka.

Tidak ada komentar: