taman kita

taman kita

Senin, 26 Januari 2009

Proklamasi Daulah Islam Irak 6 (terakhir)

PASAL IV

KEWAJIBAN MENDUKUNG DAULAH ISLAM

Syahdan … buku ini telah selesai ditulis melalui perasaan yang sangat mendalam, yang senantiasa memandang kepada realita dan berbagai realita yang ada di salah satu lapangan dari lapangan-lapangan yang paling panas di dunia ini. Sementara mata senantiasa melihat kepada realita tersebut setiap hari. Sedangkan harapan umat tergantung pada hasil dan kesudahan dari peristiwa-peristiwa tersebut. Dan setelah beberapa waktu dari pertempuran dan pertarungan melawan Zionis-Salibis internasional, mulai muncullah tanda-tanda kemenangan di ufuk kenyataan. Kemudian kemuliaan datang membawa kabar gembira berupa datangnya kejayaan dengan didirikannya sebuah Negara untuk kaum muslimin dan diangkatnya bendera mereka!!

Tetapi, ketika kebaikan itu datang, siapakah yang mampu meletakkannya di pangkuan sebuah Umat yang lemah dan terluka ini? Akankah muncul kembali sikap-sikap mundur dan lemah dalam membela kebenaran dan para pejuangnya, serta mengulurkan dengan tali-tali pertolongan dan rasa persaudaraan iman yang kuat?

Peperangan yang tengah berkecamuk sekarang ini tidak hanya sekedar masalah mengusir orang-orang Salib dan kaki tangan mereka saja. Akan tetapi peperangan pada hari ini medannya sangat luas yang tengah memikul tanggung jawab Negara Islam yang baru tumbuh, yang darinya muncul berbagai tugas dan tanggung jawab yang bermacam-macam dalam rangka menjalankan syariat Islam, amar makruf, nahi munkar, menebar keadilan dan kebaikan, melaksanakan hukum hudud, mengembalikan hak orang yang diambil secara zholim, mencegah tindakan dholim, membela orang-orang yang lemah, membagi kekayaan… dan mengurus kepentingan-kepentingan yang lainya.

Dan hendaknya setiap muslim mengetahui bahwasanya membela Islam dan muslimin dalam peperangan melawan bangsa Salib ini hukumnya adalah fardlu ‘ain bagi setiap muslim sesuai dengan apa yang dia mampu. Dalam Sunan Abu Dawud dan yang lainnya diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: Berjihadlah kalian melawan orang-orang musyrik dengan harta kalian, dengan jiwa kalian dan dengan lisan kalian.

Maka setiap muslim yang mampu untuk berjihad dengan salah satu dari macam-macam jihad tersebut, ia tidak diperkenankan untuk melakukan amalan yang lebih ringan sementara ia mampu untuk melakukan yang lebih tinggi tingkatannya. Dan meskipun jihad itu hukumnya telah fardlu ‘ain semenjak pertama kali jatuhnya Negara Islam ke tangan orang-orang kafir, yaitu Andalusia, namun kewajibannya pada hari ini lebih ditekankan lagi terhadap kaum muslimin, karena peperangan saat ini menyerang Islam pada setiap bidang kehidupan, sehingga sekarang ini Islam memerlukan benteng untuk berlindung dan untuk mengambil nafas. Sementara itu Daulah Islam baru saja berdiri, yang kemudian akan menancapkan akar-akarnya di kawasan timur tengah, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa-masa kejayaan dan kemuliaan Islam. Maka apabila kaum muslimin pada hari ini tidak mau mendukung agama mereka, dan memperlihatkan kepada Alloh peran baik mereka, dan bahwasanya mereka sanggup untuk mengorbankan nyawa mereka untuk Islam, dan mereka tidak akan menunda-nunda waktu untuk mengorbankan harta dan nyawa mereka untuk bangkit dan berdirinya Islam sekali lagi, lalu kapan lagi sikap yang seperti ini akan mereka tunjukkan!! Dan kapan lagi mereka akan bangkit melepaskan selimut kehinaan dan kelemahan, kemudian memikul susah payahnya meraih kemenangan.

Padahal tidak diragukan lagi Negara Islam yang baru lahir ini pasti akan diperangi. Dan desainer salibispun telah mengumumkan langkah-langkahnya untuk tidak akan memberikan peluang bagi setiap kekhilafahan yang hendak bangkit, dengan menyakiti dan menyerang orang-orang Islam. Akan tetapi Alloh Maha menang dalam segala yang ditetapkan-Nya. Sungguh Alloh telah memberikan kekuasaan kepada hamba-hamba-Nya yang berjihad, sehingga mereka dapat menenggelamkan perencanaan bangsa Salib ke dalam tanah, dan mereka memproklamasikan proyek baru mereka. Negara yang baru lahir ini telah mengetuk pintu, lalu bangun dari tidurnya. Sementara di hadapannya ada jalan panjang yang tidak mudah untuk ditempuh. Namun ini adalah pintu gerbang bagi harapan baru umat ini, kejayaannya yang datang, dan pedangnya yang terhunus untuk menebas leher musuh-musuhnya.

Maka, wahai pasukan Alloh… majulah!!! Wahai kaum muslimin bangkitlah kalian secara serempak untuk membela dan mempertahankan agama kalian. Dan ketahuilah bahwa Islam itu tidak akan berkuasa dan menang kecuali apabila Negaranya telah tegak, kekuatannya telah nampak lalu bertarung dengan kebatilan di medan tempur. Oleh karena itu setiap orang yang menyangka bahwa Islam itu dapat berkuasa dengan menggunakan kaset-kaset rekaman atau dengan buku-buku atau dengan dakwah atau dengan parlemen dan kertas-kertas suara, maka orang tersebut adalah orang yang bodoh yang tidak mengetahui bagaimana cara menegakan agama ini. Sesungguhnya agama ini tegak di atas tengkorak dan tulang-belulang para shahabat dan anak-anak mereka. Maka cepat atau lambat, pada akhir perjuangan kita pasti akan menghadapi kekafiran di medan pertempuran supaya Alloh memberikan kemenangan untuk agama ini. Karena sunnatulloh di muka bumi ini menuntut adanya pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, baik pertarungan budaya maupun pertarungan nilai dan akhlaq. Namun yang paling penting adalah pertarungan fisik di medan perang. Dan seandainya bukan karena pertarungan di medan perang — yakni jihad — itu adalah poros dari semua pertarungan yang berkecamuk antara kebenaran dan kebatilan tentu Alloh tidak akan membuat hukum-hukum dan keutamaan-keutamaan secara khusus untuk jihad. Tidak ada sebuah ibadah yang asal hukumnya adalah fardlu kifayah, yang memiliki keutamaan melebihi keutamaan jihad. Bahkan sering kali keutamaan ibadah jihad ini melebihi keutamaan ibadah-ibadah yang hukumnya fardlu ‘ain, yang mana ibadah-ibadah itu tidak akan syah kecuali dengannya. Hal ini merupakan dalil yang jelas yang menunjukkan bahwasanya umat ini tidak akan mendapatkan kejayaan kecuali di medan perang, tidak akan mendapatkan kejayaan kecuali dengan melaksanakan

ibadah jihad ini, dan tidak akan dapat berkuasa kecuali dengan memerangi kekafiran dan para penganutnya.

Dan jika kita perhatikan nash-nash syar’i, tentu kita akan dapatkan bahwa jihad adalah faktor utama tersebarnya Islam dan kejayaannya. Sehingga apabila kita meninggalkannya pasti semua bangsa akan mengeroyok kita. Dan pada saat orang-orang Salib sadar bahwa ibadah jihad ini mulai hidup kembali di dalam hati kaum muslimin, seluruh pasukan syetan pun bersatu dan berkumpul untuk mematikan ibadah jihad ini pada saat ia lahir.

Kondisi ini menuntut kaum muslimin agar mereka jangan bersikap sebagai penonton saja. Karena di sana telah ada sekelompok orang yang bangkit untuk meluruskan jalan di Irak yang datang untuk menjalankan syariat Alloh di sana, dan berusaha untuk membangun sebuah Negara yang dapat mewujudkan keamanan dan melawan musuh dari kalangan bangsa Salibis dan murtaddin serta kaki-tangan mereka yang lainnya. Dan kini telah terbuka peluang untuk memberikan bantuan kepada kelompok tersebut, apalagi di sana ada ikhwan-ikhwan yang telah hidup bersama mereka dan menyaksikan mereka sebagaimana menyaksikan mata hari. Dan bagi mereka yang tertinggal sejauh ribuan mil, janganlah mereka membiarkan kesaksian ini, dan jangan pula meninggalkan keterangan ini, serta jangan terus terombang-ambing dalam lautan analisa dan spekulasi-spekulasi strategi.

Sesungguhnya pertarungan babak baru telah dimulai, harapan-harapan besar telah lahir, berbagai mara-bahaya dan kesulitan tidak sedikit jumlahnya di tengah-tengah pertempuran yang dahsyat ini. Bukanlah termasuk sikap yang bijaksana atau cerdas atau logis atau sikap setia dengan membiarkan dan menutup-nutupi kesaksian dan penjelasan ini.

Harapan-harapan datang mengiringi kerja keras dan jihad … sedangkan balasannya sangatlah besar baik di dunia maupun di akherat, insya Alloh.

Barangsiapa gentar untuk mendaki gunung …

… niscaya ia akan hidup di antara lubang selama-lamanya …

Robb kita berfirman:

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), niscaya Kami segerakan baginya di dunia ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki, dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah beriman, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. Kepada masing-masing golongan baik golongan yang ini (yang menghendaki kehidupan dunia) maupun golongan yang itu (yang menghendaki kehidupan akherat) Kami berikan bantuan dari kemurahan Robbmu. Dan kemurahan Robbmu itu tidak dapat dihalangi. Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akherat itu lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. (QS. Al Isro’: 18-21)

Dahulu Syaikh ‘Abdulloh ‘Azzam mengatakan: “Saya heran terhadap orang yang diajak menuju sebuah pohon dan tanaman yang buahnya sudah masak dan telah tiba saat memetik, seperti proyek jihad dan penegakkan Islam di Afghanistan, lalu ia menjawab: Tidak, aku ingin kembali dan menanam tanaman di tanahku sendiri … Sementara tanahnya itu lembab dan asin, masih perlu untuk di olah kemudian dibajak kemudian ditanami kemudian ditunggu berbuah sampai datang waktu panen … Beliau rohimahuloh mengajak untuk memanen tanaman ini dengan buah-buahannya dan hasil-hasilnya, sementara yang satu lagi diperbaiki dan ditanami. Dan nampaknya keadaan akan seperti yang beliau katakan dan beliau inginkan. Semoga Alloh merahmati beliau.

Sekarang kami sampaikan seruan kami …

Pertama: Kepada para Ulama Islam yang jujur dan kepada para penuntut ilmu yang mengamalkan ilmunya. Di sini kami telah terangkan kepada kalian tentang situasi dan kondisi yang ada. Dan kini tengah ditunggu pikiran sehat dan fatwa yang tegas dari kalian… Ini adalah amanah di pundak kalian. Karena umat ini tengah tenggelam dalam lautan kehancuran dan kedholiman, sedangkan Negara Islam ini menurut pandangan kami adalah bahtera penyelamat … lalu apa peran kalian dalam menghadapi bencana yang sangat besar ini? Inilah petunjuk yang Alloh berikan kepada kami, lalu kamipun mengucapkannya berdasarkan apa yang kami ketahui tentang kondisi kami, dan berdasarkan dalil-dalil syar’i yang Alloh tunjukkan kepada kami. Jika kami benar maka jelaskanlah kepada kami dan berdirilah bersama kami … namun jika kami salah maka terangkanlah kepada kami dan kembalikanlah kami kepada yang benar berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Hujjah kami atas kalian telah tegak karena kami sudah menyampaikannya kepada kalian. Ya Alloh saksikanlah … ya Alloh saksikanlah …

Kedua: Kepada gerakan-gerakan Islam dan kepada seluruh da’i … saya katakan kepada kalian apa yang telah dikatakan oleh Syaikh ‘Abdulloh ‘Azzam rohimahulloh: “Selama 70 tahun kalian mengajak orang untuk mendirikan Negara Islam, dan kalian coba semua cara baik yang salah maupun yang benar … kalian berbicara kepada kami tentang qo’idah sholabah (wilayah aman yang kuat) yang kalian bina dan kalian jadikan tempat titik bertolak .. dan kalian telah coba segala macam cara sampai jihad dengan senjata, dakwah, sabar, penjara dan yang paling akhir — wa hasbunalloh wani’mal wakil — kalian coba jalan-jalan yang penuh kompromi, cara-cara parlemen dan kesesatan-kesesatan penguasa dengan segala apa yang kalian lakukan sebagai konsekuensi yang muncul dari cara-cara tersebut … Inilah hujjah Alloh telah tegak kepada kalian … inilah bumi Irak, sekarang telah siap untuk sebuah proyek Islam yang besar, dan kami tidak perlu untuk menjelaskan secara panjang lebar tentang wilayah geografi kami yang strategis, ia berada di jantung kawasan yang panas (timur tengah), dengan segala yang tersedia di dalamnya berupa berbagai kekayaan dan sumberdaya yang dapat menjamin dibukanya kawasan ini menuju kawasan Islam yang besar.

Selain itu semua kelompok jihad di Irak telah memiliki banyak keahlian dan pengetahuan di bidang militer dan organisasi yang dapat membantu mendorong roda menuju kekuasaan dan kehidupan Islam di bawah sebuah Negara yang penuh berkah. Ini adalah kesempatan bagi semua orang yang berjuang untuk memetik hasil dari segala jerih payah dalam membangun sebuah Al-Qo’idah Islamiyah Ash Sholabah (wilayah Islam yang kokoh) di kawasan timur tengah, yang benar-benar akan menjadi titik konsentrasi awal untuk merealisasikan berbagai tujuan syariat dan aqidah dalam Islam.

Ketiga: Kepada para pemuda Islam dan orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan. Inilah problem kita pada jaman ini, Negara Islam yang kita tunggu-tunggu dan kewajiban jihad fi sabilillah … tidak perlu minta ijin kepada siapapun untuk melaksanakannya, baik itu bapak, ibu, orang yang engkau berhutang kepadanya, syaikh, komandan maupun pemimpin … Karena untuk melaksanakan kewajiban dari Alloh itu tidak perlu meminta ijin kepada hamba-Nya. Alloh ta’ala berfirman:

Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (Al Baqoroh: 166)

Wahai para pemuda Islam, wahai ikhwan-ikhwan penyebar dakwah, kebenaran dan iman … marilah berhijroh, marilah berhijroh … marilah berjihad, marilah berjihad. Kerena hujjah Alloh telah tegak atas kalian, maka perlihatkanlah dari kalian apa yang Alloh cintai dan Alloh ridloi.

Di hadapan kalian telah terbuka tempat-tempat ribath (berjaga di perbatasan) dan jihad, dan jika kalian mau di hadapan kalian terhampar tempat-tempat syuhada’ … dan tidaklah kalian berkehendak kecuali atas kehendak Alloh, kepada-Nyalah hendaknya semua orang bertaqwa dan hanya Dialah yang berhak memberikan ampunan, dan di sini kami telah sampaikan kepada kalian, ya Alloh saksikanlah.

Keempat: Dan kepada orang yang telah berhijroh bersama kami, saling bahu-membahu dan tolong-menolong bersama kami, melaksanakan ribath (berjaga di perbatasan) dan berjihad bersama kami … di wilayah Irak yang pernuh berkah ini … kabar gembira untuk kalian wahai pemuda Islam, selamat atas perdagangan menguntungkan yang telah kalian lakukan … selamat atas Negara baru kalian. Inilah masa-masa yang dahulu kalian tunggu-tunggu. Sementara sebelumnya kalian telah termasuk dalam kategori orang-orang yang Alloh ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:

Di antara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Alloh; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu, dan mereka sama sekali tidak merobah (janjinya). (QS. Al Ahzab: 23)

Akan tetapi saya ingatkan kepada diri saya sendiri dan kepada kalian untuk mempersiapkan perjalanan yang panjang … untuk menghadapi kerja keras dan susahnya hijroh, serta ujian yang berat … maka berbekallah dengan kebenaran dan kesabaran, dan sesungguhnya bekal yang paling baik itu adalah taqwa … sesungguhnya kita sekarang tengah berada pada awal perjalanan … sementara musuh telah memanah kita dari satu busur, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani, Rofidloh (Syi’ah), orang-orang murtad, orang-orang munafiq, berbagai kekuatan besar dan semua gelombang kejahatan saling beriringan… di hadapan kita ada peperangan, bahkan banyak peperangan yang mirip dengan perang Ahzab, sebagaimana firman Alloh ta’ala:

Ketika mereka mendatangi kalian dari arah atas dan dari arah bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan kalian dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kalian menyangka terhadap Alloh dengan bermacam-macam sangkaan. Di sanalah orang-orang beriman diuji dan digoncangkan dengan goncangan yang sangat keras. (Al Ahzab: 10-11)

Namun aku tidak melihatnya kecuali sebagai tahun-tahun berat yang terakhir, yang setelahnya akan ada kemudahan dari Alloh, insya Alloh.

Dan sungguh Kami akan menguji kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al Baqoroh: 155)

Dan ini adalah tanda permulaan untuk sesuatu yang menggembirakan yang datang dari Alloh ta’ala:

Sehingga tatkala para Rosul telah berputus asa dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah pertolongan Kami kepada para Rosul itu, lalu diselamatkanlah orang-orang yang Kami kehendaki. Dan siksa Kami tidak dapat ditolak dari pada orang-orang yang berdosa. (Yusuf: 10)

Kelima: Kepada kelompok-kelompok jihad di bumi Irak. Setelah ini tidak ada udzur lagi bagi kalian untuk berlambat-lambat dalam bersatu dan berkumpul. Karena alasan-alasan kalian telah sirna dan matahari telah bersinar di siang bolong. Di dalam buku-buku sejarah disebutkan kisah kaum muslimin di Andalusia, bahwasanya setelah 400 tahun Andalusia ditaklukkan, dan dibangun dengan kebudayaan Islam yang cemerlang, bangsa Nasrani berkumpul untuk menyerang kaum muslimin. Mereka menyatukan kekuatan mereka lalu mengusir kaum muslimin dari banyak wilayah di Andalusia. Lalu mereka mengepung wilayah Andalusia yang paling terkenal, yakni pemerintahan Cordoba. Mereka mempersiapkan sebuah pertempuran yang dahsyat yang akan menentukan siapa yang akan berkuasa apakah Islam di Andalusia, ataukah Salib. Pada waktu itu yang memimpin kota Cordoba adalah Ibnu ‘Ibad, seorang petempur, penyair dan ahli bahasa yang terkenal, termasuk Raja yang cerdas di kalangan Raja-Raja Andalusia. Lalu ia mengumpulkan Ahlusy syuro dan meminta pendapat mereka untuk meminta bantuan kepada Daulah Al-Murobithin di wilayah Maroko dan Afrika Utara.

Ketika itu yang menjadi Amirul Mukminin di sana adalah seorang Raja yang sholih dan mujahid, yaitu Yusuf bin Tasyfin. Kemudian mayoritas dari para penasehatnya memberi saran untuk tidak mendatangkan mereka, karena mereka — yakni Al-Murobithin — itu datang dari negeri padang pasir yang miskin, sehingga apabila mereka melihat negeri Andalusia dan berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya, setelah mereka dapat mengusir kaum Nasrani, mereka akan merampas kerajaan Bani ‘Ibad lalu menguasai Andalusia dan menggabungkannya dengan kerajaan mereka. Dan Ahlu `sy-Syuro-nya itu menyarankan kepadanya lebih baik ia berdamai saja dengan kaum Nasrani dan membikin mereka senang, daripada mempertaruhkan kerajaannya ke tangan kaum Murobithin meskipun kaum Murobithin itu orang-orang Islam … Setelah ia mendengar dari para penasehatnya yang hadir, ia mengatakan kepada mereka: “Saya akan berfikir malam ini dan saya akan pertimbangkan keputusanku.” … Kemudian pada hari berikutnya ia mengumpulkan para penasehatnya kembali, lalu mereka bertanya kepadanya: “Apa pendapatmu wahai Raja.” Ia menjawab: “Setelah saya pikir-pikir, saya berpendapat bahwasanya lebih baik menjadi penggembala unta daripada menjadi penggembala babi. Setelah itu saya jadikan kata-kata ini sebagai perumpamaan.” Ia melanjutkan: “Lebih baik menjadi penggembala unta daripada penggembala babi, artinya, jika aku ditangkap oleh orang-orang Murobithin dan mereka jadikan aku sebagai budak, jika mereka merampas kerajaanku maka paling banter saya akan disuruh menjadi penggembala unta sebagai budak orang Islam. Dan jangan sampai aku ditangkap oleh orang-orang Nasrani, karena jika mereka merampas kerajaanku, aku akan menjadi budak mereka untuk menggembala babi milik para penyembah Salib … maka bagi orang yang memiliki akal dan iman pasti akan lebih memilih jadi penggembala unta daripada menjadi penggembala babi.”

Maka di sini saya katakan kepada ikhwan-ikhwan yang menyebarkan berbagai syubhat (pandangan-pandangan keliru) dan alasan, bahwa kami di sini, di Irak, di sebuah Negara Islam yang menghendaki untuk menjalankan syariat Islam, di sebuah kelompok dari orang-orang Islam yang baik; Jika Negara mereka musnah lalu datang para penyembah salib dan orang-orang murtad, maka yang akan terjadi adalah pembantaian, atau pengusiran yang kemudian terpencarnya kaum muslimin di muka bumi, atau tunduk dan ruku’ kepada program-program kaum Salib.

Maka apakah sama antara kalian berada dalam kondisi yang paling buruk bersama kaum muslimin yang pada mereka ada berbagai penilaian negatif yang kalian lihat dan kalian sebar-luaskan, namun kalian dapat berjihad bersama mereka dan hidup berdampingan dengan mereka, melaksanakan amar makruf dan nahi munkar sesuai dengan kemampuan yang kalian miliki, dan antara kalian berada dalam kekuasaan bangsa Salib dan golongannya… Demi Alloh tidak sama antara keduanya, karena menjadi penggembala unta itu lebih baik daripada menjadi penggembala babi …

Kemudian di dalam riwayat sejarah disebutkan: Bahwasanya Ibnu ‘Ibad meminta batuan kepada Ibnu Tasyfin, yang mana beliau itu adalah seorang Raja yang Mujahid, yang umurnya lebih dari tujuh-puluh tahun. Ketika itu ia memerintahkan para pasukannya untuk mengikatkan dirinya pada kudanya supaya ia tidak terjatuh darinya karena umurnya yang sudah tua renta. Maka berkumpullah pasukan Maghrib dari bangsa Murobithin dengan pasukan Andalusia, maka terjadilah perang Az-Zalaqoh yang terkenal itu … kemudian Alloh ta’ala memberikan kemenangan kepada orang-orang Islam dan menceraiberaikan pasukan Salib, kemudian Andalusia hidup dalam kekuasaan Islam selama 400 tahun lagi … Lalu Ibnu Tasyfin meninggalkan medan perang dan bersumpah di hadapan pasukannya untuk tidak mengambil ghonimah (harta rampasan perang) sedikitpun…

Inilah kesudahan orang yang berfikir sesuai dengan petunjuk Islam dan akalnya. Maka iapun mengatakan: “Menjadi penggembala unta itu lebih baik daripada menjadi penggembala babi.”

Maka saya katakan kepada ikhwan-ikhwanku, semoga Alloh meneguhkan mereka di atas kebenaran, dan semoga Alloh menunjuki langkah kami dan langkah mereka, serta membantu kami untuk memperjuangkannya … Saya katakan: Semoga Alloh tidak mengijinkan dan tidak mentaqdirkan Negara Islam ini hancur, tapi jika Negara Islam ini hancur, lalu datang orang-orang najis itu, kemudian berdirilah proyek orang-orang Salib dan antek-antek mereka, maka kalian serta-merta akan terusir ke tempat-tempat pengungsian yang hina, menakutkan dan tempat kelaparan di muka bumi. Ketika itulah kalian akan teringat dengan perkataan Ummu ‘Abdillah Kecil:

Menangislah seperti kaum wanita, terhadap kerajaan …

… yang tidak engkau jaga sebagaimana kaum laki-laki …

Sedangkan kami — hanya Allohlah yang membimbing kami — yang menjadi petunjuk bagi kami adalah firman Alloh ta’ala yang berbunyi:

Dan jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan. (Al Anfal: 72)

… dan firman Alloh ta’ala yang berbunyi:

Maka berperanglah kamu di jalan Alloh, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Dan kobarkanlah semangat orang-orang beriman (untuk berperang). Mudah-mudahan Alloh menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Alloh itu amat besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya). (An Nisa’: 84)

Sedangkan suri tauladan kita adalah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Beliau mendakwahkan agama Alloh, dan bersabar ketika dalam kondisi-kondisi yang memerlukan kesabaran, beliau melaksanakan amar makruf, nahi munkar, memperhatikan kebodohan orang-orang bodoh dan orang-orang yang baru masuk Islam. Beliau mengatur umatnya dengan syariat yang paling bijaksana dan hukum yang paling masuk akal, serta berdasarkan pemahaman terhadap kondisi realita. Dan beliau lah yang bersabda:

Aku diperintahkan untuk berbicara kepada manusia sesuai dengan kadar akal mereka. Semoga Alloh melimpahkan sholawat serta salam kepada beliau. Kemudian beliau dilanjutkan oleh Khulafa-ur Rosyidin yang mana mereka itu bersikap seperti itu pula, sampai masa salaf kita yang sholih … Maka muncullah di antara mereka ulama’-ulama’ Islam yang memperjuangkan Islam.

Keenam: Wahai penduduk Irak yang mulia, sungguh Alloh telah menganugerahkan kepada kalian dengan anugerah umur dan kesempatan. Karena Negara Islam Irak ini, yang merupakan benteng Islam, telah dibangun di negeri kalian dan tumbuh dalam asuhan kalian. Maka tunjukkanlah kepada Robb kalian sikap yang baik dari diri kalian. Karena Negara Islam Irak ini adalah tempat berlindung kalian setelah kalian berada dalam siksaan dan keterombang-ambingan selama bertahun-tahun. Telah berlalu masa kejayaan partai Ba’ats dan para thoghut modern dari kalangan orang-orang Salib dan orang-orang Murtad, mereka saling berbenturan satu sama lain, sebelum akhirnya pilar-pilar mereka tumbang, sementara kekuatan mereka telah runtuh dan persendian mereka telah copot, atas karunia Alloh. Maka bangkitlah kalian untuk berbai’at kepada Negara Islam Irak, dan nyatakanlah loyalitas kalian kepada syariat Islam yang suci, kokohkanlah pilar-pilar Islam yang luas, dukunglah saudara-saudara kalian yang berjihad dan bantulah mereka untuk menjalankan proyek mereka yang baik, satukanlah barisan kalian di belakang mereka, ulurkanlah tangan kalian kepada tangan mereka, untuk membela Islam, untuk membatu kebenaran dan orang-orang yang memperjuangkannya. Alloh ta’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian. (Al Baqoroh: 20 8)

Dan Alloh ta’ala berfirman:

Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al Maidah: 2)

Wahai orang-orang Islam yang mulia, inilah bendera yang senantiasa kalian cita-citakan. Inilah Negara Islam yang senantiasa kalian angan-angankan. Waspadalah dan waspadalah agar jangan sampai kalian bersikap lambat untuk berbai’at dan membela. Takutlah kalian kepada Alloh ta’ala atas diri kalian. Janganlah kalian bermaksiat kepada-Nya dengan enggan untuk membela dan dengan menterlantarkan para pejuang Islam dengan tanpa memberikan bantuan maupun dukungan. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa mati sementara di atas pundaknya tidak ada ikatan bai’at maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.

… dalam riwayat lain menggunakan lafadh:

… ia mati dalam salah satu cabang kemunafikan.

Dan beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

Bagi seorang muslim wajib untuk mendengar dan taat (kepada pimpinan) dalam perkara yang ia cintai maupun yang ia benci, kecuali jika ia diperintah melakukan maksiat. Apabila ia diperintahkan berbuat maksiat maka tidak ada sikap mendengar maupun taat.

Dan Mujasyi’ rodliyallohu ‘anhu berkata: “Saya datang kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersama saudaraku, lalu aku berkata kepada beliau: Aku berbai’at untu melakukan hijroh. Maka beliau bersabda: Hijroh telah berlalu bagi pelakunya. Maka aku bertanya kepada beliau: Lalu engkau bai’at untuk apa kami? Beliau menjawab: Untuk Islam dan jihad.

Dan apa yang telah kami terangkan di muka adalah apa yang kami pandang sesuai dengan yang dhohir dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salaf, dan yang selaras dengan aqidah para ulama’. Oleh karena itu, sesungguhnya berbagai aliran dengan berbagai macam arah keyakinan dan gerakan mereka dalam memahami Al Khilafah, Al Imamah dan Al Bai’ah itu berada di antara dua pemahaman ekstrim yang berseberangan, dan satu kelompok lagi berada di tengah-tengah. Satu kelompok memiliki pemahaman yang berlebihan sehingga mereka memandang untuk tidak melaksanakan sejumlah syariat Islam yang jelas, seperti sholat jum’at, sholat jama’ah dan jihad, kecuali bersama dengan imam yang ditunggu-tunggu. Karenanya mereka tidak melaksanakan agama Alloh yang dhohir dan meninggalkan apa yang Alloh wajibkan kepada mereka. Dan mereka menjadikan seluruh ajaran Islam ini berporos kepada imamah. Kelompok yang memiliki pemahaman semacam ini adalah seperti Rofidloh (Syi’ah), dan jama’ah-jama’ah yang mengikuti langkah mereka serta memiliki sikap seperti mereka atau mirip seperti mereka. Sehingga mereka hendak menegakkan khilafah dengan tanpa kekuatan yang akhirnya mereka menjadi bahan tertawaan orang-orang yang berakal[11]. Satu kelompok lagi mereka tidak memperdulikannya sama sekali, mereka mengabaikan perkara-perkara tersebut dengan menggunakan takwilan-takwilan yang rusak dalam memahami nash-nash yang datang dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dua kelompok ekstrim ini masing-masing adalah kelompok yang tercela. Sedangkan manhaj kami … insya Alloh kami bersikap mengajak kepada ajaran Alloh berdasarkan bashiroh (pemahaman), melaksanakan amar makruf, nahi munkar, bersikap tulus kepada Alloh, kepada Rosul-Nya, kepada para pemimpin kaum muslimin dan kepada kaum muslimin secara keseluruhan, kami bersabar menerima gangguan dari kaum muslimin, kami taat kepada yang makruf, kami berpaling dari yang munkar dan kami memberikan dorongan semangat kepada orang-orang beriman untuk berperang, kemudian kami berusaha untuk berdiri bersama mereka mati-matian, untuk melawan agresor yang

menyerang umat Islam ini.

[11] Salah satu jama’ah ini ialah kelompok yang telah kalah sebelum berperang yakni hizb at-tahrir al-bathil -ed.

Dan sebagai penutup… Sesungguhnya aku tidak mendapatkan kata-kata yang dapat saya sampaikan kepada mukhidzilun (orang-orang yang suka melemahkan semangat) dan munhazimun (orang-orang yang kalah mental) dari umat ini, kecuali kata-kata yang diucapkan oleh Ibnul Jauzi kepada kaum muslimin tatkala perang salib ke-2 dilancarkan kepada bumi kaum muslimin dan kaum salibis memasuki pinggiran-pinggiran negeri kaum muslimin. Pada saat itulah Ibnul Jauzi berbicara di hadapan manusia dengan kata-kata yang sangat menyentuh, yang mana pada hari ini kita sangat membutuhkan kepada khutbah yang seperti ini. Di sini saya akan menukilnya karena kesesuaiannya dengan kondisi realita kita.

Tatkala kaum salib menyerang negeri kaum muslimin beliau berkhotbah di Masjid Jami’ Al Umawi di Damaskus. Beliau berkata:

“Wahai manusia, mengapakah kalian lupakan agama kalian?

Mengapakah kalian menanggalkan harga diri kalian?

Mengapa kalian tidak mau menolong agama Alloh sehingga Allohpun tidak menolong kalian?

Kalian kira harga diri (‘izzah) itu milik orang musyrik, padahal Alloh telah jadikan harga

diri itu milik Alloh, Rosul-Nya dan orang-orang beriman.

Celaka kalian! Tidakkah pedih dan terluka hati kalian melihat musuh Alloh dan musuh kalian menyerang tanah air kalian yang telah disirami oleh bapak-bapak kalian dengan darah. Musuh menghina dan memperbudak kalian, padahal kalian dulu adalah para pemimpin dunia. Tidakkah hati kalian bergetar dan emosi kalian meledak menyaksikan saudara-saudara kalian dikepung dan disiksa dengan berbagai siksaan oleh musuh?

Apakah kalian hanya akan makan minum dan bernikmat-nikmat dengan kelezatan hidup, sementara saudara-saudara kalian di sana berselimutkan jilatan api, bergelut dengan kobarannya dan tidur di atas bara?

Wahai manusia! Sungguh perang suci telah dimulai, penyeru jihad telah memanggil, pintu-pintu langit telah terbuka. Jika kalian tidak mau menjadi pasukan perang, bukalah jalan untuk kaum wanita agar mereka bisa berperang; pergi saja kalian dan ambillah jilbab dan celak mata … wahai wanita-wanita bersorban dan berjenggot!

Jika tidak, pergilah mengambil kuda-kuda, inilah dia tali kekangnya untuk kalian… Wahai manusia, tahukah kalian dari apa tali kendali dan kekang ini dibuat?

Kaum wanita telah memintalnya dari rambut mereka karena mereka tidak lagi punya apa-apa selain itu. Demi Alloh, ini adalah gelungan rambut wanita-wanita pingitan yang belum pernah tersentuh oleh sinar matahari karena mereka sangat menjaga dan melindunginya; mereka terpaksa memotongnya karena zaman bercinta sudah selesai dan babak perang suci telah dimulai, babak baru perang di jalan Alloh kemudian dalam rangka membela negeri dan kehormatan.

Jika kalian masih tidak sanggup mengendalikan kuda, ambil saja tali kekang ini dan jadikanlah sebagai kucir dan gelung rambut kalian, sebab tali kekang itu terbuat dari rambut wanita, sungguh berarti tidak ada lagi perasaan dalam diri kalian.”

Setelah itu, Ibnul Jauzi melempar tali kekang itu dari atas mimbar di hadapan khalayak ramai seraya berteriak lantang:

“Bergeraklah wahai tiang-tiang masjid, retaklah wahai bebatuan, dan terbakarlah wahai hati, sungguh hati ini sakit dan terbakar, para lelaki telah menanggalkan kejantanan mereka.”

Semoga Alloh merahmatimu wahai Ibnul Jauzi. Jika kepada orang-orang yang kekuasaannya telah mencapai Andalusia dan negeri para syuhada’ saja engkau mengatakan seperti ini, lalu apa kiranya yang akan engkau katakan kepada kami? Dan akan engkau sebut apa kami ini jika engkau melihat keadaan kami pada hari ini? Dan akhir kata dari kami, segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam. Dan sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Sang Nabi ummi, kepada keluarga dan sahabatnya.

Proklamasi Daulah Islam Irak 5

PASAL III

TUDUHAN-TUDUHAN YANG AKAN KAMI TERIMA DAN JAWABANNYA

Setelah kita membahas faktor dan sebab yang dijadikan pijakan berdirinya Daulah Islam, mengkaji berbagai kondisi dan situasi yang tengah terjadi saat ini, setelah mengkajinya berulang-ulang dan mengupasnya secara detail, kemudian merenungkan situasi umumnya yang ditimbang berdasarkan timbangan kemaslahatan yang dikehendaki, dan dikupas berdasarkan rambu-rambu syar’i yang mulia, dan dengan memperhatikan kaidah-kaidah, tujuan-tujuan dan kemaslahatan-kemaslahatannya yang telah dipahami, maka hasil yang ditunggu-tunggu adalah bahwa bersinarnya bumi Irak dengan kelahiran sebuah Daulah Islam yang tengah tumbuh berkembang.

Hasil ini mungkin akan membuat gembira banyak kalangan, namun mungkin sebagian lagi justeru bersemangat membuka mulut lebar-lebar; melontarkan berbagai tuduhan dan menegakkan bendera-bendera permusuhan dengan mendebat dan membantah secara batil.

Orang-orang pengecut menganggap kelemahan sebagai sikap yang santun…

… padahal itu tipuan perangai yang hina …

Padahal mayoritas penjelasan kami pada pasal sebelumnya tidak keluar dari kumpulan sekian fakta yang sangat jelas dan tersebar dari belahan timur dan barat Irak, yang mana tidak ada yang menentangnya kecuali orang yang tidak punya mata, tidak ada yang membantahnya kecuali orang yang hanya ingin menimbulkan pertengkaran dan kerusuhan secara membabibuta. Orang semacam ini persis dengan yang dikatakan dalam pepatah:

Kadang mata tidak dapat melihat cahaya matahari lantaran ia sakit …

Dan mulut itu juga terkadang tidak dapat merasakan air lantaran sakit …

Namun, dada kami senantiasa lapang menghadapi apapun kata orang dan apapun yang tersebar di masyarakat mengenai persoalan yang pasti akan sirna dalam keagungan dan kemuliaannya. Pembicaraan mengenai permasalahan tersebut, meskipun lebih berat daripada menempuh perjalanan di atas padang pasir dan memecah batu karang, namun ini harus dilakukan, sementara situasi dan kenyataan tidak memberikan kesempatan seorang pun untuk mengulur-ulur waktu. Begitu pula sejarah, ia tidak mau membukakan pintunya kecuali kepada orang yang mau mengetuknya. Musuh pun tidak mau berbelas kasihan, para pendengki bertebaran di sepanjang jalan dan di setiap persimpangan, padahal menyampaikan penjelasan itu merupakan kewajiban syar’i dan mitsaq robbani (janji yang Alloh ambil dari para pembawa kebenaran –penerj.) yang mana orang yang mengembannya tidak dapat melarikan diri dari kenyataan tersebut, dan tidak pula akan dapat meloloskan diri dari amanat tersebut.

Alloh ta‘ala berfirman:

Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kalian menyembunyikannya.” (Ali ‘Imron: 187)

Oleh karena itu, saya di sini memaparkan beberapa diskusi yang muncul seputar proklamasi Daulah Islam Irak, yang secara sungguh-sungguh saya berusaha untuk menyingkap kerancuan dan kesamaran yang mungkin muncul dalam benak orang dan memecah-belah hati mereka. Maka saya katakan: Ya Alloh, Robbnya Malaikat Jibril dan Mikail, pencipta langit dan bumi, yang mengetahui hal-hal yang ghaib dan hal-hal yang nyata, Engkau yang memutuskan perkara pada perselisihan yang terjadi antara hamba-hamba-Mu, Tunjukilah aku mana yang benar pada perkara-perkara yang mereka perselisihkan atas ijin dari-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.

Prinsip utama bagi setiap Muslim yang melakukan kajian adalah mengembalikan semua perselisihan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Alloh ta‘ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (Nya), serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh dan Rosul, jika kalian benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa’: 59)

Mengembalikan perkara kepada Alloh dan Rosul artinya mengembalikannya kepada Kitabulloh dan Rosul ketika beliau masih hidup, dan kepada hadits yang diriwayatkan dari beliau ketika beliau sudah wafat. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Qotadah dalam menjelaskan firman Alloh yang berbunyi:

Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya… mengatakan: “Hal itu lebih utama pahalanya dan lebih baik akibatnya.” (Atsar ini diriwayatkan Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir).

Maka, yang menjadi penentu kebenaran pemahaman adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Dan supaya penentuan itu dapat diambil secara benar, haruslah dilakukan berdasarkan pengetahuan yang menyeluruh dan sempurna, bukan berdasarkan pengetahuan yang bersifat parsial dan sempit. Karena semua kesalahan dalam masalah ushul (prinsip) maupun dalam masalah furu’ (cabang) sumbernya adalah tidak adanya pengetahuan, atau ada pengetahuan tetapi parsial, atau mendudukkan pengetahuan tersebut tidak sesuai dengan maksud yang sebenarnya. Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, tentang memahami titah Sang Pembuat Syari’at (yakni lafadh Al-Qur’an –penerj.): “Titah tersebut tidak boleh dipahami dengan pemahaman yang tidak terkandung di dalamnya, tidak boleh pula mempersempit pemahaman dan maksud petunjuk dan penjelasan yang ada di dalamnya. Ini timbul bisa disebabkan karena meremehkannya, berpaling darinya kepada kesesatan, dan berpaling dari kebenaran yang hanya diketahui oleh Alloh hingga sejauh mana penyimpangan itu. Bahkan buruknya pemahaman terhadap nash-nash yang datang dari Alloh dan Rosul-Nya merupakan sumber munculnya semua ajaran bid’ah dan sesat yang tumbuh dalam Islam. Lebih dari itu, itu merupakan sumber segala kesalahan yang terjadi pada perkara ushul maupun furu’, apalagi jika ditambah dengan niat buruk yang sejalan dengan pemahaman buruk pada orang yang diikuti dalam beberapa perkara, padahal orang yang diikuti memiliki niat yang baik sementara orang yang mengikuti itu memiliki niat yang buruk. Ini merupakan bencana yang menimpa Islam dan penganutnya. Dan hanya kepada Alloh saja kita memohon pertolongan.” (Ar-Ruh I/63).

Maka Ahlus Sunnah adalah manusia paling beruntung dalam hal mendapat kebenaran, karena mereka memadukan nash-nash syar’i dengan pema-haman salaf, sehingga mereka mendapat kebenaran.

Oleh karena itu, setiap sikap menentang Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber dari segala kekacauan dan kerancuan, sama saja penentangan itu secara total maupun secara parsial. Dan setiap orang yang menentang Al-Qur’an dan Sunnah itu terkena firman Alloh Ta‘ala yang berbunyi:

Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah ia ikuti itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)

Al-Hasan(Al-Bashri) berkata: “Tidak ada satu kaum pun yang meninggalkan kebenaran

kecuali urusan mereka pasti kacau dan rancu.”

Di antara persoalan yang banyak mendapat sambutan dan juga banyak mendapat penentangan hari ini adalah isu Daulah Islam, sejauh mana ia disyari’atkan dan sejauh mana kebenarannya.

Untuk mengkaji persoalan ini kita perlu memandang dua hal. Pertama adalah pemahaman yang benar terhadap kondisi realita, dan kedua adalah bagaimana mendudukkan kondisi realita ini sesuai dengan syar’i. Inilah yang kami harapkan telah kami lakukan dalam kajian ini.

Hanya kepada Alloh sajalah kami memohon pertolongan dan hanya kepada-Nya pulalah kami bertawakal. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Alloh.

A. Wajibnya Bersatu Di Bawah Bendera Kebenaran Dengan Satu Pemimpin.

Berbagai nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan atas wajibnya bersatu dan haramnya berpecah-belah dan berselisih. Alloh ta‘ala berfirman:

Dan berpeganglah kalian kepada tali Alloh, dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Alloh kepada kalian ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Alloh mempersatukan hati kalian, maka berkat nikmat Alloh, kalian menjadi orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Alloh menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk. (QS. Ali ‘Imron: 103)

Ibnu Jarir dengan sanadnya meriwayatkan dari ‘Abdulloh ibn Mas‘ud rodliyallohu ‘anhu, ia berkata: “Wahai manusia, hendaknya kalian mentaati pemimpin dan berjamaah. Karena itu merupakan tali Alloh yang Dia perintahkan. Dan sesungguhnya apa yang kalian benci dalam berjamaah dan taat itu lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam perpecahan.”

Sedangkan Muslim meriwayatkan dalam Shohih-nya, dari hadits Abu Huroiroh rodliyallohu ‘anhu, yang berbunyi:

Sesungguhnya Alloh senang terhadap kalian pada tiga hal dan murka terhadap kalian pada tiga hal. Alloh senang terhadapap kalian jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, kalian berpegang dengan tali Alloh secara keseluruhan dan tidak berpecah-belah, dan kalian setia terhadap orang yang Alloh jadikan pemimpin buat kalian … (Al Hadits).

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Tiga hal ini menghimpun prinsip dan kaidah ajaran Islam, menghimpun hak-hak Alloh dan hak-hak hamba-hamba-Nya, serta mengandung pengaturan mashlahat dunia akherat.” (Majmu’ Al Fatawa : I/18).

Beliau rohimahulloh berkata lagi: “Alloh Ta‘ala berfirman:

Dan berpeganglah kalian kepada tali Alloh, dan janganlah kalian bercerai berai… ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tali Alloh di sini adalah Islam, ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah janji-Nya, ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perintah-Nya, dan ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah jama’ah muslimin. Semua perkataan ini adalah benar.” Sampai di sini perkataan Ibnu Taimiyah.

Semua perkataan tersebut benar karena semuanya termasuk dalam katagori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan variatif), bukan ikhtilafut tadlod (perbedaan kontradiktif). Dalil lain yang menunjukkan wajibnya bersatu adalah perintah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk mengangkat pemimpin ketika bepergian, karena tidak adanya pemimpin dalam sebuah perkumpulan menjadi penyebab munculnya perpecahan.

Perintah mengangkat pemimpin merupakan perintah untuk bersatu. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya, dari hadits ‘Abdulloh bin ‘Amru, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak halal tiga orang berada di padang sahara kecuali mereka mengangkat salah seorang sebagai pemimpin.” (Al Hadits)

Dan hadits-hadits lain yang memerintahkan untuk mengangkat pemimpin dalam safar. Ibnu Taimiyah rohimahulloh berkata: “Wajib diketahui bahwa mengangkat pemimpin yang mengurusi urusan manusia termasuk kewajiban paling besar dalam Dinul Islam. Bahkan urusan Din dan dunia tidak akan beres kecuali dengan kepemimpinan, karena semua maslahat manusia tidak sempurna kecuali jika mereka bersatu dalam sebuah jamaah, sementara ketika mereka berkumpul mereka harus mengangkat seorang pemimpin. Sang Pembuat Syariat mewajibkan bersatu dalam perkumpulan yang sedikit yang bersifat insidental, sebagai sebuah peringatan terhadap semua jenis perkumpulan.”

Sementara itu urusan jihad, amar ma’ruf nahi munkar, menjalankan hukum di kalangan manusia dan bersatu untuk melaksanakan semua itu serta mengangkat seorang pemimpim untuk kepentingan tersebut adalah kemaslahatan yang paling ditekankan, paling sempurna dan paling wajib. Kewajiban seorang Imam mengurusi semua urusan ini lebih ditekankan daripada atas wajibnya mengangkat imam itu sendiri. wallohu a’lam.

Oleh karena itu, bendera kebenaran yang dijadikan pijakan berkumpulnya sisi tauhidnya, kejelasannya dan bergabungnya umat di sekelilingnya, merupakan salah satu tujuan syariat Islam. Bahkan Sang Pembuat Syariat menjadikan kesempurnaan urusan jihad, amar ma’ruf, nahi munkar dan dakwah, tergantung padanya.

Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Huroiroh rodliyallohu ‘anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah lalu ia mati, maka ia mati dalam kematian jahiliyah. Dan barangsiapa berperang di bawah bendera ‘amiyyah, ia marah untuk golongannya, menyeru kepada golongannya atau membela kepentingan golongannya lalu ia terbunuh, maka ia terbunuh dengan cara jahiliyah.” (Al Hadits)

Yang dimaksud dengan bendera adalah tujuan. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘amiyyah diterangkan di dalam kitab An Nihayah: “’Amiyyah kata yang berwazan Fa’ilah yang berasal dari kata al ‘ama’ yang berarti sesat. Dalam kasus peperangan adalah seperti peperangan yang dilakukan untuk suatu golongan dan hawa nafsu. Menurut riwayat sebagian ulama’ lain huruf ‘ain-nya berharokat dhommah (dibaca: ‘umyah). Di antaranya hadits yang diriwayatkan dari jalur Az-Zubair, berbunyi: … supaya kita tidak mati secara ‘umyah …(Al Hadits) Artinya adalah mati dalam kesesatan dan kebodohan.” (An Nihayah III/304).

Termasuk kategori ini adalah setiap orang yang berperang untuk negara, suku, bangsa atau ideologi jahiliyah, apapun, baik klasik maupun modern. Atas dasar itu, jika ada seorang Imam yang sah yang diangkat di bawah bendera kebenaran, dengan suatu jamaah dan kekuatan, wajib berbai’at kepadanya dan wajib melaksanakan kewajiban syar’i.

Namun jika belum ada pemimpin yang semacam itu, wajib bagi umat ini atau bagi sekelompok dari umat ini mengadakan kekuatan dengan cara bersatu di bawah bendera kebenaran, lalu mengangkat seorang pemimpin padanya. Jika mereka tidak melakukan hal itu maka mereka berdosa, karena ini adalah sebuah tuntutan dari hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu ‘Umar rodliyallohu ‘anhuma, ia berkata: Aku telah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan ia akan berjumpa dengan Alloh pada hari qiyamat dalam keadaan tidak memiliki alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka ia mati secara jahiliah.”

B. Syubuhat: Anggapan-Anggapan Keliru

1- Mungkin akan ada yang mengatakan: Daulah (Negara) yang kalian proklamasikan masih memerlukan pengesahan syar’i. Sebab ia tidak memiliki unsur pokok untuk bisa disebut sebagai sebuah Negara, yaitu wilayah. Dengan demikian, dalam hal ini kalian menyelisih Sunnah Nabi kalian yang menegakkan Negara setelah beliau menguasai sebuah wilayah dan memiliki kekuatan di Madinah, dan ini merupakan wilayah yang jelas dan memiliki perbatasan. Sementara kami melihat kalian tidak memiliki perbatasan yang jelas dan tidak menampakkan diri secara jelas sebagaimana umumnya negara-negara di zaman sekarang?

Kami jawab: Benar wilayah merupakan unsur politis utama berdirinya sebuah negara, itu merupakan pilar yang di atasnya dibangun definisi sebuah negara. Akan tetapi definisi yang masih rancu dan kacau adalah definisi berkuasa atas suatu wilayah; sejauh manakah suatu kondisi bisa disebut telah menguasai wilayah atau tidak?

Persoalan ini kembali kepada bagaimana menyikapi realita. Sementara kalau kita berbicara tentang wilayah geografis yang dikuasai sebuah kelompok tertentu, ini sangat berkaitan dengan kekuatan dan kekuasaan kelompok tersebut yang terbentang di wilayah tadi.

Untuk memperjelas, kami lontarkan lagi sebuah pemikiran … Dalam situasi ketika berbagai kekuatan memiliki intervensi, dan munculnya berbagai metode baru dan beragam untuk mewujudkan dan menunjukkan sebuah kekuatan, menjadikan pembahasan definisi kekuasaan berdasarkan pengertian konvensional adalah suatu kekeliruan dalam memandang sebuah realita. Karena peperangan yang terjadi sekarang ini mulai memberikan sebuah kesimpulan bahwa metode klasik mengobarkan peperangan tanpa konfrontasi terbuka dan barisan yang terorganisir secara konvensional tidak dapat menampakkan pertempuran yang tengah berlangsung secara nyata. Selanjutnya, tidak akan menampakkan hakekat hasil dan kemenangan dari peperangan tersebut.

Bukti yang paling nyata dalam hal ini adalah perang gerilya yang terjadi pada masa sekarang, yang telah melemahkan berbagai kekuatan pasukan reguler modern, khususnya perang gerilya yang dilancarkan mujahidin yang telah menciptakan berbagai metode baru. Kalau kita perhatikan, kita akan melihat secara jelas bahwa menurut pandangan militer, pasukan gerilya itu adalah pasukan yang menentukan kapan terjadinya pertempuran. Oleh karena itu, kesuksesannya tergantung daya kejut dalam melakukan penyerangan, yang kental dengan berbagai taktik hit and run yang telah direncanakan. Hal itu menjadikan pasukan gerilya memiliki kebebasan selebar-lebarnya dalam bergerak, menguasai, memukul, berpindah, berkumpul dan berlindung.

Dengan melihat kepada realita baru ini, kita akan dapatkan sebuah intervensi yang jelas dalam mendefinisi ungkapan “berkuasa atas suatu wilayah!!” Misalnya, siapa yang menentukan bahwa negara Si A itu telah menguasai wilayahnya atau tidak? Perlu dimengerti, bahwa kita melihat banyak negara yang mengalami kekacauan dan instabilitas namun negara itu tetaplah dianggap negara dalam pandangan masyarakat.

Contoh yang paling dekat dengan apa yang kami katakan ini adalah negara-negara tetangga Negara Yahudi Israel. Sepengetahuan kita, negara-negara tersebut secara hukum internasional dinamakan sebagai negara, namun demikian kita lihat negara-negara tersebut sampai jantung kotanya berada dalam ancaman persenjataan udara Israel yang tidak akan memberikan kesempatan sedikit pun negara-negara tersebut untuk merasa aman dan mengendalikan kekuasaannya dalam keadaan yang aman di dalam wilayahnya sendiri.

Selain itu kita juga yakin bahwa Israel mampu untuk menyerang target apapun dan kapanpun yang diinginkannya pada negara-negara tersebut. Artinya, dalam istilah militer negara-negara yang bertetanggaan dengan Israel tersebut berada dalam ancaman dari serangan udara. Hal ini menyebabkan kekuasaan negara-negara tersebut terhadap wilayahnya masing-masing menjadi kurang dan tidak sempurna.

Selain itu, kita dapat tambahkan lagi pada kondisi semacam ini dengan berbagai unsur lain yang bercokol dan mengintervensi kekuasaan semu tersebut. Misalnya adalah satelit buatan yang sekarang ini digunakan negara-negara besar pada skala yang luas tanpa menghormati kedaulatan dan kekuasaan semu negara-negara lain atas wilayahnya. Dengan demikian mayoritas negara-negara di dunia ini tidak memiliki kekuatan hakiki, dan pada hakekatnya tunduk kepada kekuasaan dan kekuatan negara-negara besar.

Selanjutnya, kedaulatannegara-negara tersebut tidak sempurna dan memiliki kadar berbeda-beda tingkatannya. Akan tetapi sampai batas manakah ketidak sempurnaan kedaulatan dapat ditolerir sehingga dengan kekuasan sebuah kelompok dapat kita sebut sebagai sebuah negara. Ini memerlukan dalil dan bukti. Lebih dari itu, fakta-fakta mengenai negara-negara di dunia sekarang ini memberikan berbagai contoh aneh seputar definisi kekuasaan. Ambillah contoh misalnya pemerintahan Palestina sekarang yang dibentuk Hamas, dan pemerintahan sebelumnya, lalu dengan definisi kekuasaan seperti ini bandingkanlah sejauh mana pemerintahan tersebut melaksanakan kedaulatan di atas wilayahnya, dan berapa banyak rakyat yang secara riil berada di bawah kekuasaannya, untuk dapat disebut sebagai sebuah negara menurut masyarakat internasional? Kita juga telah melihat pada dua periode (sekarang dan sebelumnya), terjadi berbagai tindakan brutal Israel untuk meluluhlantakkan kedaulatan pemerintahan Palestina. Israel menculik para menteri yang secara politis mewakili pemerintahan Palestina, dari rumah-rumah mereka.

Namun demikian pemerintahan Palestina tetap dianggap sebagai sebuah pemerintahan oleh

manusia.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah apa yang disebut pemerintahan Irak sekarang ini. Ini adalah sebutan untuk komunitas kecil dengan wilayah sempit dan kekuatan lemah. Saya tidak hanya katakan pemerintahan tersebut tidak memiliki kekuasaan, bahkan tidak memiliki eksistensi di banyak wilayah Irak. Bahkan di Baghdad sendiri yang nota bene adalah ibu kota pemerintahan semu itu, sekarang tengah berada dalam masa-masa kritis dan mencengangkan sehingga sangat jauh dari jangkauan control kekuasaan tentara salibis dan penguasa murtad. Hanya tersisa sebuah “kandang kotor” yang ditempati para tokoh dan politikus di pemerintahan, namanya adalah wilayah Zona Hijau –semoga seluruhnya Alloh naungi dengan warna hitam.

Dari sisi lain, keadaanlah yang menetapkan identitasnya sendiri. Di muka, pada awal pasal sebelumnya, telah kami sampaikan bahwasanya unsur vital dalam menegakkan sebuah Negara adalah kekuasaan. Lalu sampai batas manakah dapat kita katakan bahwasannya seseorang itu dapat dikatakan berkuasa atau tidak.

Selain itu juga harus diperhatikan bahwasanya tidak ada satu nash syar’i pun baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah maupun perkataan salaf yang menetapkan luas wilayah tertentu untuk dapat didirikan di atasnya sebuah Negara. Dengan demikian orang-orang yang memanggul senjata dan menampakkannya di hadapan orang banyak, berarti mereka telah menguasai tanah yang mereka pijak, meskipun ada orang selain mereka membawa senjata tapi tidak menampakkannya dan berdiri di tanah yang sama.

Akan tetapi yang dapat dipahami, kekuasaan orang yang pertama tersebut berlaku karena kekuatannya nampak, sementara yang lain tidak karena ia tidak berkuasa dan berdiri secara kokoh di tanah tersebut.

Untuk memperjelas permasalahan ini saya berikan sebuah contoh yang paling dekat sebagai dalil, sebagai sebuah gambaran. Yaitu tatkala Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memasuki kota Madinah, dan beliau mendirikan sebuah Negara Islam yag pertama kali di sana, pada waktu itu kekuasaan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam atas wilayahnya tidak seperti kekuasaan yang dipahami banyak orang yang hidup di negara-negara jaman sekarang. Kemudian bersamaan dengan dimulainya periode baru hidup dalam sebuah negara, para pengikut dakwah Islam mungkin tidak mencapai jumlah mayoritas di kota Madinah. Ketika itu di sana ada orang-orang Munafiq, ada orang-orang Yahudi dan ada juga orang-orang yang menunggu akhir dari semuanya. Mereka semua, sebagaimana yang dapat kita simpulkan dari berbagai referensi sejarah adalah orang-orang yang bersenjata, yang berasal dari penduduk Madinah dan sekelilingnya. Khususnya adalah orang-orang Yahudi yang membentuk sebuah komunitas terpisah mengelola sistem militer dan sistem kebudayaan yang terpisah di kota Madinah. Namun demikian hal itu tidak menjadi penghalang untuk diproklamasikannya Negara Islam di bumi Madinah, padahal ia hanyalah sebuah wilayah kecil dibanding dengan luasnya semenanjung Arab. Artinya, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memproklamasikan negaranya dalam batasan wilayah yang sempit, yang di atasnya tinggal sekelompok orang yang memiliki loyalotas dan dukungan berbeda-beda teradap Negara yang sedang tumbuh tersebut. Di antara mereka ada yang hatinya memusuhi negara tersebut, seperti orang-orang Munafiq dan orang-orang Yahudi.

Dan di antara mereka ada yang ragu-ragu tidak menentukan sikapnya. Dan di antara mereka ada yang simpati. Dan di antara mereka ada yang loyal dan mendukung. Semua lapisan masyarakat ini ada di sebuah wilayah kecil yang secara pasti mereka bersenjata.

Namun demikian, keadaan yang baru seperti ini tetap dinamakan sebagai Negara Islam yang pertama. Kenyataan ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya (XII/272), dari Abul ‘Aliyah, ia berkata:

“Setelah mendapat wahyu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tinggal di Mekah selama 10 tahun, di mana beliau dan para sahabat beliau berdakwah secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan dalam keadaan takut. Kemudian beliau diperintahkan untuk hijroh ke Madinah. Dan mereka di sana selalu dalam keadaan takut sehingga pagi dan sore mereka membawa senjata. Lalu ada seseorang yang berkata kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam: Wahai Rosululloh, tidakkah akan tiba saatnya di mana kita merasa aman dan meletakkan senjata kita? Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menjawab:

“Tidak akan lama lagi salah seorang di antara kalian akan duduk dengan memeluk kedua kakinya di tengah-tengah orang banyak sedangkan tidak ada besi yang ada padanya. Lalu turunlah ayat ini, dan Alloh memenangkan Nabinya di semenanjung Arab, dan merekapun meletakkan senjata dan merasa aman.”

Ini di antara yang memperkuat bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau yang mulia itu tidak sepenuhnya merasa aman pada periode awal di Madinah. Akan tetapi mereka senantiasa membawa senjata dengan perasaan takut. Artinya, kekuasaan mereka di masyarakat Madinah pada awalnya tidaklah sempurna, namun demikian ia tetap disebut sebagai Negara Islam atas kesepakatan para ulama’. Lebih dari itu, Negara tersebut pada pertumbuhannya yang pertama menghadapi berbagai goncangan yang dahsyat, berupa berbagai pertempuran pada periode awal yang melibatkan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Pada perang Ahzab, musuh-musuh Islam membuat sebuah aliansi untuk menyerang Madinah dari segala penjuru dan mengepungnya seperti pagar yang kokoh, sampai-sampai perkampungan-perkampungan Yahudi keluar dari kekuasaan Islam.

Alloh ta’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Alloh (yang telah dikurniakan) kepada kalian ketika datang kepada kalian tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kalian melihatnya. Dan adalah Alloh Maha Melihat apa yang kalian kerjakan. (Yaitu) ketika mereka datang kepada kalian dari atas dan dari bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan kalian, dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan, dan kalian menyangka terhadap Alloh dengan bermacam-macam persangkaan. Di situlah diuji orang-orang beriman dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat kuat. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: “Alloh dan Rosul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya”. Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: “Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian, maka kembalilah kalian”. Dan sebagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata: “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaganya)”. Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak lari. (Al Ahzab: 9-13)

Lalu bagaimana halnya dengan para mujahidin di bumi Irak, sementara ini Alloh telah menganugerahi mereka untuk menguasai wilayah yang luasnya berkali-kali lipat dibandingkan dengan luas Madinah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Ambillah contoh Propinsi Al-Anbar, wilayah kaum Sunni yang terbesar. Di dalamnya terdapat berbagai kota dan berbagai instalasi umum yang fital, jelas ini lebih besar daripada wilayah yang dikenal dengan Negara Lebanon atau Pemerintahan Palestina terpilih —sebagaimana anggapan mereka—. Dan semua orang baik yang dekat maupun yang jauh tahu bahwa Propinsi ini berada di bawah kekuasaan Mujahidin. Apalagi ditambah dengan sejumlah wilayah Irak yang tidak dapat dianggap enteng, yang berada di bawah kendali dan kekuasaan Mujahidin.

Permasalahan ini jelas dan tidak dapat diragukan lagi. Sementara unsur wilayah, jika ini kita anggap sebagai unsur utama untuk berdirinya sebuah Negara, lebih dari mencukupi untuk berdirinya sebuah Negara Islam di bumi Irak. Dan bukti dalam realitas nyatanya atas apa yang kami katakan ini adalah apa yang dapat anda lihat di sana dan bukan di dalam lembaran-lembaran buku ini. Dan tidak ada bukti yang lebih jelas atas hal itu selain persatuan semu antara Nuri Al-Maliki dengan sejumlah orang murtad dari beberapa suku di wilayah Al-Anbar untuk menyerang kekuasaan Mujahidin yang kokoh di Propinsi tersebut.

Begitu pula pernyataan seorang Jenderal Amerika yang megatakan bahwa pasukan Amerika telah kehilangan kekuasaannya di Al-Anbar, dan bahwasanya Al-Qo’idah telah berusaha untuk mengisi kekosongan politik di Propinsi tersebut. Semua fakta ini tidak dapat dibantah lagi dan semuanya memperkuat apa yang kami katakan, serta membantah semua keraguan yang dihembuskan seputar berdirinya sebuah Negara Baru ini.

2- Mungkin akan ada lagi yang mengatakan: Negara kalian yang kalian proklamasikan itu masih memerlukan pengesahan secara syar’i, sebab ia didirikan ketika penjajah yang menyerang wilayah tersebut masih ada. Seandainya kalian menunggu sampai penjajah itu hengkang dari Irak kemudian baru kalian melaksanakan keinginan kalian, tentu hal itu lebih layak dan lebih pantas untuk diterima!

Kami jawab: Ada atau tidaknya penjajah tidak mempengaruhi hukum syar’i sehingga menghalangi berdiri atau tidaknya sebuah Daulah Islam. Persoalan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan berdiri atau tidaknya sebuah Negara menurut pandangan syar’i. Akan tetapi kerancuan itu muncul dari sebuah pemikiran bahwa keberadaan penjajah itu akan mengakibatkan hilangnya kedaulatan dan kekuasaan yang senantiasa didengungdengungkan dalam pembahasan ini. Dan kami senantiasa katakan bahwasanya kedaulatan adalah dasar dan unsur yang paling utama untuk berdirinya sebuah Negara. Namun apabila masih dapat dibayangkan bahwa bisa saja pada suatu kondisi kekuasaan sekelompok orang Islam dapat berlaku dan kekuatan mereka di wilayah tersebut terjamin meski di sana masih ada penjajah, tentu — atas ijin Alloh — kerancuan tersebut akan hilang. Sedangkan dalam pandangan saya, sesungguhnya pemahaman yang kontradiktif semacam ini tersusupi oleh pemahan batil terhadap hakekat berdirinya Negara Islam. Mungkin orang yang menentang berdirinya Negara Islam tersebut mempunyai anggapan bahwa syarat untuk sebuah Negara itu adalah harus ditegakkan di wilayah Irak secara keseluruhan dalam satu waktu.

Anggapan ini tidaklah benar, dan tidak berlandaskan prinsip syari’at dan kaidah fikih sama sekali. Akan tetapi ini hanyalah murni pemahaman keliru yang telah menancap dalam benak selama bertahun-tahun sejak berlakunya batas-batas geografis yang dibuat oleh Sikyes-Piscot[8], sedangkan batasan-batasan tersebut bukanlah batasan-batasan yang ditetapkan dan diwajibkan oleh syari’at.

[8] Kesepakatan Skyes-Piscot adalah kesepakatan rahasia yang berlangsung pada tahun 1334 H ketika perang dunia pertama antara Inggris dan Prancis, atas persetujuan Rusia untuk memecah-belah Daulah ‘Utsmaniyah dan membagi daerah-daerah yang tunduk di bawah kekuasaan ‘Utsmaniyah — yaitu Suriah, Irak, Lebanon dan Palestina — ke daerah-daerah yang tunduk kepada kekuasaan Prancis, sedangkan yang lainnya tunduk kepada kekuasaan Inggris. Kesepakatan tersebut dinamakan dengan nama tersebut karena dinisbatkan kepada pelakunya yaitu Marlk Skyes orang inggris dan George Piscot. –penerj.

Dengan demikian untuk terwujudnya sebuah Negara tidaklah disyaratkan harus didirikan di wilayah Irak secara keseluruhan, yang batasannya ditetapkan oleh hasil kesepakatan yang batil. Bahkan sebaliknya, syariat mengarahkan agar beramal sesuai dengan kemampuan dan kesempatan dalam berbagai urusannya, sesuai dengan kaidah fikih yang mengatakan: tidak ada taklif kecuali yang mampu dikerjakan. Lalu dari sana kita dapat menyempurnakannya — dengan memperluas kekuasaan dan kedaulatan Negara — pada wilayah Irak lainnya, setelah situasinya siap dan sempurna. Meskipun Irak itu telah dijajah oleh kekuatan asing yang menyerangnya, namun atas karunia Alloh kekuatan tersebut tidak dapat menguasai wilayah Irak secara keseluruhan. Dan berkat kerja keras yang penuh berkah, yang dilakukan oleh Mujahidin, mereka mampu menyingkirkan dominasi kekuasaan musuh dari banyak wilayah Irak. Dan seringkali musuh dihancurkan dan dikalahkan di dalam kamp-kamp padang pasir mereka yang jauh. Mungkin terkadang mereka hendak berusaha menunjukkan eksistensinya dengan melakukan patroli udara atau dengan melakukan penggerebekan pada malam hari, padahal pekerjaan semacam itu adalah pekerjaan yang tidak mustahil untuk dilakukan di wilayah bumi manapun. Meskipun di Madinah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sekalipun, yang selalu mendapat ancaman serangan dan sergapan malam dari patroli-patroli musuh. Kesimpulannya, sesungguhnya sebagian besar dari wilayah Irak telah kembali kepada para pemiliknya, dan Negara Islam yang dicita-citakan itu didirikan di wilayah-wilayah yang secara mutlak atau hampir mutlak telah berada dalam kekuasaan mujahidin.

Di sisi lain, kami telah jelaskan dalam pembahasan tentang faktor-faktor politik berdirinya Negara Islam Irak, dan bahwasannya langkah pendirian Negara Islam itu merupakan satu langkah konfrontasi politik dalam rangka mengusir musuh yang selama bertahun-tahun telah menyerang Islam. Karena proklamasi Negara Islam akan menimbulkan dampak politik yang besar terhadap musuh, sehingga akan lebih mendorong musuh untuk menarik langkah militernya di Negara Irak, dan mempercepat hancurnya kekuatannya atas ijin Alloh, dan dengan keluarnya mereka dari bumi Irak yang baik ini akan membuka peluang hasil-hasil yang sesuai dengan tujuan besar dari Jihad dan Islam.

Dalam keadaan seperti ini, mereka akan terhimpit di bawah tekanan Negara Islam dan politik militernya. Seandainya penegakan Negara Islam itu kita undur, hal itu akan membuka peluang bagi kaum salibis untuk menentukan progran dan pengendaliannya sesuai dengan keinginan mereka dan sesuai dengan kepentingan mereka, dan yang akan menjadi andalan utama mereka dalam membuat perencanaan tersebut adalah makar dan membuat perangkap, terhadap kemungkinan berdirinya Negara Islam setelah mereka hengkang dari Irak. Artinya, mereka tidak akan hengkang dari Irak sebelum mereka memasang makar yang akan memusnahkan buah dari segala bentuk perjuangan Islam yang penuh berkah ini. Dan jika kita menunggu sampai hal itu terjadi, maka berarti kita telah memberikan peluang kepada musuh untuk membuat perencanaan dengan tenang dan santai. Dan peluang inilah yang telah disingkirkan oleh Negara Islam yang telah diprolamasikan pada bulan yang mulia ini, semoga Alloh dengan kekuatan-Nya berkenan untuk menyempurnakan bangunannya dan memperkokoh pilar-pilarnya, amin. Pandangan keliru semacam ini muncul dari anggapan bahwa Irak itu statusnya adalah dar ul-harbi wa l-qital (negara yang diperangi) sehingga tidak memungkinkan untuk diangkat seorang imam di sana kemudian menyeru semua orang untuk berbai’at kepadanya. Untuk semakin memperjelas persoalan ini kita katakan bahwa disyaratkannya negara tersebut haruslah Negara Islam yang berkuasa penuh dan terbebas dari penjajah, adalah sebuah syarat yang memerlukan kepada dalil. Karena di dalam hadits shohih dari ‘Aisyah rodliyallohu ‘anha, dalam kisah Bariroh, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Segala syarat yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an itu batil.”

Sementara itu sebagian orang yang menyangkal terhadap diproklamasikannya Negara Islam Irak ini menyinggung tentang kebebasan kemudian memahami kebebasan itu dengan status negara tersebut sebagai Daru Harbin (Negara yang diperangi) yang menunjukkan bahwa orang tersebut menentang secara asal dan mengklaim paham tentang apa yang tidak ia mengerti. Kami tidak tahu dari mana asal pensyaratan untuk mengangkat imam dan menegakkan khilafah itu harus tidak ada musuh di dalam Negara tersebut,

Katakanlah: Datangkanlah alasan kalian jikan orang-orang yang benar. Justru yang dilaksanakan oleh kaum muslimin sejak dahulu adalah tidak melarang penegakkan khilafah meskipun hal itu dilakukan sebelum memiliki kekuatan secara sempurna, kemudian kekuatan itu bertambah sempurna sedikit demi sedikit. Selain itu juga tidak ada sebuah riwayatpun dari seorang ulama’pun yang menyatakan batalnya kepemimpinan lantaran lemahnya kekuatan yang dimiliki, dan dalam hal ini dalilnya banyak.

Oleh karena itu, keberadaan penjajah dan keberadaan sekelompok orang yang berjihad yang mengalahkan dan memerangi penjajah tersebut, adalah di antara persoalan yang memperkuat pengangkatan seorang imam dan wajib bagi semua kelompok perang agar berbai’at kepadanya. Dan kewajiban ini semakin diperkuat dengan adanya kekuatan yang dimiliki oleh orang-orang yang berperang tersebut dan para pemuka suku, selain adanya kekuasaan untuk berlakunya syariat Alloh di beberapa wilayah dan menganjurkan orang-orang yang tinggal di wilayah-wilayah tersebut untuk melaksanakan kebenaran. Kemudian, kalau toh kita katakan bahwa Negara tersebut adalah Darul Harbi (Negara yang diperangi), dan tidak ada Negara kuat yang dijadikan untuk berkumpul di dalamnya, ini berarti kita meninggalkan syariat Alloh sementara kita memiliki kekuatan. Kemudian, sesungguhnya permasalahan Negara itu adalah permasalahan yang diperselisihkan dikalangan berbagai madzhab fikih dalam hal pelaksanaan hukum hudud di Darul Harbi (Negara yang diperangi), dan perbedaan hukum yang berlaku di Darul Harbi dan Darul Islam, maka bagaimana halnya dengan masalah kepemimpinan yang hukumnya adalah fardlu ‘ain bagi umat dan bagi kelompok yang di dalamnya dilaksanakan hukum hudud dan syariat dilaksanakan secara sempurna dan benar. Di dalam kitab Takhrijul Furu’ ‘Alal Ushul dikatakan: “Permasalahan-permasalahan yang ada dalam dua negara yang berbeda status.

Yang saya maksud dengan dua negara yang berbeda satus adalah Darul Islam dan Darul Harbi. Dalam hal ini menurut Asy-Syafi’i rodliyallohu ‘anhu tidak ada perbedaan hukum, dan beliau beralasan bahwa sesungguhnya semua Negara, wilayah dan tempat itu tidak ada hukumnya baik Darul Baghyi maupun Darul Harbi , akan tetapi hukum itu hanyalah hak Alloh dan dakwah Islam itu berlaku umum bagi orang-orang kafir baik mereka itu tinggal di wilayah mereka atau di tempat yang lain. Sedangkan menurut Abu Hanifah rodliyallohu ‘anhu, dua negara yang berbeda status itu memiliki hukum yang berbeda pula. Dalam hal ini beliau beralasan bahwa sesungguhnya dua negara yang berbeda, baik secara hakekat maupun secara hukum adalah seperti kematian, yang mana kematian itu memutuskan kepemilikan. Demikian pula perbedaan antara dua negara yang statusnya berbeda.”

Ini semua mengenai Darul Harbi yang mana kekuatan dikuasai orang-orang kafir, sementara orang-orang Islam yang tinggal di sana posisinya adalah mumtani’un (mempertahankan diri dengan kekuatan) dan menyerang orang-orang kafir, atau berada di bawah kekuasaan orang-orang kafir dan diberi jaminan keamanan oleh orang-orang kafir.

Semua ini tidak sama dengan kondisi yang terjadi di Irak pada hari ini. Pada hari ini Irak bukanlah Darul Kufri Al Ashliyyah (Negara kafir asli yang sebelumnya belum pernah dikuasai Islam), akan tetapi Irak adalah Negara yang sebelumnya Negara Islam kemudian menjadi Negara kafir lantaran dikuasai oleh orang-orang murtad dan setelah itu masuk ke dalamnya penjajah dengan diiringi oleh pembelaan dan dukungan[9].

[9] Pada awal-nya Irak adalah negara Islam karena bagian dari kekhilafaan Islam dan tegak-nya syariat di negara tersebut, kemudian menjadi negara kafir karena terjajah oleh inggris kemudian oleh kaum ba’ats yang murtad dari islam, kemudian pada masa sekarang kembali di jajah oleh aliansi salibis dan pemerintah murtad yang menjalankan sistem demokrasi yang syirik dan hukum positif yang kafir-ed.

Sementara orang-orang murtad tersebut kekuasaannya tidak berjalan dan kekuatannya telah hancur — atas karunia Alloh —, bahkan hampir bisa dikatakan hanya ada di zona hijau itupun dalam keadaan terjepit. Sementara Daulah Islam Irak telah berhasil melumpuhkan kekuatan para pendukung mereka dari kalangan kepolisian maupun yang lainnya di berbagai wilayah di Irak. Sedangkan penjajah tidak mendapatkan peluang untuk berkuasa dan menjalankan kebijaksanaannya kecuali melalui orang-orang murtad tersebut, padahal anda tahu sendiri kondisi mereka.

Dengan demikian, tidak seluruh wilayah Irak itu Darul Harbi yang tidak dapat ditegakkan syariat Alloh di dalamnya dari segala sisinya, bahkan banyak di wilayah Daulah Islam Irak yang kondisinya lebih aman daripada kondisi Daulah Islam pertama yang dipimpin oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pada waktu perang Ahzab.

Oleh karena itu, jika hukum thoghut tidak berlaku di kalangan rakyat, selain itu mereka juga tidak mendapatkan orang yang memerintah mereka dengan syariat Alloh di negeri tersebut, maka apakah diperbolehkan bagi umat ini dan bagi orang-orang yang memiliki kekuatan di kalangan umat ini untuk membiarkan rakyat tanpa ada kekuasaan dan tanpa ada pemimpin yang memimpin mereka dengan syariat Alloh. Karena kekuatan itu ada, tidak sebagaimana kondisi orang yang mati, meskipun juga tidak sempurna dari segala sisinya.

Oleh karena itu, kalangan madzhab Hanafi berpendapat tidak wajib melaksanakan hukum hudud di Darul Harbi lantaran tidak berlakunya kekuasaan pemimpin di sana. Di dalam kitab Al Bahrur Ro-iq (V/1 8) dikatakan: “Karena yang menjadi tujuan adalah supaya orang itu jera, sementara kekuasaan pemimpin di sana tidak berlaku, dengan demikian wajibnya pelaksanaan hukum hudud itu tidak ada gunanya.” Ini persoalan tentang pelaksanaan hukum hudud, menurut mereka kekuasaan pemimpin tidak berlaku di Darul Harbi lantaran tidak berlakunya kekuatan mereka di sana, tidak sebagaimana orang yang memiliki pasukan yang banyak, dan pengikut serta pendukung yang lebih banyak lagi.

Maka manfaatnya tidaklah hilang dengan adanya seorang pemimpin, justru keberadan pemimpin ketika itu mutlak diperlukan, dan mengangkat seorang pemimpin ketika dalam kondisi seperti ini hukumnya wajib bagi umat ini. Dan benarnya menilai hukum sesuatu itu merupakan cabang dari benarnya pemahaman, maka camkanlah hal ini.

3- Mungkin akan ada lagi yang mengatakan: Negara yang kalian proklamasikan itu tidak menggambarkan sebagai sebuah Negara, sebab kewajiban pertama bagi sebuah negara itu adalah menjaga keamanan dan mengadakan sarana-sarana keamanan. Sedangkan kalian bisa lihat sendiri banyak wilayah yang tidak aman, bahkan kalian sendiri masih menghadapi ancaman dari berbagai serangan yang dahsyat dari kaum salibis, dan masih menggunakan tak tik hit and run. Lalu bagaimana kalian bisa dengan enak berbicara tentang Negara Islam!!

Kami jawab: Memang keamanan yang kalian sebut-sebut itu masih belum terwujud semenjak masuknya pasukan salib ke bumi Irak. Dan semua orang tahu tentang kegagalan umum yang terjadi di negeri Irak, yang mengakibatkan porak-porandanya semua instalasi fital. Sehingga dalam hal ini yang paling bertanggung jawab atas hilangnya kondisi aman adalah para agresor salibis dan orang-orang murtad yang menjadi kaki tangannya.

Perkara ini telah kami singgung dalam pembahasan tentang sebab-sebab dan faktorfaktor yang mendorong berdirinya Negara Islam Irak, yaitu bahwasanya para mujahidin telah berusaha dengan segenap kemampuan mereka untuk membendung bencana ini semenjak dimulainya jihad. Pekerjaan-pekerjaan dan proyek-proyek mereka dalam hal ini sangatlah berfariasi sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.

Dalam banyak kesempatan, berbagai wilayah mujahidin berubah menjadi medan tempur sebenarnya dan sangat dahsyat, sehingga tentunya hukum-hukum yang berlaku ketika dalam kondisi perang berbeda dengan hukum-hukum yang berlaku ketika dalam kondisi aman. Namun demikian para mujahidin berjalan sesuai dengan apa yang mereka rencanakan dalam membantu penduduk setempat dan mewujudkan keamanan sesuai dengan kemampuan mereka. Dan mereka bekerja keras untuk menghadang berbagai bentuk kejahatan dan kedholiman, Sampai-sampai jika terjadi permasalahan, rakyat mencari-cari mujahidin untuk memutuskan perkara di antara mereka, dan berlindung kepada para mujahidin tatkala mereka khawatir terhadap suatu mara bahaya. Hal itu mendorong para mujahidin untuk membentuk dewan-dewan pengadilan, sehingga hal ini menjadikan para mujahidin dapat tersebar secara luas dan mendapat sanjungan di tengah-tengah masyarakat, dan selanjutnya ini menjadi pijakan awal yang kuat untuk kekuasaan dan pemerintahan mereka di bumi Irak, sebagaimana yang nampak. Dan ini merupakan satu langkah maju untuk menuju kondisi aman yang dicita-citakan dan bukan sebaliknya.

Dalam rangka mendukung dan menyokong langkah ini, maka wajib bagi kita untuk menentukan langkah menuju berdirinya Negara Islam yang akan mengamankan kepada sebuah wilayah yang besar dan syah secara syar’i untuk berbagai pekerjaan dan proyek mujahidin dalam bidang ini. Bagaimana tidak, sementara para mujahidin memutuskan perkara mereka dengan didukung oleh kekuatan dan kekuasaan. Tidakkah kondisi semacam ini dapat dikatakan telah berkuasa? Kalau kondisi semacam ini tidak dapat dikatakan telah berkuasa, lalu kondisi yang bagaimana lagi supaya suatu kelompok itu dapat dikatakan telah berkuasa?

Adapun kondisi kami yang masih di bawah ancaman serangan bertubi-tubi dari musuh, maka atas karunia Alloh kami dapat menyikapinya dengan tegar dan tidak mau bersikap hina dalam masalah agama. Kaki-kaki kami masih tetap kokoh dalam menapaki jalan ini meskipun hari-hari dan ujian-ujian terasa sangat berat. Namun demikian, itu semua tidak berpengaruh pada kami selain semakin menambah keteguhan dan ketenangan. Maka kami mengambil langkah untuk memproklamirkan Daulah Islam, karena kami tahu bahwa situasi perang adalah situasi yang biasa dalam kehidupan Daulah Islam, sama saja apakah pada awal berdiri, sebelum maupun sesudahnya. Semua kondisinya sama.

Karena musuh-musuh Daulah Islam tidak akan pernah tinggal diam terhadapnya. Dan Negara Islam itu kondisinya sama antara yang telah kami pelajari di dalam sejarah dengan apa yang kemungkinan akan terjadi pada hari ini.

Dan di muka telah kami sampaikan kepada Anda sebuah renungan dari perkataan Abul ‘Aliyah rohimahulloh yang menjelaskan bagaimana dahulu para sahabat pada awal-awal tinggal di Madinah mereka dalam keadaan takut dan tidak merasa aman, sehingga mereka senantiasa membawa senjata.

Dan kami mempunyai keinginan yang kuat agar kondisi yang kami alami ini mirip dengan kondisi mereka, jika kami tidak mampu untuk sama persis dengan kondisi mereka.

Kota Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pun mendapatkan ancaman serangan pada waktu perang Uhud, pengepungan pada waktu perang Khondaq, juga terancam untuk dirampas dan diserang oleh patroli-patroli kaum musyrikin, juga berbagai kegoncangan dan munculnya berbagai persekongkolan dari dalam sebagaimana yang berkali-kali dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang Yahudi. Namun demikian Madinah tetap disebut sebagai Negara yang berdaulat. Bahkan Negara Islam itu tidaklah lahir dari realita jahiliyah yang rusak dan keras kecuali dengan jalan seperti ini, lalu menapakinya dengan penuh kesabaran yang ekstra.

Persoalan ini juga kami jawab dengan mengatakan bahwasanya secara umum apa yang secara substansi dapat disebut sebagai Negara menurut ketentuan fikih yang telah diwujudkan oleh sebuah organisasi masyarakat, kami berpendapat bahwa pembahasan yang berkaitan dengan persoalan ini masuk dalam katagori al ‘illah al mundlobithoh (perkara pasti yang menjadi sebab) dan bukan masuk dalam katagori al hikmah al mudl-thoribah (perkara semu yang menjadi hikmah). Sedangkan perbedaan antara keduanya telah diakui oleh para peneliti ilmu ushul fikih. Oleh karena itu sesungguhnya Syari’ (Alloh yang menetapkan syariat) telah menjelaskan hal ini, yaitu menggantungkan hukum dengan suatu ciri yang mundlobit (pasti), bukan dengan ciri yang masih rancu dan semu. Al-Bukhori meriwayatkan di dalam kitab Shohih nya sebuah hadits dari Ibnu ‘Umar rodliyallohu‘anhuma, ia mengatakan: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Kekuasaan ini senantiasa dipegang oleh orang Quraisy selama mereka masih tersisa dua orang.

Adapun dalam riwayat Muslim berbunyi:

… selama manusia masih tersisa dua orang.

Sementara itu Al-Qurosyiyah (kebangsaan Quraisy) adalah suatu ciri yang mundlobith (pasti) yang telah ditegaskan oleh Syari’ (Alloh yang menetapkan syariat), lain halnya dengan jumlah, kekuatan, kekuasaan dan kemampuan untuk berlindung, semua itu adalah ciri yang dapat diwujudkan secara sedikit demi sedikit. Bahkan Syari’ (Alloh yang menetapkan syariat) menegaskan bahwa hukum pada perkara ini tidak tergantung pada suatu ‘illah (ciri yang menjadi sebab) yang masih semu, yaitu yang disebutkan dalam sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

… selama manusia itu masih tersisa dua orang.

Dengan demikian, sebuah kekuatan yang mampu untuk mewujudkan kepemimpinan dan kekhilafahan, itu cukup untuk memproklamirkan berdirinya seuah Negara Islam meskipun belum secara sempurna. Maka pendapat yang mengatakan bahwa Syari’ (Alloh yang menetapkan syari’at) itu telah menentukan batasannya lalu menggantungkan hukum dalam perkara ini dengannya, ini mirip dengan membuat suatu taklif yang tidak dapat dilaksanakan karena pemahaman orang-orang mukallaf itu berbeda-beda dalam mendefinisikan makna kekuatan. Padahal kekuatan kita yang ada pada hari ini mencukupi untuk mengangkat seorang imam (pemimpin).

Jika ada yang menyanggah dengan mengatakan: Apabila kita menganggap bahwa adanya kekuatan dan kekuasaan itu cukup untuk mendapatkan Negara yang memiliki kesamaan dengannya atau bagian darinya, yang dengannya berdiri sebuah imamah (kepemimpinan), konsekuensinya kita harus memberlakukan hukum yang muncul sebagai konsekuensi darinya seperti menghukumi murtad terhadap anak-anak dan istri-istri dari orang-orang murtad lantaran mereka tidak bergabung dengan kita, padahal faktor-faktor yang menjadi landasan hukum untuk perkara-perkara tersebut belum ada.

Kami jawab: Sesungguhnya konsekwensi-konsekwensi tersebut dan yang semisal dengannya tidak mutlak harus ada, kecuali setelah memiliki kekuatan yang sempurna dan memungkinkannya untuk bergabung, bukan karena tidak ada imam kecuali setelah memiliki kekuatan yang sempurna dan wilayah bertahan yang dapat untuk dijadikan tempat berkumpul dan berlindung di dalamnya.

Ini adalah sebuah situasi tambahan yang bukan termasuk pokok kekuatan dan perlindungan yang mana dengannya dapat diangkat seorang imam (pemimpin) untuk kaum muslimin dalam rangka melaksanakan tanggung jawab dan mengharuskan semua kelompok lainnya yang memiliki kekuatan untuk berbai’at kepadanya, serta keluar dari suatu periode masa yang kosong dari sebuah jamaah yang memiliki kekuatan dan seorang imam (pemimpin) yang memimpin dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori yang berbunyi:

Sesungguhnya pemimpin itu hanyalah sebagai perisai yang mana semua orang berperang dibelakangnya dan ia dijadikan tempat berlindung.

… hadits ini mengisyaratkan kepada pemahaman semacam ini. Dengan demikian maka adanya seorang pemimpin itu adalah sebuah cabang dari adanya sebuah kelompok yang memiliki kekuatan dan dapat memberikan perlindungan, kemudian dampak-dampak hukum yang muncul berkenaan dengan kelompok tersebut sangat tergantung dengan tingkat kekuatan dan perlindungan yang dimiliki. Dan munculnya kelompok semacam di Irak telah nampak jelas bagi semua orang yang menanggalkan hawa nafsu dan taqlid.

4- Mungkin akan ada lagi yang mengatakan: Di antara unsur-unsur pokok sebuah negara itu adalah adanya berbagai lembaga kenegaraan, aparat pemerintahan dan berbagai instalasi negara sebagaimana yang dikenal pada hari ini. Sedangkan yang kami lihat Daulah yang kalian proklamirkan ini tidak memiliki tanda-tanda kedaulatan sebagaimana yang kami lihat pada negara-negara modern pada hari ini..!!

Kami jawab: Yang kami jadikan landasan dalam berbagai keputusan dan perencanaan program kami adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta perkataan yang standar dari para ulama’ yang diakui dari kalangan salaf maupun kholaf. Dan sejauh yang kami tahu, dalam landasan ini tidak ada disebutkan ciri-ciri sebuah Negara Islam itu harus memenuhi unsur-unsur atau perangkat-perangkat tertentu sebagaimana pandangan dunia pada hari ini tentang pemerintahan. Dan tidak ada satu dalilpun yang mensyaratkan adanya aparat maupun instalasi pemerintah sebagaimana yang dimiliki oleh negara-negara modern yang mayoritasnya diselenggarakan sesuai dengan sistem dan politik kafir barat. Ini bukan berarti kami memungkiri fungsi yang diperankan oleh perangkat-perangkat dan instalasi-instalasi tersebut yang cukup efektif terhadap penyelenggaraan Negara dan membantu keluarnya hasil-hasil dari programnya. Akan tetapi yang kami ingatkan di sini adalah dijadikannya semua ciri administratif negara-negara modern itu sebagai syarat untuk berdirinya sebuah Negara Islam yang dicita-citakan.

Kami katakan tidak ada dalil syar’i yang menetapkan suatu ketentuan yang bersifat organisatoris maupun administratif yang harus dipenuhi oleh sebuah Negara Islam yang sedang tumbuh. Akan tetapi permasalahan ini diserahkan kepada Ulil Amri (para pemimpin) yang menjadi penyelenggara Negara tersebut untuk memilih mana yang paling baik untuk kaum muslimin dan apa yang sesuai dengan kondisi mereka baik yang berupa sistem administrasi, struktur maupun penataan yang efektif untuk penyelenggaraan Negara dan membantu menyalurkan semua kemampuan dan potensi yang dimilikinya sesuai dengan apa yang diridloi oleh Alloh ta’ala.

Oleh karena itu pada saat sekarang ini tidak mendesak bagi kita untuk menampakkan berbagai instalasi resmi Negara Islam, yang pada hari ini tidak lebih dari sebuah tampilan media yang masih kecil. Sebagaimana kondisi pemerintahan Irak, boneka kaum salibis. Ia adalah negara yang di media nampak jelas akan tetapi kenyataannya ia adalah pemerintahan yang rapuh baik aparaturnya maupun administrasinya. Sebaliknya, Negara Islam milik mujahidin, instalasi-instalasinya tidak nampak akan tetapi ia eksis di muka bumi dan dapat dirasakan oleh rakyat, serta mempunyai interaksi yang besar dengan kondisi realita serta kebutuhan-kebutuhan mereka.

Dari sisi lain, fenomena memproklamirkan Daulah sebagaimana kami gambarkan di atas, bukanlah hal asing di dunia ini baik, pada jaman dahulu maupun pada jaman sekarang. Sejarah telah menyaksikan berdirinya berbagai negara dan pemerintahan dengan cara seperti ini, yang kemudian tumbuh, berkembang dan semakin kokoh pilar-pilarnya… Negara Islam pertama yang dibangun Nabi shollalohu ‘alaihi wa sallam misalnya, dahulu mirip dengan kondisi ini jika tidak kita katakan sama pada periode awalnya. Tatkala Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, lalu beliau mulai mengatur penduduknya, pemerintahan beliau tidak berjalan normal kecuali setelah melalui berbagai goncangan yang ditimbulkan oleh orang-orang munafik dan orang-orang Yahudi yang berada di dalam Madinah. Mereka adalah:

Bani Qoinuqo’:

Suatu saat salah seorang di antara mereka mengganggu seorang wanita muslimah. Ia ingin memaksa wanita tersebut untuk membuka wajahnya. Maka iapun mengikat ujung bajunya dengan paku sehingga tersingkaplah aurot wanita tersebut. Lalu wanita itupun meminta tolong kepada kaum muslimin. Maka datanglah seorang muslim dan membunuh orang Yahudi tersebut. Lalu bangkitlah seorang Yahudi lainnya kemudian membunuh orang muslim tersebut. Setelah kejadian itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengusir mereka dari Madinah.

Bani An Nadlir:

Mereka pernah berencana untuk menjatuhkan batu ke kepala Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau duduk bersama mereka di salah satu rumah mereka untuk suatu urusan yang hendak beliau bicarakan dengan mereka. Akan tetapi Alloh ta’ala memberitahukan apa yang hendak mereka perbuat itu kepada Rosul-Nya. Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun pulang dan menyiapkan sebuah pasukan kemudian kembali lagi untuk memerangi mereka. Setelah beliau mengepung mereka, mereka meminta kepada beliau agar beliau mengusir mereka saja dengan membiarkan mereka untuk membawa perbekalan mereka dengan tanpa membawa senjata. Beliaupun setuju sehingga mereka keluar dari Madinah. Tentang perisiwa Bani An Nadlir ini turunlah surat Al Hasy-r.

Bani Quroidhoh:

Pada waktu perang Khondaq, orang-orang Bani Quroidloh melanggar perjanjian yang mereka sepakati dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Mereka membantu orang-orang Quraisy untuk masuk kota Madinah dari arah mereka, setelah mereka membuat kesepakatan dengan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang Quraisy tidak akan masuk melalui perkampungan mereka. Maka seusai perang Ahzab, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun bersegera untuk menghabisi mereka semua. Setelah dikepung, mereka menyerah. Kemudian hukuman terhadap mereka ditetapkan oleh Sa’ad bin Mu’adz dengan dibunuhnya kaum laki-laki dari mereka, dibagi-bagi harta mereka dan kaum wanita mereka ditawan. Lalu dilaksanakanlah keputusan tersebut dengan dibunuh sekitar 700 orang laki-laki mereka. Kisah ini disebutkan di dalam surat Al Ahzab.

Yahudi Khoibar:

Mereka juga melanggar perjanjian yang mereka sepakati dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pada peristiwa perang Khondaq. Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun mengepung mereka. Dahulu Khoibar adalah benteng mereka yang paling besar, sehingga pengepungan itu berlangsung lama. Mereka adalah kabilah Yahudi yang paling banyak jumlahnya ketika itu. Setelah pengepungan berlangsung lama, mereka meminta damai kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun mengabulkan permintaan mereka. Akan tetapi mereka mengkhianatinya kembali, sehingga kaum muslimin menawan kaum wanita dan anak-anak mereka, serta membagi-bagikan harta benda mereka. Kemudian mereka membuat kesepakatan dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk tetap tinggal di wilayah mereka dan bercocok tanam di sana, kemudian hasilnya dibagi antara mereka dan kaum muslimin. Sampai akhirnya mereka semua dibersihkan oleh kholifah ‘Umar bin Al-Khothob rodliyallohu ‘anhu dari jazirah Arab tatkala mereka hendak berkhianat sekali lagi untuk membunuh Ibnu ‘Umar rodliyallohu ‘anhuma.

Semua peristiwa ini dialami oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam setelah beliau memproklamasikan Daulah Islam di Madinah, dan setelah beliau menjalankan pemerintahannya di sana. Kondisi semacam ini pada jaman sekarang disebut sebagai kekacauan dalam negeri. Akan tetapi hal itu tidak mengakibatkan beliau berhenti dalam menjalankan pemerintahannya atau mengakibatkan hilang kelayakan Negara tersebut lantaran tidak terpenuhinya salah satu atau bahkan seluruh syaratnya. Dan perang Ahzab adalah bukti yang paling nyata dalam hal ini. Ketika itu musuh-musuh Negara Islam datang menyerbu dari segala arah. Sementara sebagian rakyat ada yang memberontak, yaitu orang-orang Yahudi. Sehingga hampir saja Negara itu runtuh, menurut istilah sekarang, lantaran tidak adanya tanda-tanda kedaulatan dan kekuasaan yang nyata di beberapa wilayah, terutama di perkampungan Yahudi. Namun demikian situasi ini tidak menghalangi keberlangsungan Negara dan tetap terjaga di atas langkah-langkahnya.

Adapun dalam sejarah Islam sendiri, seringkali dalam situasi-situasi tertentu, seperti pada situasi-situasi genting menjelang runtuhnya sebuah khilafah yang kemudian berdirinya khilafah yang lainnya, atau tatkala umat Islam menghadapi berbagai serangan dari luar, seperti serangan bangsa Tartar dan serangan kaum Salib, pada masa-masa yang genting seperti ini berdirilah beberapa organisasi seperti yang terjadi sekarang yang kemudian berkembang dengan mendirikan negara-negara kecil, kemudian negara-negara kecil itu berkumpul untuk mendirikan sebuah khilafah atau sebuah Daulah.

Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah apa yang terjadi pada masa-masa perang Salib. Setiap orang yang membaca sejarah periode itu secara seksama, ia akan melihat bagaimana kaum muslimin melawan serangan kaum salib dengan cara membuat kelompok-kelompok kecil dan perkumpulan-perkumpulan yang bermacam-macam dan banyak. Yang mana satu benteng dipimpin oleh satu keluarga tertentu yang di dalamnya tergabung beberapa kelompok yang tunduk di bawah kepemimpinan keluarga tersebut. Kemudian ada satu perkampungan yang rela untuk dipimpin oleh seorang pemimpin yang ulama’ di antara mereka kemudian mereka berjihad bersamanya.

Lalu ada lagi seorang ulama’ yang membuat satu perkumpulan dari murid-muridnya yang rela untuk berada dalam kepemimpinannya, dan begitu seterusnya. Adapun para komandan besar seperti keluarga Zanki dan keluarga Ayyub berperan sebagai penyatu dari berbagai perhimpunan dan kelompok tersebut dalam satu kesatuan … yang kemudian muncul dengan jelas dalam bentuk sebuah Daulah yang terus meluas dan menguat.

Adapun contoh dari sejarah untuk wilayah-wilayah yang diorganisir mirip dengan pengorganisasian sebuah negara dalam rentang waktu tertentu adalah gerakan Al-Imam As-Sayyid yang memperbaharui dakwah tauhid dan jihad di wilayah-wilayah Sunni yang ada di India, Kasymir, Pakistan dan Afghanistan. Beliau telah sukses mengendalikan negeri negeri tersebut baik di bidang kemiliteran, perekonomian dan sosial. Di sana ditegakkan hukum hudud, sedangkan harta dan kekayaan mereka dibagi secara merata, jihad dilaksanakan dan ditebarkan para pegawai dan gubernur. Akan tetapi wilayah tersebut tidak memenuhi ciri negara yang dikenal di negara-negara hari ini, yang memiliki instalasi-instalasi dan lembaga-lembaga administrasi.

Ini adalah contoh-contoh dari kalangan kaum muslimin. Adapun contoh-contoh dari kalangan orang-orang kafir, ada puluhan bahkan ratusan contoh negara yang didirikan oleh orang-orang kafir Eropa, Afrika dan di benua lainnya pada masa-masa yang telah lalu.

Sedangkan pada masa sekarang:

Banyak sekali contohnya berupa perkumpulan yang ada pada hari ini baik perkumpulan Islam maupun yang lainnya, di antaranya adalah: Kelompok-kelompok perang di Afghanistan yang muncul pada periode awal jihad dan periode awal gerakan Tholiban sampai akhirnya Tholiban mendirikan Negara Islam. Pendirian Negara Islam oleh Tholiban itu sendiri melalui berbagai tahapan masa, yang

secara berangsur-angsur kekuasaan gerakan Tholiban itu meluas ke berbagai wilayah.

Kemudian pemerintahan Palestina yang disusun oleh gerakan Hammas di wilayah Gaza Palestina. Pemerintahan ini tidak menggambarkan sebuah kedaulatan yang nyata sebagai sebuah negara modern. Selain itu pemerintahan tersebut banyak kekurangannya di bidang perangkat administrasi, sebagaimana yang dimiliki oleh negara-negara dan pemerintahanpemerintahan modern.

Demikian pula dengan kelompok-kelompok Mahkamah Syariah dan kelompok-kelompok Islam lainnya yang berjuang di Somalia baru-baru ini, yang berhasil menumbangkan pemerintah yang berkuasa. Sekarang ini mereka hidup dalam keadaan yang menyerupai sebuah negara akan tetapi tidak memiliki berbagai instansi yang mendukungnya sebagaimana yang dimiliki oleh negara-negara modern, baik di bidang administrasi, politik maupun media.

Demikian pula beberapa periode waktu yang dilalui oleh sejumlah wilayah di negaranegara republik bekas Uni Soviet dahulu, terutama adalah republik Chechnya ketika belum mendapatkan dukungan Islam sebelum menjadi sebuah negara.

Juga gerakan John Garang di Sudan Selatan yang bernama Front Rakyat Untuk Pembebasan Sudan.

Juga gerakan-gerakan kiri di Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang sekarang ini mirip dengan negara-negara yang tengah kita bicarakan ini, bahkan sebagiannya ada yang benar-benar mendirikan negara.

Dan yang terakhir adalah, lapangan perpolitikan dunia menyaksikan bentuk yang bermacam-macam dari apa yang dikenal dengan pemerintahan ilegal dan pemerintahan bayangan yang menjalankan perannya jauh dari ciri-ciri negara yang sempurna, yaitu pemerintahan-pemerintahan yang tidak memiliki atau kurang memiliki kedaulatan dan ketenangan. Namun demikian pemerintahan-pemerintahan tersebut dari sisi pemikiran dan perpolitikan mendapat pengakuan dan sambutan.

5- Mungkin ada lagi yang akan mengatakan: Sebuah negara pada jaman sekarang itu tidak didirikan kecuali dengan dukungan harta dan kekayaan untuk membangun pondasi dan bangunannya. Sedangkan negara yang kalian proklamirkan itu tidak memiliki sumber-sumber kekayaan dan pendanaan yang besar, juga tidak memiliki sumber-sumber perekonomian yang kokoh dan dikenal. Dengan begitu kalian akan bawa rakyat menjadi korban kemiskinan dan kesengsaraan. Oleh karena itu lebih baik kalian melakukan introspeksi diri dan bermusyawarah lagi sebelum kalian mengambil langkah berani semacam ini.

Kami jawab: Negara Islam itu tidak sama dengan berbagai system pemerintahan lainnya. Karena Negara Islam itu memiliki system sendiri yang efektif, yaing menjamin semua apa yang diperlukan oleh Negara dan rakyatnya. Dan ini adalah perkara yang telah dipahami dan dijelaskan di dalam kitab-kitab fikih yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang sekarang ini telah ditinggalkan manusia. Dan jika kita hidupkan kembali prinsip-prinsip tersebut di dalam realita kehidupan yang nyata pasti tidak diragukan lagi akan nampak hasilnya.

Sekarang harapan kita untuk menghidupkan kembali prinsip-prinsip tersebut terletak pada Negara Islam yang penuh berkah ini, untuk menjalankan dan menghidupkan kembali syariat dan system yang telah ditinggalkan manusia tersebut, yang mana sebelumnya simbol-simbolnya telah tenggelam dalam reruntuhan system thoghut yang berkuasa di seluruh Negara kaum muslimin.

Selain itu kami tambahkan bahwasanya tidak diragukan lagi ini merupakan pengalaman yang pertama dan asing, yang tengah menunggu banyak kalangan dari umat Islam ini untuk memberikan peran dalam memajukan dan membangun berbagai instalasi dan perangkatnya yang bermacam-macam, yang jauh dari unsur kompromi dan toleransi, karena para mujahidin itu mendirikan Negara mereka bukan untuk mengembalikan manusia kepada kemewahan dan kesuksesan ekonomi yang digembar-gemborkan oleh orang-orang yang berorientasikan dunia. Karena kaum muslimin itu adalah orang-orang yang memiliki aqidah dan iman, yang memiliki keyakinan bahwa rizki itu datangnya dari sisi Alloh semata dan tidak ada yang bersekutu dengan-Nya dalam hal ini.

Dan kelompok kebenaran yang membawa kemenangan itu adalah kelompok yang dengan kelemahannya ia merasa perkasa, dan memiliki hati yang kaya meskipun ia miskin. Terkadang mereka itu berpakaian usang, sedikit harta dan miskin. Akan tetapi kelompok inilah yang akan mendapatkan kemenangan atas karunia dan kekuatan Alloh, dengan memanggul senjatanya dan memelihara kudanya. Kelompok semacam ini akan senantiasa ada dan tidak akan pernah punah, tidak pernah berhenti dan tidak akan pernah berhenti selamanya. Karena seseorang itu tidak akan berhenti berperang dan meninggalkan medan perang baik kalah maupun menang, kecuali orang yang telah kehilangan kejantanannya, yang sebelumnya ia telah kehilangan arti dari kemuliaan dalam agama yang agung ini. Dan atas ijin Alloh ta’ala Thoifah Manshuroh tidaklah seperti itu.

Dan Alloh telah menjanjikan kepada orang yang taat kepada-Nya dan menegakkan syariatnya, dengan rizki yang baik sebagaimana yang disebutkan dalam firman Alloh ta’ala:

Dan barangsiapa bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh akan memberikan jalan keluar kepadanya. (Ath Tholaq: 2)

… juga dalam firman-Nya:

Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan sementara dia dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An Nahl: 97)

Dan berbicara tentang lemahnya sarana dan kemampuan itu, selain dikembalikan kepada kekurangan manusia dan lemahnya kemampuan mereka, ia juga dikembalikan kepada ketetapan rizki yang telah ditentukan untuk setiap hamba, yang mana ia tidak akan meleset darinya sampai ia menghabiskan jatah rizkinya dan menyelesaikan batas ajalnya. Dan tatkala kita perhatikan petunjuk Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam menegakkan Negara Islam yang pertama, kita dapatkan beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak menjanjikan kepada manusia dengan kemewahan ekonomi dan kehidupan yang melimpah. Akan tetapi beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam hanyalah melaksanakan apa yang beliau mampu laksanakan seperti membagi hasil, menyebarkan kekayaan dan sedekah, serta menegakkan keadilan sesuai dengan kemampuan dan kesempatan. Bahkan beliau shollallhu ‘alaihi wa sallam justru memungut harta rakyat untuk digunakan jihad dan kepentingan Negara Islam. Karena Negara tersebut adalah negara kaum muslimin yang berdiri untuk kepentingan mereka dan mengatur urusan mereka. Dan pada dasarnya merekalah yang seharusnya mengorbankan apa yang mereka miliki untuk membangun istana yang padanya terletak kemuliaan Islam dan kaum muslimin, bukan malah sebaliknya.

Pada periode Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam banyak contoh yang indah dalam pengorbanan dan kedermawanan untuk kepentingan jihad dan negara, selain apa yang dirasakan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berupa kelaparan dan mencari perlindungan.

Misalnya adalah pada waktu perang Tabuk. Kaum muslimin ketika itu berlomba-lomba untuk menginfakkan hartanya dan mengeluarkan sedekah. ‘Utsman bin ‘Affan ketika itu telah menyiapkan serombongan unta yang memuat barang dagangan untuk diberangkatkan ke Syam, sebanyak 200 unta lengkap dengan pelana untuk angkutan dan alasnya, serta 200 ‘uqiyah, kemudian semua itu ia infakkan. Ia juga menginfakkan 100 ekor unta lengkap dengan pelana untuk angkutan dan alasnya. Kemudian dia datang lagi dengan membawa seribu dinar dan dia tebarkan di kamar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Rosululloh pun menerimanya dan bersabda:

Setelah hari ini apapun yang dilakukan ‘Utsman tidak akan membahayakan dirinya.

Kemudian ‘Utsman berinfak dan terus berinfak sampai infaknya itu mencapai 900 ekor unta dan 100 ekor kuda, itu selain yang berupa uang. Sedangkan ‘Abdur Rohman bin ‘Auf datang dengan membawa 200 perak ‘uqiyah. Sementara Abu Bakar datang dengan membawa seluruh harta yang dimilikinya, dan dia tidak meninggalkan untuk keluarganya kecuali Alloh dan Rosul-Nya — ketika itu

jumlahnya adalah 4000 dirham — dan dia adalah orang yang pertama kali menyerahkan infaknya. Sementara ‘Umar datang dengan membawa setengah dari harta bendanya. Sementara Al-‘Abbas datang dengan harta yang banyak. Sedangkan Tholhah, Sa’ad bin ‘Ubadah dan Muhammad bin Maslamah, mereka semua datang dengan membawa harta. Sedangkan ‘Ashim bin ‘Adi datang dengan membawa korma 90 wasaq. Kemudian manusia terus datang berbondong-bondong dengan membawa infak mereka masing-masing, baik sedikit maupun banyak. Sampai-sampai di antara mereka ada yang hanya berinfak satu atau dua mud saja karena ia memang hanya bisa berinfak segitu. Tidak ketinggalan juga kaum wanita. Mereka datang dengan membawa gelang tangan, gelang kaki, anting-anting dan cincin.

Dan tidak ada seorangpun yang menahan tangannya tidak mau menginfakkan hartanya kecuali orang-orang munafik,

Yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Alloh akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih. (At Taubah: 79)

Sedangkan pada perang Ahzab, tatkala Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam ingin mengajak damai dengan ‘Uyainah bin Hishnin dan Al Harits bin ‘Auf, yang keduanya adalah pimpinan bangsa Ghothofan, dengan imbalan sepertiga hasil buah Madinah, supaya keduanya mundur bersama kaumnya, sehingga kaum muslimin dapat leluasa untuk mengalahkan pasukan Quraisy dengan segera, yang mana bangsa Quraisy ini telah berkalikali mengganggu kaum muslimin dengan kekuatan mereka. Lalu terjadilah tawar-menawar tentang masalah itu, dan Nabi-pun meminta pendapat kepada dua Sa’ad (ibn Mu’adz dan bin Abi Waqosh-ed) tentang hal itu. Keduanya-pun menjawab: “Wahai Rosululloh, jika Alloh memang memerintahkanmu untuk berbuat seperti itu maka kami mendengar dan kami taat. Namun jika ini adalah keputusanmu sendiri untuk kami maka kami tidak memerlukannya. Karena dahulu tatkala kami dan mereka itu masih sama-sama musyrik dan menyembah patung, mereka tidak dapat memakan buah-buahan Madinah kecuali dalam bentuk jamuan tamu atau dengan cara beli. Lalu kenapa setelah Alloh memuliakan kami dengan Islam dan memberi petunjuk dengannya serta memnjadikan kami perkasa denganmu, kami malah memberikan harta kami kepada mereka? Demi Alloh, tidak ada yang akan kami berikan kepada mereka kecuali pedang.” Maka Rosulullohpun membenarkan pendapat keduanya, lalu bersabda:

Sesungguhnya ini adalah keputusanku sendiri yang aku putuskan tatkala aku melihat seluruh bangsa Arab telah menyerang kalian secara serempak.

Di sini Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam hendak menggunakan harta rakyat unuk kepentingan jihad dan untuk meraih tujuannya meskipun pada waktu itu tidak jadi. Akan tetapi keinginan Nabi shollallohu ‘alahi wa sallam itu sama nilainya dengan tindakan dan pensyariatan.

Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunan-nya (II/16), dari Yazib bin Abi Habib, ia dari Muslim bin Abi ‘Imron, ia berkata: Dahulu kami berangkat berperang dari Madinah menuju Kostantinopel, sedangkan di tengah-tengah pasukan waktu itu ada ‘Abdur Rohman bin Kholid bin Al-Walid, sementara pasukan Romawi berada di dekat perkebunan Madinah. Lalu ada seseorang yang menyerang musuh secara sendirian. Lalu semua orang mengatakan: Wah … wah … laa ilaaha illalloh… orang itu telah menceburkan diri ke dalam kebinasaan. Abu Ayyub pun menyahut: “Sesungguhnya ayat tersebut (yakni ayat yang melarang menceburkan diri ke dalam kebinasaan –penerj.) diturunkan terhadap kami dari kalangan Anshor. Yaitu tatkala Alloh telah memberikan kemenangan kepada Nabi-Nya dan menjadikan Islam unggul, kami mengatakan: Marilah kita membangun dan memperbaiki kembali harta benda kita. Maka Alloh ta’ala pun menurunkan ayat:

Dan berinfaklah kalian di jalan Alloh, dan jangan kalian menceburkan diri ke dalam kebinasaan.

Dengan demikian yang dimaksud dengan menceburkan diri ke dalam kebinasaan itu adalah membangun dan memperbaiki kembali harta benda lalu meninggalkan jihad.” Abu ‘Imron melanjutkan kisahnya: Abu Ayyub pun terus berjihad di jalan Alloh sampai ia dikuburkan di Kostantinopel.

Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, ia mengatakan: “Demi Alloh, Aku adalah orang Arab yang pertama kali memanah dalam perang di jalan Alloh. Dan dahulu kami pernah berperang bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sedangkan kami tidak memiliki makanan yang bisa kami makan kecuali daun pohon anggur dan samar (sejenis rumput yang biasa dibuat tikar –penerj.) sampai-sampai di antara kami buang air besar sebagaimana domba buang kotoran, kemudian kini Bani Asad hendak menghinakanku karena Islam. Sungguh jika demikian berarti aku telah rugi dan sia-sia amalanku.”

Demikianlah kondisi generasi shahabat yang telah mendirikan Negara Islam pertama. Mereka bekerja, berjihad dan membangun sementara kehidupannya sangat sempit, makanan dan minumannya sedikit. Sampai-sampai salah seorang diantara mereka ada yang buang air besar sebagaimana kambing buang kotoran lantaran kerasnya kehidupan mereka. Namun demikian mereka tidak mengatakan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam: Negara yang Engkau dirikan ini tidak dapat memberikan jaminan penghidupan yang lapang ataupun kehidupan yang mewah kepada kami. Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memang tidak menjanjikan kemewahan dan kenikmatan kepada mereka, akan tetapi yang beliau janjikan kepada mereka adalah syurga yang di dalamnya terdapat kenikmatan yang abadi. Dengan demikian, ketika itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki sumber materi yang diimpi-impikan oleh sebagian orang, dan sebagiannya lagi memiliki anggapan bahwa hal ini termasuk syarat pokok untuk berdirinya Negara Islam. Dari mana datangnya syarat-syarat tersebut sedangkan Nabi yang membangun Negara Islam pertama saja tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk memberi makan kepada pasukannya dan mencukupi kebutuhan mereka, sedangkan mereka terjun dalam kancah peperangan dan berjuang melawan musuh. Apakah dengan demikian Negara Islam pertama ini tidak memiliki kelayakan untuk menjadi sebuah Negara lantaran lemahnya sumber

dananya dan sedikit kemampuan materinya?!

Kondisi yang sangat jelas dalam sejarah Islam ini, yang menulis sejarah periode Negara Islam pertama dengan kepenatan dan kesusahan, ketika Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menggali parit, yang mana beliau dan para sahabat dalam keadaan sangat kepayahan lantaran sangat lapar dan capek. Muslim dalam Shohih nya meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdulloh, ia berkata: Tatakala menggali parit, saya melihat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kelaparan. Lalu akupun pulang menemui istriku. Aku katakan kepada istriku: “Apakah kamu punya sesuatu? Aku tadi melihat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat kelaparan.” Lalu istriku mengeluarkan gerabah yang di dalamnya ada satu sho’ gandum, dan kami juga memiliki seekor binatang ternak yang jinak. Lalu aku sembelih binatang ternak tersebut, sementara istriku mengadon gandum itu sampai selesai sebagaimana akupun juga telah selesai. Lalu aku potong-potong dalam periuk milik istriku. Kemudian aku pergi menemui Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku katakan kepada beliau: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya kami telah menyembelih binatang ternak kami dan mengadon satu sho’ gandum yang kami miliki. Oleh karena itu datanglah ke rumahku bersama beberapa orang.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun berteriak dan mengatakan: “Wahai orang-orang yang sedang menggali parit, sesungguhnya Jabir telah membuat jamuan untuk kalian maka kemarilah kalian.” Dan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah sekali-kali engkau turunkan periukmu dan janganlah sekali-kali engkau buat roti adonanmun sampai aku datang. Lalu aku datang sedangkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam datang diiring oleh orang-orang. Sampai aku datangi istriku, maka ia mengatakan kepadaku: “Kenapa engkau ini.” Lalu aku menjawab: “Aku telah lakukan apa yang engkau katakan kepadaku.” Lalu aku keluarkan adonan kami kepada beliau, kemudian beliau meludah ke dalamnya dan memberikan berkah. Kemudian beliau menuju periuk kami lalu meludah ke dalamnya dan memberikan berkah. Kemudian beliau bersabda kepada istriku: “Panggillah seorang wanita tukang roti lalu suruh membuat roti bersamamu, kemudian rebuslah dalam periukmu dan jangan kalian turunkan periuk itu.” Sementara itu ketika itu orangnya berjumlah seribu orang. Lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersumpah dengan nama Alloh bahwa mereka semua pasti makan. Sampai akhirnya mereka meninggalkannya dan bubar sementara periuk kami masih penuh sebagaimana semula, dan adonan kami — atau sebagaimana yang dikatakan oleh Adl-Dlohak — telah menjadi roti sebagaimana semula.

6- Mungkin akan ada lagi yang mengatakan: Kami telah bisa menerima disyariatkannya apa yang kalian lakukan, dan kebutuhan mendesak yang berada dibalik apa yang kalian proklamirkan itu. Akan tetapi untuk sebuah Negara Islam, para fuqoha’ telah menetapkan sejumlah syarat untuk para penguasa Negara tersebut, serta ciri-ciri orang yang layak menjadi pemimpinnya. Lalu apakah kalian telah memenuhi syarat dan ciri secara sempurna yang dibutuhkan untuk sebuah Negara?

Kami jawab: Kami sependapat dengan kalian mengenai syarat-syarat dan ciri-ciri tersebut yang telah disebutkan oleh para ulama’ dan fuqoha’. Akan tetapi yang kita bicarakan ini adalah sesuatu yang memungkinkan kita lakukan pada waktu yang memungkinkan. Akan tetapi kenyataan yang kami hadapi di medan jihad yang terus berkecamuk dan bergoncang ini melahirkan sebuah kelompok kuat yang berjihad mempertahan dinnya dan berjuang untuk membelanya dengan segala cara. Dan di antara anugerah yang Alloh berikan kepada kelompok ini adalah lahirnya para pemimpin jihad dari rahim peperangan dan dari kandungan pertempuran, yang mana mereka ini memiliki kemampuan dan kelayakan menjadi pemimpin untuk kondisi yang dihadapi di lapangan, selain juga memiliki kemampuan lain yang harus dimiliki yaitu mengatur semua kemampuan tersebut sesuai dengan syariat dan hukum-hukumnya yang pokok di dalam fikih berharokah, bersiyasah dan berjihad, selain memiliki kemampuan untuk melangkah di lapangan dengan langkah yang sesuai dengan teknik-teknik yang lihai dalam bidang pengorgaisasian dan fleksibel. Intinya, apa yang telah dicapai oleh kelompok jihad dalam masalah ini termasuk dalam katagori apa yang paling memungkinkan yang tidak melampaui batas kekuatan dan kemampuan yang ada di lapangan, dan ini adalah sesuatu yang paling baik yang kami miliki untuk mejalankan din Alloh ini, yaitu kami telah memilih orang-orang yang telah mendapat kesaksian sebagai orang yang baik, mulia, cerdas dan sukses.

Dengan demikian Alloh tidak membebani seseorang kecuali yang mampu ia lakukan, sehingga tatkala syarat-syarat penyempurna itu tidak mampu untuk dipenuhi dalam salah satu perkara din yang terjaga dengan kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kemaslahatan syar’i, maka syariat memberikan arahan untuk melakukan yang paling baik diantara yang ada dalam bidangnya. Dan kewajiban-kewajiban syar’i itu tidak boleh ditinggalkan lantaran tidak ada orang yang dapat melaksanakannya kecuali sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan yang dinyatakan dalam kaidah fikih: Tidak ada taklif (beban syar’i) kecuali sesuai dengan kemampuan. Mungkin hal ini akan lebih jelas dengan penjelasan yang memuaskan dari Ibnu Taimiyah berikut, yang terdapat dalam Majmu’ Al- Fatawa (XXVIII/252):

“Apabila hal ini telah dipahami, maka hendaknya tidak ada yang diamalkan kecuali yang paling baik di antara yang ada. Terkadang dari sekian yang ada itu tidak ada yang layak memegang kepemimpinan. Maka dipilihlah orang yang paling baik dari yang ada untuk setiap jabatan. Namun apabila hal itu ditempuh setelah dilakukan ijtihad secara sempurna, lalu orang itu dipilih untuk menjabat sebuah jabatan berdasarkan haknya, maka ia telah dianggap telah menyampaikan amanahnya dan melaksanakan kewajibannya dalam bidang ini. Dengan demikian dalam kondisi semacam ini ia telah menjadi seorang imam (pemimpin) yang adil di sisi Alloh, meskipun ia cacat pada beberapa persoalan lantaran suatu sebab atau yang lainnya, jika memang tidak dapat dilakukan selain dari itu. Karena sesungguhnya Alloh ta’ala berfirman:

Maka bertaqwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian. (At Taghobun: 16)

Dan Alloh ta’ala juga berfirman:

Alloh tidak membebani seseorang kecuali yang ia mampu. (Al Baqoroh: 286)

Dan dalam masalah jihad Alloh ta’ala berfirman:

Dan berperanglah di jalan Alloh, engkau tidak diberi beban (kewajiban) kecuali beban (kewajiban) mu sendiri, dan kobarkanlah semangat orang-orang beriman.

Dan Alloh ta’ala berfirman:

Wahai orang-orang beriman jagalah diri kalian sendiri, orang yang tersesat itu tidak akan membahayakanmu jika kalian telah mendapat petunjuk. Maka barangsiapa telah melaksanakan kewajibannya sesuai yang ia mampu kerjakan, berarti ia telah mendapatkan petunjuk. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka laksanakanlah semampu kalian. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim dalam kitab Shohihnya masing-masing. Akan tetapi apabila ia lemah, dan ia tidak membutuhkannya atau ia berkhianat, ia akan mendapat hukuman. Oleh karena itu hendaknya ia memahami apa yang paling baik pada setiap jabatan.” Sampai di sini perkataan Ibnu Taimiyah.

7- Mungkin akan ada lagi yang mengatakan: Dengan kalian memproklamirkan Negara Islam seperti apa yang telah kalian jelaskan tersebut di sejumlah wilayah Irak, hal ini akan mengakibatkan Irak terpecah-belah. Dan ini adalah yang diinginkan oleh Salibis Amerika!!

Kami jawab: Tidak diragukan lagi bahwasanya pembicaraan kita sekarang ini seputar wilayah-wilayah tertentu di Irak. Akan tetapi telah kami jelaskan sebelumnya bahwasanya taklif syar’i dan pelaksanaan ajaran Islam ini disesuaikan dengan kemampuan dan kemungkinan yang ada. Sementara Alloh Maha Tahu bahwasanya mujahidin memiliki keinginan untuk mewujudkan tujuan mereka baik yang jangka pendek maupun yang jangka panjang, yakni membebaskan bumi Islam dari para Thoghut yang kotor, lalu menyatukannya di bawah satu bendera Islam yang memiliki kekuatan yang dapat mengembalikan kejayaan dan kemuliaan mereka. Akan tetapi yang jadi masalah sekarang adalah bagaimana cara mencapai tujuan ini?

Sementara itu peluang yang ada sekarang tidak memungkinkan untuk membangun seluruh wilayah Irak sebagai Negara Islam lantaran beberapa sebab yang akan kami terangkan sekarang. Pertumbuhan secara bertahap itu merupakan sunnah robbaniyah dan hikmah nuroniyah yang dengan begitu langkah-langkah tidak akan tergelincir dan pikiran tidak akan sesat. Maka secara syar’i tidaklah mengapa Negara Islam itu didirikan hanya di beberapa wilayah Irak tercinta, yang dapat dijadikan sebagai pijakan awal kekuatan mujahidin selama mereka melakukan persiapan dengan segala kemampuan mereka untuk memperluas kekuasaan mereka yang baru di wilayah-wilayah Irak yang lainnya.

Di depan telah kita bicarakan, bahwasanya pembagian wilayah Irak sebagaimana yang dikenal sekarang ini, sebelumnya tidak pernah ada kecuali semenjak beberapa puluh tahun yang lalu setelah peristiwa kesepakatan Skyes-Piscot. Baru setelah itu terciptalah batasan-batasan wilayah yang telah mencabik-cabik kawasan dan memecah-belah bangsanya ini, yang kemudian diopinikan kepada mereka bahwasanya pemetaan geografis ini ibarat syariat yang turun dari langit sehingga tidak ada peluang lagi untuk tawar-menawar. Sementara itu Islam tidak mengenal batasan-batasan wilayah yang ditetapkan dan dipatenkan sehingga batasan-batasannya tidak dapat diotak-atik. Karena Islam itu datang untuk didakwahkan dan untuk disebarluaskan. Dan sesuai dengan kebiasaan dalam Islam, bahwasanya bumi manapun yang jatuh dalam kekuasaan Islam dan kekuatan jihad, ia menjadi bumi Islam yang di sana berlaku hukum-hukum Negara Islam yang sudah jelas, seperti menegakkan hukum hudud, melaksanakan ketentuan syar’i serta memberlakukan hukum-hukum dan

syariat-syariatnya. Meskipun seandainya ada sebuah wilayah Islam yang direbut oleh para agresor penjajah, maka untuk membebaskannya tidak menunggu dibebaskannya wilayah yang dijajah secara keseluruhan, akan tetapi setiap kali sebagian darinya terbebaskan langsung ditegakkan hukum-hukum Islam sesuai dengan yang memungkinkan. Dan inilah yang dimaksud Negara Islam yang diserukan oleh mujahidin yang tergabung dalam Majelis Syuro.

Hal ini memiliki landalan dalam beberapa peristiwa dalam sejarah Islam ketika berperang melawan bangsa Salib dan bangsa Tartar. Pada awalnya berdiri sebuah Negara Islam di sebuah wilayah kecil, kemudian berkembang dan semakin kokoh setelah melalui beberapa periode waktu secara bertahap meskipun bangsa penjajah itu masih eksis dan menguasai banyak bumi Islam. Namun demikian hal itu tidak dipahami sebagai pembagian wilayah, sebagaimana yang dapat kita lihat secara jelas dari sejarah. Akan tetapi hal itu masuk dalam katagori melakukan perbuatan sesuai dengan kemungkinan dan kemampuan.

Adapun kenapa proyek Negara Islam itu tidak merata di bumi Irak secara keseluruhan? Jawabannya adalah karena hal ini secara realita tidak memungkinkan. Perkara ini telah diketahui oleh semua orang, yaitu bahwa proyek pembagian ini telah direncanakan dan disiapkan sebelumnya. Berbagai kekuatan yang senantiasa menunggu-nunggu kelengahan Ahlus Sunnah telah membuat persiapan untuk memisahkan diri secara wilayah geografi, dan membentuk pemerintahan tersendiri di bawah istilah-istilah lelucon seperti Pemerintahan Federal dan lain-lain. Untuk mengetahui perkara seperti ini kita tidak memerlukan kepada perhatian yang serius dan penelitian yang cermat. Dan memang undang-undang Irak sendiri dipersiapkan untuk mendukung misi Zionis-Salibis di kawasan ini.

Orang-orang Rofidloh (Syi’ah) yang memendam dendam terhadap Islam, mereka menguasai wilayah selatan Irak dan mereka tidak menyembunyikan sama sekali tujuan mereka untuk membentuk sebuah Negara yang merdeka dengan nama apapun dan dalam bentuk apapun yang dikehendaki oleh dunia, serta dengan pengkhianatan apapun meskipun dengan cara yang paling hina, sama saja apakah untuk kepentingan kaum Salibis Amerika, Inggris, Italia atau yang lainnya, atau untuk kepentingan Iran dan pembesar-pembesar mereka yang telah mendidik dan membesarkan mereka, dan mereka adalah orang yang paling jauh dari Daulah Islam yang menegakkan syariat dan menjaga wilayah Islam.

Sedangkan di wilayah Irak utara, kelompok-kelompok Kurdi-sekuler sejak lama berusaha memetik hasil. Dan setelah penjajah Amerika datang ke bumi Irak mereka telah mengangkut bertumpuk-tumpuk emas ke sana. Mereka juga benar-benar membentuk pemerintahan Federal sekuler yang menentang Islam dan kaum muslimin, yang membangkang Alloh dan Rosul-Nya, serta memerangi agama dan golongan-Nya, dengan bantuan langsung dari Negara Yahudi Israel dan penjajah Amerika yang dholim, dan dengan dukungan politik dan logistik dari pembesar-pembesar mereka di kalangan Rofidloh (Syi’ah) dan seluruh orang-orang sewaan di pemerintahan boneka Amerika.

Sedangkan sisanya adalah apa yang dikenal sebagai “Segi Tiga Sunni” yang berada diluar rencana yang digariskan. Sampai akhirnya kami mendengar berita tentang pemerintahan Federal yang didirikan di wilayah Sunni, yang dipimpin oleh Al-Hizbul Islami (Partai Islamiyin), yang dioperasikan sesuai pesanan pemerintahan boneka yang tunduk pada proyek-proyek bangsa salib di kawasan timur tengah. Belum lagi dengan berbagai kesepakatan untuk mengalah dan mundur yang dilakukan oleh sejumlah kelompok perlawanan yang bertaruh dengan perdamaian dan perundingan bersama Amerika. Artinya, pembagian wilayah ini telah disiapkan di atas meja persekongkolan dan pengkhianatan, yang kemudian menjadi ancaman besar bagi wilayah Sunni untuk dipaksa tunduk kepada proyek Salibis, serta yang mengepung proyek-proyek jihad yang ada di wilayah tersebut dan memecah-belahnya. Namun hal inilah yang atas pertolongan Alloh tidak akan mungkin terjadi. Karena kesepakatan Daulah Islam Irak penuh berkah itu akan datang ke meja persekongkolan tersebut lalu akan menjungkir-balikkan ke arah para pendirinya. Dan Negara Islam Irak akan menghadang rencana kaum salibis dan mengepungnya sebelum ia mengepung Daulah Islam Irak, dan akan melenyapkannya sebelum ia melenyapkan Daulah Islam Irak.

Oleh sebab itulah Daulah Islam diproklamasikan di atas sejengkal wilayah Irak untuk mewujudkan apa yang bisa diwujudkan dan untuk merealisasikan apa yang bisa direalisasikan. Hal ini bukan berarti kita membiarkan wilayah-wilayah lain tetap berada di bawah kekuasaan kaum salib dan kaki tangan mereka dari kalangan Rofidloh (Syi’ah) dan kelompok-kelompok bangsa Kurdi yang kafir. Negara Islam Irak yang baru lahir ini telah bersumpah untuk melanjutkan jihad dan persiapan, untuk membebaskan wilayah-wilayah Irak lainnya dari cengkeraman kaki tangan Amerika dan orang-orang Murtad.

8- Mungkin akan ada lagi yang mengatakan: Kami telah dapat menerima bahwa kondisi darurat itu memiliki hukum-hukum yang tersendiri, sedangkan berdirinya Negara Islam adalah sebuah perkara yang tidak dapat dihindarkan lagi. Namun kenapa kalian tidak memilih pemimpin Daulah yang diketahui Nama dan orangnya, supaya hati ini mantap untuk berbai’at kepadanya dan dada ini lapang untuk mentaatinya??!

Kami jawab: Untuk menjawabya cukup kami sampaikan beberapa penukilan dari mayoritas ulama’ yang berpendapat diperbolehkannya cara yang semacam ini, dan mengikuti kebiasaan kaum muslimin dalam hal ini. Syaikh ‘Abdul Qodir bin ‘Abdul ‘Aziz di dalam kitab Al ‘Umdah, hal. 180, mengatakan:

“Sesungguhnya dua penulis Al Ahkam As Sulthoniyah (yakni Al-Mawardi dan Abu Ya’la) bersepakat atas diperbolehkannya hal ini. Yaitu bahwasanya tidak setiap muslim itu harus mengetahui imamnya, siapa nama dan orangnya, selain Ahlul Halli Wal ‘Aqdi yang mana mereka itu dijadikan sebagi hujjah untuk rakyat. Adapun yang menjadi kewajiban semua orang itu adalah hendaknya mereka mengetahui bahwasanya kekhilafahan itu telah dipegang oleh orang yang berhak untuk memegangnya.

Al-Mawardi berkata: (Pasal): Apabila kekhilafahan itu telah dipegang oleh seseorang, baik dengan cara wasiat atau dengan cara dipilih (oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi), wajib hukumnya bagi seluruh rakyat untuk mengetahui bahwasanya kekhilafahan telah diberikan kepada orang yang berhak untuk menerimanya yang telah memenuhi kriteria-kriteria untuk memegang kekhilafahan. Dan mereka tidak wajib untuk mengetahui siapa dia dan siapa namanya, kecuali orang-orang yang memilih mereka yang mana mereka itu menjadi hujjah dan mereka itu bai’atnya dapat mengesyahkan bai’at khilafah. Sementara itu Sulaiman bin Jarir berkata: Wajib bagi seluruh manusia untuk mengetahui kholifahnya, siapa orangnya dan siapa namanya, sebagaimana mereka mengenal Alloh dan Rosul-Nya. Namun menurut mayoritas ulama’ yang wajib untuk diketahui oleh manusia itu adalah pengetahuan secara global dan bukan secara detail, kecuali hanya pada kondisi-kondisi yang memerlukan untuk mengenal mereka. Seandainya setiap orang itu wajib untuk mengetahui imamnya, siapa nama dan orangnya, tentu mereka wajib untuk hijroh ke tempat di mana imam tersebut berada, dan tentu orang-orang yang berada di tempat yang jauh tidak diperbolehkan untuk tidak berhijroh, juga hal itu akan mengakibatkan kosongnya banyak negeri, kebaikan akan hilang dan kerusakan akan menyebar.

Dan Abu Ya’la berkata: Tidak diwajibkan kepada seluruh orang untuk mengetahui imamnya, siapa nama dan orangnya. Kecuali jika orang tersebut termasuk dari anggota Dewan yang bertugas untuk memilih imam, yang mana mereka itu merupakan hujjah bagi rakyat dan yang menegakkan khilafah.

Saya katakan: Di antara bai’at yang dilaksanakan dengan cara seperti ini adalah bai’at terhadap ‘Umar bin ‘Abdul Aziz, yang merupakan salah satu Khulafa-ur Rosyidin, dan bai’at yang menyerukan berdirinya Daulah ‘Abbasiyah. Kisahnya adalah sebagai berikut:

A. Bai’at terhadap ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz untuk menjadi kholifah, yang mana beliau adalah salah seorang dari Khulafa-ur Rosyidin[10].

[10] Beliau rohimahulloh di gelari khulafa ur-Rosyidin ke-5 oleh para Imam umat ini, karena keadilan dan kebijaksanaan beliau sebagai Kholifah dan amirul mukminin selama 2,5 tahun memerintah Daulah Khilafah Islamiyah-ed.

Dahulu Kholifah ‘Abdul Malik bin Marwan berpesan bahwa yang menjadi Kholifah setelahnya adalah anak-anaknya. Maka kekhilafahanpun dipegang oleh Al-Walid kemudian Sulaiman. Lalu tatkala Sulaiman hendak meninggal dunia, salah seorang Tabi’in yang bernama Roja’ bin Haiwah menyarankan kepadanya agar menunjuk ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. As-Suyuthi berkata: Roja’ berkata: Engkau tunjuk saja ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Sulaiman menjawab: Aku takut saudara-saudaraku tidak akan rela. Roja’ berkata: Engkau tunjuk ‘Umar lalu setelahnya adalah Yazid bin ‘Abdul Malik. Engkau tulis surat yang engkau beri stempelmu, yang mana isi surat itu adalah engkau mengajak mereka untuk berbai’at kepadanya. Sulaiman menjawab: Baiklah, aku setuju. Sementara itu Ibnu Katsir mengatakan bahwasanya Sulaiman menulis dalam suratnya: Bismillahirohmanirrohim. Ini adalah surat dari hamba Alloh Sulaiman bin ‘Abdul Malik untuk ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Sesungguhnya aku telah mengangkatnya menjadi Kholifah setelahku, dan setelahnya adalah Yazid bin ‘Abdul Malik. Maka dengar dan taatlah kalian kepadanya. takutlah kalian kepada Alloh dan janganlah kalian berselisih sehingga musuh kalian akan bersemangat untuk menyerang kalian. Kemudian ia memberikan stempel pada surat tersebut dan ia kirimkan kepada Ka’ab bin Hamid Al-‘Abasi sebagai orang yang dipilih. Lalu dikatakan kepadanya: Kumpulkanlah keluargaku lalu suruhlah mereka untuk berbai’at kepada apa yang berada di dalam surat yang telah diberi stempel ini. Siapa saja di antara mereka yang tidak mau akan dipenggal lehernya. Maka merekapun berkumpul, lalu beberapa orang di antara mereka masuk dan mengucapkan salam kepada Amirul Mukminin. Kemudian Amirul Mukminin mengatakan kepada mereka: Ini adalah wasiatku kepada kalian. Maka dengar dan taatlah kepada orang yang aku tunjuk menjadi kholifah setelahku, yang tertera di dalam surat ini. Maka berbai’atlah kepada orang tersebut. — sampai Ibnu Katsir mengatakan — Roja’ bin Haiwah berkata: Lalu aku iringkan ia ke arah kiblah, kemudian ia meninggal dunia, semoga Alloh merahmatinya. Lalu aku tutupi ia dengan kain hijau dan aku kirim kepada Ka’ab bin Hamid. Lalu ia mengumpulkan rakyat di masjid Dabiq. Lalu aku katakan: Berbai’atlah kalian kepada orang yang tertera di dalam surat ini. Maka semua orangpun mengatakan: Kami telah berbai’at kepadanya. Kemudian aku katakan: Berbai’atlah untuk yang kedua kalinya. Maka merekapun melakukannya. Kemudian aku katakan: Berdirilah kalian kepada kawan kalian

(Amirul Mukminin) karena ia telah meninggal. Lalu aku bacakan isi surat itu kepada mereka.” Roja’ bin Haiwah yang memberi saran kepada Sulaiman bin ‘Abdul Malik adalah seorang yang agung dari kalangan Tabi’in. Ibnu Katsir berkata: “Dia adalah seorang yang agung dari kalangan Tabi’in, yang memiliki kedudukan yang tinggi, orang yang tsiqqoh, mulia dan adil. Seorang menteri yang jujur pada kekhilafahan Bani Umayyah. Di mana apabila Mak-hul ditanya tentang sesuatu ia mengatakan: Bertanyalah kalian kepada syaikh dan pemuka kami, Roja’ bin Haiwah. Banyak orang dari kalangan ulama’ yang memujinya dan menilainya sebagai orang yang tsiqqoh dalam meriwayatkan.”

B. Bai’at untuk gerakan pendirian Daulah ‘Abbasiyah.

Gerakan ini dimulai oleh Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abbas, sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya. Kemudian mereka mengajak manusia untuk berbai’at kepada mereka. Bai’at itu diberikan kepada orang yang diridloi dari keluarga Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa menyebutkan secara spesifik siapa orang yang memimpin gerakan ini. Hal ini memang disengaja karena Bani ‘Abbas mempunyai harapan besar untuk merekrut Bani ‘Alawi. Sedangkan keluarga Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam itu mencakup Bani ‘Abbas dan Bani Alawi. Dengan demikian orang yang dibai’at dalam gerakan ini adalah seseorang yang tidak diketahui oleh sebagian besar orang yang berbai’at, kecuali hanya orang-orang pilihan dan para pemuka gerakan yang mana mereka telah mengetahui siapa nama dan orang yang memimpin gerakan tersebut. As-Suyuthi berkata: Muhammad mengutus seseorang ke wilayah Khurosan dan memerintahkannya untuk mengajak orang agar berbai’at kepada orang yang diridloi dari keluarga Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan agar dia tidak menyebutkan nama seorangpun. Kemudian dia menemui Abu Muslim Al-Khurosani dan yang lainnya, lalu menulis surat kepada para pemimpin wilayah dan mereka pun menerima apa yang ia tulis dalam surat tersebut.”

Saya katakan: Inilah pembahasan yang dapat kami sampaikan mengenai boleh tidaknya berbai’at kepada orang yang tidak diketahui. Dari penukilan di atas dapat kita pahami bahwasanya hal ini diperbolehkan selama Ahlul Halli Wal ‘Aqdi mengetahui orang yang dibai’at tersebut. Wallohu a’lam.” Sampai di sini perkataan Syaikh ‘Abdul Qodir bin ‘Abdul ‘Aziz.

Dari pembahasan di atas dapat kita pahami bahwasanya berbai’at kepada orang yang tidak diketahui nama dan orangnya itu diperbolehkan apabila orang tersebut telah diketahui oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi. Dan demikianlah yang dilakukan oleh ikhwan-ikhwan di Majelis Syuro, mereka semua mengenal betul siapa nama dan orang yang diangkat sebagai amir (pemimpin Negara). Wallohu a’lam.

Inilah yang dapat kami sampaikan sebagai jawaban untuk berbagai sanggahan yang mungkin akan dihadapi oleh proyek pendirian Negara Islam Irak yang baru saja berdiri ini. Yang mana peroyek ini dilakukan berdasarkan ijtihad syar’i yang lahir karena didorong oleh kondisi darurat dan dipaksa oleh tugas-tugas syar’i, serta di siapkan oleh kondisi sejarah yang sesuai.

Karena orang-orang yang terjun di lapangan itu lebih mengetahui tentang kondisi mereka, dan penduduk Mekkah itu lebih paham terhadap bangsanya. Sedangkan kemaslahatan itu ditimbang di lapangan. Adapun orang yang paling layak untuk melakukan pertimbangan tersebut dan untuk mempelajari sisi-sisinya adalah para pemimpin jihad. Dan yang menghantarkan mereka kepada hasil kerja keras yang penuh berkah ini adalah perkataan Ibnu Taimiyah rohimahulloh: “Yang wajib dilakukan adalah: hendaknya pandangan yang dipakai dalam perkara-perkara jihad adalah pandangan orang yang memiliki din yang shohih yang memahami kondisi orang-orang yang berkecimpung pada urusan dunia, bukan orang-orang yang berkecimpung pada urusan dunia yang mereka hanya melihat kepada din secara dhohir saja, mereka yang semacam ini tidak dipakai pendapat mereka, dan tidak juga pendapat orang yang memiliki din yang tidak memahami permasalahan dunia.”